Resensi Buku: O Mungil



Penulis: Edith Unnerstad

Penerjemah: Listiana

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: Cetakan Pertama, Mei 1990

Halaman: 160

ISBN: 979-403-890-3



“O Mungil berusia lima tahun. Dia tak kenal takut dan kadang-kadang keisengannya mengejutkan seluruh keluarga.


Suatu hari Mama pergi arisan dan kakak-kakaknya sibuk. O Mungil sudah bosan bermain sendiri. Dia lalu menelepon Papa di pabrik. Tapi karena belum pernah menelepon, tentu saja yang berhasil dihubunginya orang tak dikenal. Betapa kagetnya Mama dan Papa ketika kemudian ada orang mengirim dua ekor anak anjing ke rumah mereka!”


Kisah O Mungil adalah seri selanjutnya dari kisah si Bandel. Meskipun begitu, tanpa membaca kisah si Bandel terlebih dahulu, juga tidak apa-apa. 


Jika dicerita si Bandel, O Mungil saat itu berusia tiga tahun. Di kisahnya sendiri, O Mungil berusia lima tahun, jadi si Bandel berusia sekitar tujuh tahun.


Kisah O Mungil tak kalah lucu dengan si Bandel. Bahkan di cerita pertama saja saya sudah terbahak-bahak karena ulah O Mungil. Di situ dikisahkan O Mungil yang ingin punya adik. Apalagi saat ia menemukan kereta bayi miliknya (dan pernah jadi milik kakak-kakaknya juga). Tak ada yang mau menjadi adik bayi O Mungil, kecuali si Areng, kucing hitam peliharaan keluarga mereka.


Terpaksalah si Areng menjadi adik bayi untuk O Mungil, bahkan didandani dengan baju baptis milik O Mungil juga. Lalu O Mungil berjalan-jalan sambil mendorong kereta bayi yang berisi si Areng sambil bernyanyi-nyanyi. Seorang ibu mendekati O Mungil karena dikiranya ia sedang menjaga adik bayi sungguhan. Si ibu terkejut saat yang melongok dari dalam kereta itu wajah si Areng.


Belum lagi, ada anjing yang mencium aroma kucing. Segera si anjing mengejar O Mungil dan kereta bayinya. Kereta bayinya lepas dan berlari menuruni bukit tanpa kendali dan nyaris ditabrak truk. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa tertegun campur khawatir campur ngeri, sambil berharap bayi di dalamnya selamat. Eh, yang keluar ternyata si Areng!


Masih banyak kisah O Mungil lainnya yang bikin ngakak (sepertinya semua ceritanya bikin saya tertawa, deh!) 




Semua ceritanya saya suka. Sayangnya, kisah O Mungil tidak sebanyak kisah kakaknya, si Bandel.


Dari segi gaya bahasa, ada sedikit perbedaan. Mungkin karena penerjemahnya berbeda. Penggunaan kata slang di O Mungil jauh lebih sedikit daripada di Si Bandel. Kalimatnya juga hampir baku, meski tetap mengalir dan sederhana. 


Kalau di cerita si Bandel, saya kagum dengan tokoh Mama, maka di cerita O Mungil saya suka dengan tokoh Lars, hehehe. Ada dua cerita yang menunjukkan kasih sayang Lars kepada O Mungil dengan manis sekali. Hmm… sebenarnya, kakak-kakak O Mungil yang lebih dewasa itu baik sekali pada O Mungil. Mungkin hanya si Bandel dan Knut saja yang agak-agak rese. Tapi, karena saya punya sindrom Brother Complex, alias nggak bisa tahan kalau ada cerita tentang abang dan adik perempuan, jadi yah begitulah….


Balik lagi ke Lars, ada cerita tentang kesenangan O Mungil mengepang rambut dengan pita-pita miliknya. Rambut Rosalind pernah jadi korban kepangan O Mungil dan dia tidak mau lagi. Begitu juga dengan kakak-kakaknya yang lain. Sedangkan mengepang rambut boneka tidak asyik menurut O Mungil. Hanya Lars yang mengizinkan rambutnya dikepang O Mungil (mungkin karena Lars nggak tega).


Jadilah rambut Lars dikepang O Mungil di sana-sini. Eh, lagi asyik-asyik berkepala landak akibat kepangan O Mungil, datanglah Nottan dan Agneta, teman sekelas Rosalind. Duh, betapa malunya Lars karena Agneta, cewek yang ditaksirnya, melihatnya dalam keadaan seperti itu.


***


Sebagai pembaca baru Edith Unnerstad, saya langsung suka dengan cara bercerita penulis asal Swedia ini. Meskipun namanya tak setenar Astrid Lindgren, tapi ada empat bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain O Mungil dan Si Bandel, ada Tamasya Panci Ajaib dan Tamasya Laut. Semuanya tergabung dalam seri keluarga Peep Larsson. Melihat tahun terbitnya yang sudah cukup lama (bahkan sebelum saya lahir, lho!), saya tidak tahu apakah Gramedia menerbitkan cetakan terbarunya atau tidak. 


Gara-gara membaca dua buku jadul ini, saya jadi ingin membaca dan memiliki buku-buku anak jadul lainnya. Kisah-kisah jaman dulu ternyata seru-seru!

Komentar

  1. Saya kaget waktu baca tahun terbitnya. Jadul banget. Kelihatan sih dari sampulnya. Dan saya juga setuju dengan pendapat jika buku anak jadul itu ceritanya seru. Tom Sawyer termasuk cerita anak nggak ya? Itu juga seru. Selain itu, saya belum pernah membaca buku anak lainnya. Dan PR juga nih buat saya untuk mencoba mencari buku-buku lawas karena pasti asyik dibaca kembali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tom Sawyer buku anak, dan juga seru. Jangan lupa baca buku sohibnya, Huckleberry Finn. banyak buku-buku anak jadul yang bagus lho :)

      Hapus

Posting Komentar