Rapel Review Buku



Sudah lama banget nggak review buku. Padahal ada beberapa buku yang aku baca di beberapa minggu terakhir ini. Dan 3 buku terakhir yang aku baca, menurutku bagus banget dan sayang kalau nggak direview. Sayangnya, karena udah kelamaan nggak review buku, jadi agak males gitu, dan baru sekarang tergerak untuk nulis.

1.      The Mill on The Floss

Cerita klasik karya George Eliot. Just FYI, ini adalah buku klasik berbahasa Inggris pertama yang aku baca lagi, setelah aku di kampus. Seinget aku, walaupun selama ini aku sering banget minjem buku di perpus, aku nggak pernah berani minjem novel full bahasa Inggris. Pertama, biasanya tulisannya kecil-kecil. Terus, untuk literature klasik, pasti bukunya udah rapuh dan tua banget, jadi takut kalau minjem, takut malah rusak. Terakhir kali aku baca literature klasik berbahasa Inggris itu pas SMA. Waktu itu baca The Adventures of Huckleberry Finn, Silas Marner, Uncle Tom’s Cabin, dan Julie of the Wolves.

Nah, kalau Mill on the Floss ini ceritanya tentang anak perempuan bernama Maggie yang susah diatur, berantakan, suka main sendiri. Pokoknya dianggap oleh orang dewasa, terutama ibunya, sebagai anak yang  bandel. Maggie ini punya kakak laki-laki, namanya Tom. Tom anak yang baik, cekatan, sayangnya dia susah nangkep pelajaran. Ayah mereka punya Mill atau sejenis dengan penggilingan padi gitu.
Inti ceritanya sih tentang kehidupan Maggie dan Tom dengan latar Inggris abad 19. Di mana saat itu orang kaya bisa membayar hakim, sehingga kalau ada masalah apa-apa yang berhubungan dengan hukum itu, yang kaya yang selalu menang.

Di novel ini diceritain, dari masa Maggie dan Tom kanak-kanak, remaja, sampai akhirnya dewasa. Aku suka hampir di semua bagian. Ketika di masa anak-anak, aku suka cara Tom menyayangi Maggie. Dia memanggil adiknya dengan panggilan kesayangan, Magsie. Intinya, aku selalu suka cerita tentang kakak laki-laki yang perhatian sama adik perempuannya. Seperti di Peter dan Lucy, atau Julian dan Anne.

Kenapa akhirnya aku bisa baca novel ini? Karena meskipun novel ini usang, tapi nggak terlalu rapuh. Terus tulisannya cukup besar dengan spasi yang cukup lega. Jadi nggak intimidatif seperti yang lain, yang ukuran font dan spasi kecil banget. Yang kedua, gaya bahasa nya juga ringan. Meski bahasa Inggris, tapi mudah dipahami. Dan yang terpenting, cerita ini, entah kenapa, buat aku nggak ngebosenin sama sekali. Rasanya pengen terus baca sampe halaman terakhir.

2.      I  Stay Near You, M.E. Kerr

Kalau ini novel historical fiction berlatar Amerika Serikat pada tiga masa, yaitu tahun 40an, 60an, dan 80an. Awalnya nggak ngerti sama tulisan di sampul bagian paling bawah, 1 story in 3. Kan biasanya, 3 in 1 ya? Kok ini malah kebalik? Baru deh, pas baca secara lengkap, ngerti maksudnya apa.

Jadi tiga masa itu masih memiliki keterkaitan gitu, meski tokohnya ganti-ganti. Di cerita awal tahun 40an,  tokoh utamanya adalah Mildred Cone, gadis miskin yang penampilannya nggak menarik, yang orangtuanya kerja di binatu. Dia selalu mencela salah satu keluarga kaya, bernama Cake, setiap mobil mereka lewat di hadapan dia. Pokoknya, dia sebel banget deh sama orang kaya. Tapi ternyata, dia malah jatuh cinta pada salah satu anak dari keluarga kaya itu, namanya Powell. Singkat cerita, mereka pacaran gitu, dan Powell ngasih cincin warisan keluarganya ke Mildred. Di cincin itu ada tulisannya, “NAGOZU ALDEAN”, dalam bahasa Basque, yang artinya I Stay Near You.

Jadi si keluarga Powell ini, dulu adalah keturunan Basque. Di cerita pertama ini, meskipun tokoh utamanya Mildred, tapi diceritakan dari sudut pandang Laura, sahabatnya. Jadi, porsi antara cerita Laura dan Mildred hampir seimbang.

Kedua,  di masa 60an, itu diambil dari sudut pandang anaknya Mildred, namanya Vincent. Inti ceritanya, Vincent jatuh cinta pada gadis pemilik toko antik, yang kata orang-orang, barang-barang antik itu sebenarnya hasil tadah dari pencuri. Tapi Vincent tidak peduli, dan tetap mencintai Joanna, gadis itu, dan memberikan cincin yang dulu diberi ibunya.

Sayangnya, ketika sudah dikasih cincin, Joanna malah pergi ninggalin Vincent yang patah hati, dan akhirnya malah bikin lagu. Lagu-lagu itu malah bikin Vincent terkenal dan jadi rock star. Di bagian ini, aku langsung teringat Adam di cerita Gayle Forman, Where She Went. Gara-gara patah hati sama Mia, dia malah jadi artis karena lagunya.

Ketiga, di masa 80an. Ini diambil dari sudut pandang anaknya Vincent, Powell Storm, yang diambil dari nama ayah kandung Vincent  (Powell) dan sahabat Vincent (Storm). Vincent memanggil anaknya P.S. Benang merah cerita ini, sebenarnya ada di cincin berbahasa Basque itu. Bagaimana kehadiran si cincin itu mempengaruhi hidup si pewarisnya.

Aku suka cerita ini dengan banyak alasan. Pertama, dari segi fisik, tulisannya enak di baca. Font besar dan spasi lega, bikin tulisan berbahasa Inggris itu nggak intimidatif bagi aku pembaca novel berbahasa asing yang masih pemula.

Kedua, format ceritanya yang berurutan dengan latar yang berbeda itu seru banget. Seperti getting through to decade. Ngebayangin dari si Mildred masih muda, remaja, jadi ibu-ibu, terus jadi nenek-nenek.

Ketiga, aku suka sama novel bersetting jadul. Jadi dapet bayangan tuh, gimana rasanya jadi remaja tahun 40an, yang pacarnya jadi tentara di World War, dan ngedemo pemerintah untuk segera memulangkan para cowok-cowok itu.

3.      Guernsey Literary and Potato Piel Society

Jujur aja, pertama kali tertarik sama buku ini karena sampulnya yang cantik. Sebuah amplop berperangko dengan pita merah. Font-nya, meskipun lebih kecil dari I Stay Near You, tapi masih cukup enak buat dibaca.

Ceritanya tentang seorang wanita penulis di Inggris tahun 1946. Dia ingin mulai menulis lagi setelah selama ini menjadi kolumnis di sebuah surat kabar di London. Secara nggak sengaja dia menemukan sebuah tempat, dari bacaan dia, yaitu Pulau Guernsey. Pulau Guernsey ini miliknya Inggris, tapi jauh dari pulau Inggris. Kalau di petanya sih, pulau ini deket dengan Pulau Channel. Pas zaman PD 2, pulau ini ditempati oleh tentara Jerman. Dan diceritakan di sini masyarakat Inggris yang tinggal di pulau ini menyedihkan sekali.

Untuk memperkuat setting ceritanya, dia berkorespondensi dengan seorang penduduk di Guernsey. Seorang wanita berumur, bernama Mrs. Maugery, yang menjadi salah satu anggota society tersebut. Dari korespondensi dengan wanita inilah, Julie, si penulis itu, kenal dengan anggota society lain lewat surat menyurat juga, bahkan merasa dekat dengan mereka.

Format ceritanya sendiri, aku suka banget. Ini bukan sekedar novel berisi surat balas kirim antara dua orang. Tapi ini melibatkan banyak orang. Pas awalnya, aku harus cermat, ini surat dari siapa untuk siapa. Namun, lama-lama, hafal juga sih. Soalnya lama-lama, makin keliatan, setiap tokoh punya ciri-cirinya masing-masing.
Dari cerita ini, aku dapet banget, gambaran masyarakat Inggris, terutama di Pulau Guernsey pada masa perang. Gimana mereka susah banget dapet sabun dan bahan makanan. Bahkan mereka nggak bisa dapet informasi selama lima tahun loh, selama World War 2 itu.
Ceritanya juga nggak ngebosenin. Ngalir aja kayak orang lagi curhat. Nggak kerasa banget bacanya.

Gara-gara baca ketiga buku itu, aku jadi ketagihan buat baca novel berbahasa Inggris lagi.


Komentar