Resensi Buku: Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan


Penulis              : Tasaro GK
Penerbit            : Bentang
Tahun Terbit     : Cetakan I Maret 2010, Cetakan IX Mei 2012
Halaman           : 533


Bagi saya, memiliki novel biografi Muhammad karya Tasaro adalah sebuah pencapaian tersendiri. Sebabnya, sudah lama sekali saya ingin memiliki buku itu. Namun, karena keadaan kantong yang tidak memungkinkan, membuat saya harus lebih berusaha dan bersabar, menunggu hingga bookfair di Senayan tiba, berharap ada diskon untuk buku itu. Memang ada diskon, tapi tidak sebesar yang saya harapkan. Tapi toh, saya berhasil membawa buku itu pulang. ^^

Sebelumnya, saya memang sudah membaca resensi novel itu. semua resensi mengatakan kalau buku itu bagus dan sangat layak dibaca. Teman-teman yang sudah membaca pun mengatakan kalau buku itu bagus sekali. Ditambah lagi, saya pernah bertemu dan sangat mengagumi penulisnya, maka saya semakin ingin untuk memilikinya, tidak sekedar membaca saja.

Novel Muhammad, Lelaki Penggenggam Hujan ini, bercerita tentang dua kisah. Tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, dan seorang lelaki Persia bernama Kashva, yang hidup di abad yang sama dengan masa kenabian.

Kashva, lelaki yang hidup di Kuil Gunung Sistan pada masa pemerintahan Kaisar Khosrou, menghabiskan hari-harinya dengan mengamati bintang dan menerjemahkannya, sekaligus menulis kisah-kisah indah yang memukau. Ia dijuluki rakyat Persia, Sang Pemindai Surga.

Selain mengamati bintang dan menulis, Kashva jiga rajin berkorespondensi dengan teman-temannya dari berbagi Negara di luar Persia. Khususnya Elyas, seorang penjaga Biara Bashra di Suriah. Mereka membincangkan mengenai seseorang yang kehadirannya diramalkan oleh berbagai keyakinan di dunia. Seseorang yang dikatakan akan menaklukan dunia dan membawa kedamaian bagi seluruh alam. Rasa penasaran, keinginan memurnikan ajaran Zarduhst, dan keinginan bertemu dengan Elyas, membawa Kashva pada petualangan panjang yang jauh di luar dugaannya. Berbagai peristiwa terjadi di luar keinginannya, beberapa rahasia terkuak mengejutkan hatinya, dan semuanya, seolah memperjauh jarak yang harus ditempuhnya menuju Suriah.

Di novel pertamanya, kisah Kashva memang masih menggantung. Terakhir kali, ia terdampar di negeri atap langit bersama Mahsya, Xerxes dan Vakhsur. Orang-orang yang muncul selama pelariannya. 
Kisah Kashva ini berseling dengan kisah Nabi Muhammad SAW. Untuk kisah Rasulullah, tidak akan saya ceritakan di sini. Saya hanya ingin menuliskan tentang keistimewaan novel ini dibanding dengan buku Sirah Nabawiyah atau kisah-kisah nabi yang pernah saya baca.

Tasaro, dalam tulisannya, menjadikan Nabi Muhammad, sebagai tokoh yang diajaknya bicara. Seolah ia sedang ‘curhat’ kepada Rasulullah. Saya kurang mengerti itu gaya sudut pandang apa. yang jelas, gaya seperti itu membuat saya merasa ikut memiliki kedekatan personal kepada Rasulullah. Mungkin karena itu juga lah, bagi saya tulisan Tasaro lebih mengharu biru dibanding penulis lain.

Membaca kisah Nabi Muhammad SAW, memang akan selalu membawa keharuan dan kerinduan sendiri. Tapi Tasaro, seolah menambah beban rindu itu semakin menjadi. Terlebih, ia sendiri tak pernah memanggil Rasulullah dengan namanya, melainkan dengan julukan-julukan yang memang pantas disandang Rasulullah. Contohnya, Duhai yang Hatinya Bercahaya, wahai Lelaki yang Jitu Perhitungannya, dan beberapa julukan lainnya.

Satu lagi, karena buku ini bukan buku biografi biasa, tetapi lebih seperti novel, maka pencitraan latar kisah pun terasa semakin hidup dengan deskripsi yang detil lewat kata-kata yang indah.
Tasaro, dengan caranya telah menunjukkan kecintaannya kepada Kekasih Allah, Muhammad SAW. Dan dengan caranya pula, telah membawa saya semakin mencintai Rasulullah. Satu-satunya lelaki mulia yang patut diteladani segala tingkah lakunya.

Ya Rasul, lumpuh aku karena rindu….

Komentar