Rapel Review Buku (Part II)



Selama seminggu ini aku membaca 4 buku, dan ada 3 buku yang sebenarnya bagus untuk di review. Tapi entah kenapa, sampai sekarang, masih belum tergerak untuk menulis review lagi (yang serius dan rapi). But I'll try...
    
 1. Evergreen by Prisca Primasari

Bercerita tentang Rachel, gadis keturunan Jepang-Kanada yang baru saja dipecat dari jabatannya sebagai editor di Sekai Publishing. Rachel digambarkan sebagai gadis yang selalu menuntut perhatian dan hanya mementingkan diri sendiri. dia juga sangat stress menghadapi pemecatan dirinya, sehingga hanya bisa berdiam di rumah, memecahkan gelas, dan berpikir untuk melakukan Jisatsu atau bunuh diri. Hingga dia berjalan-jalan ke luar di daerah Tokyo, untuk mencari gelas baru, dan menemukan sebuah café unik bernama Evergreen. Di café yang penuh lantunan lagu The Beatles dan es krim manis, Rachel bertemu dengan Yuya, Fumio, Kari, Gamma, serta pria paruh baya yang suka sekali baca manga berjudul Ryonosuke.

Novel ini bercerita tentang Rachel dan bagaimana dia menghadapi kenyataan, juga caranya mengubah diri. Dari yang tadinya begitu egois hingga akhirnya mau melakukan sesuatu untuk seseorang. Juga bercerita tentang kakak beradik Fumio dan Toshi, yang berjuang melawan penyakit yang diderita Toshi dan pencarian menemukan ayah mereka yang pergi ke Tokyo.

Aku selalu suka cerita Prisca Primasari. Pertama, karena settingnya di luar negeri. Walaupun kisah kali ini di Jepang, bukan di Eropa seperti sebelumnya, tapi tetep suka. Kedua, Prisca nggak hanya ngasih alur cerita ke pembaca, tapi juga pengetahuan.

Kali ini, walaupun nggak sedetil dan sebanyak di Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa (KEDAMYB) atau Éclair, tapi jadi cukup tahu lah, tentang sorbet, es krim, manga, dan penampilan drama. Dan perubahan yang terjadi sama Rachel juga berlangsung secara normal, jadi nggak ujug-ujug gitu. Prisca jugaberhasil bikin aku penasaran kenapa Rachel bisa dipecat. Kayaknya ini salah satu teknik menulis yang patut dicontoh deh. Menyimpan alasan untuk dijelaskan di belakang. Tapi nggak di belakang banget.

Cerita Evergreen ini lebih ke life story, bukan love story. Lebih penekanan ke tokoh Rachel dan kisah Fumio dan Toshi. Cerita cinta Rachel dan Yuya hanya sebagai pemanis aja. So far so good lah.
  1. Paris : Aline by Prisca Primasari


Novel kedua bersetting Perancis, setelah KEDAMYB. Yang ini mengambil setting di Paris, dan entah kenapa, aku lebih suka KEDAMYB. Paris : Aline, berkisah dari sudut pandang Aline Ofeli, gadis yang terpaksa kuliah di Prancis demi memenuhi keinginan ayahnya yang telah tiada. Sambil kuliah, dia bekerja sebagai kasir di bistro Lombok, yang menyediakan makanan Indonesia. Dan sebenarnya, kisah utama berawal dari sini, bahkan novel ini nggak ngebahas kehidupan kuliah Aline.

Aline, gadis inferior yang suka gambar, punya sahabat bernama Sevigne yang suka membuat vinyet (sejenis flash fiction) dan diam-diam menyukai chef di bistro yang dia juluki Ubur-Ubur. Sampai dia menemukan pecahan porselen di Jardin du Luxembourg, dan membawanya berkenalan dengan lelaki nyentrik bernama Aeolus Sena.

Nah, ini nih yang selama ini jadi ganjalan aku. Di awal, tokoh Sena digambarin pake syal dan segala macem, agak berisik, dan aneh. Aku –entah kenapa- ngebayangin Sena itu kayak bencong-bencong desainer. Jadi ketika di akhir, dia berubah jadi agak gimanaa gitu sama si Aline, tetep aja aku ngebayangin dia cowok bencong, bukan cowok yang sedang berjuang melawan kekejaman Madame Olivier.

Jujur, kisah ini agak aneh buat aku. Misteri-misteri tentang Sena rasanya apa ya, nggak nempel aja di hati aku. Jadinya, walaupun penjelasannya kemisteriusan digarap rapi, tapi tetep aja gimanaaa gitu. Tapi lumayan lah, untuk menasihati jiwa-jiwa inferior macam aku ini, novel ini sangat bagus.

Mungkin sekarang Prisca lebih bermain ke perubahan karakter tokoh dibanding kekuatan alur cerita. Karena terasa banget disini karakternya Aline, dan usaha dia untuk berubah. karakternya juga seimbang, nggak terlalu bagus, nggak terlalu buruk. Jadi sangat manusiawi. (tokoh yang manusiawi itu penting untuk sebuah cerita. Karena dalam hidup pun, orang jahat tetep punya sisi baik, begitu juga sebaliknya.)

Oiya, nilai plus lagi untuk novel ini, karena ada selipan gambar-gambar bagus di tiap babnya, plus bonus postcard bergambar menara Eiffel. So Paris!

After all, dari 5 novel Prisca yang pernah aku baca, yang paling berkesan itu Kastil Es dan Air Mancur yang Berdansa. Tokoh Vinter dan segala kemanisan dan kesedihannya sangat membekas di hati. Walaupun, cerita itu juga yang paling mudah ditebak akhirnya.

Pelajaran yang aku dapet, meskipun cerita mudah ditebak, tapi kalau bisa menciptakan tokoh yang dicintai, tetep aja jadi novel yang bagus. Tapi bisa menyimpan rahasia hingga pembaca terus penasaran sampai akhir cerita, itu juga bagus. Good job Prisca. Ditunggu karya-karya selanjutnya, di negeri yang lain lagi.
  1. A Winter Travelerby Erza S.T.

Aku nggak akan banyak bahas buku ini, karena judulnya kelihatan menarik. Tapi nggak terlalu sesuai sama kepribadian aku. Nah, khusus untuk buku-buku non fiksi, terlebih trip story, kadang menarik tidaknya sebuah buku sejajar dengan selera dan gaya hidup penulis dan pembacanya.

Jadi, seleraku nggak sama sama selera penulisnya. Jadi, ya udah, biasa aja jadinya. Untuk penggambaran kota-kota yang dia kunjungi cukup bagus sih. Bahasanya pun enak, mudah dimengerti. Dan meskipun judulnya winter traveler, yang berkisah tentang perjalanan pada musim dingin di luar negeri, tapi tetep ada kisah dari tempat-tempat lain di luar musim dingin. Bahkan ada kisah dari Indonesia. Untuk sekedar memuaskan rasa ingin tahu, buku ini lumayan lah. Apalagi banyak foto-fotonya, dan berwarna pula.
  1. Montase by Windry Ramadhina

Montase bercerita tentang Rayyi, mahasiswa IKJ jurusan perfilman, peminatan produksi, saat itu semester enam. Rayyi sebenernya nggak suka masuk peminatan produksi dan lebih tertarik dengan peminatan documenter. Dia melakukan itu hanya karena menuruti keinginan ayahnya, Irianto Karnaya, pemilik rumah produksi sinetron dan film-film yang kata Rayyi murahan, tapi menghasilkan uang.

Lalu dia ketemu Haru, gadis Jepang yang ikut peminatan documenter. Haru dapat kesempatan belajar di IKJ selama satu semester. Perkenalan Rayyi dan Haru berawal dari tugas kuliah documenter. Dari situ kisah bergulir, dan mungkin akan memberikan efek yang mengejutkan buat pembaca yang baik. Bukan yang bandel seperti aku, yang ngintip akhir halaman sebelum baca novel ini, sehingga udah tahu akhirnya gimana.
Bagi aku, novel ini berkesan bukan karena kisah cintanya. Tapi karena perjuangan mengusahakan cita-cita. Apalagi, aku juga lagi melalui masa-masa terakhir kuliah, sama seperti Rayyi, dan merasa kembali diingatkan. Mengejar mimpi atau mengikuti keinginan orang lain.

Aku juga jadi tahu, seperti apa mahasiswa IKJ dan kuliah di sana. Dan aku bersyukur, karena nggak jadi kuliah di sana (dulu sempet pengen soalnya). Karena nggak yakin juga bisa se’nyeni’ itu. Tapi kalau dari teknis tugas kuliah, nggak beda jauh sih. Waktu kuliah lebih banyak habis untuk kelayapan ngerjain tugas dibanding duduk di kelas.

Aku juga jadi tahu dunia perfilman, baik itu produksi maupun documenter. meskipun nggak yang dalem banget, tapi lumayan dapet gambaran. Sedikit merasa tertarik sih, kayaknya seu juga gitu ngerekamin berbagai hal. Sedikit mirip sama tugas TV. Tapi, aku inget, aku payah untuk urusan pegang kamera. Jadi ya sudahlah, hehe

Yang jelas, novel Montase ini bagus menurut aku, karena mengingatkan aku untuk berani mengejar mimpi sesuai keinginan hati. Sesuai sama apa yang kita sukai. Bukan karena tuntutan orang lain.

Oke, segitu aja rapel review buku kedua. Aku nggak berniat untuk selalu ngerapel review lho. Cuma, ya masih belum rajin aja, hehehe. Mudah-mudahan nanti semakin rajin. Karena, aku baru sadar, kemampuan review itu ternyata berguna sekali.

Komentar