Resensi Buku: Memori



Penulis: Windry Ramadhina

Penyunting: eNHa

Penerbit: Gagas Media

Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2012

Halaman: 301

ISBN: 979-780-562-x



Mahoni, seorang arsitektur muda yang memiliki karier bagus di Virginia. Jauh-jauh ia ke Amerika, meninggalkan Indonesia, meninggalkan keluarganya, meninggalkan Papa dan Mae, karena kekecewaanya terhadap hubungan mereka yang berakhir. Papa menikah lagi dengan perempuan bernama Grace, yang memberi seorang adik laki-laki untuk Mahoni bernama Sigi. Sayangnya, Mahoni tidak pernah mengganggap Sigi sebagai adiknya.


Sampai pesan itu datang. Pesan dari Om Ranu, adik Papa, yang menyampaikan bahwa Papa dan Grace meninggal karena kecelakaan. Tidak lama setelah Papa mengirim pesan suara yang menanyakan kabar dirinya. Pesan yang tidak dijawab Mahoni.


Kini, Mahoni pulang ke Jakarta. Niatnya hanya untuk menghadiri pemakaman Papa dan Grace. Ia lupa dengan keberadaan Sigi yang masih berusia 16 tahun. Om Ranu meminta Mahoni untuk menetap di Jakarta untuk menjaga Sigi, karena ia sendiri harus segera pulang ke Jogja untuk merawat istrinya yang sakit. Mahoni tentu saja keberatan. Mana mungkin ia meninggalkan Virginia, meninggalkan karier arsitekturnya yang cemerlang, hanya untuk seorang anak yang tak pernah ia anggap sebagai saudaranya.


Namun, mau bagaimana lagi, Mahoni adalah satu-satunya kerabat Sigi saat ini. Sebenci-bencinya ia dengan Sigi, Mahoni tidak tega juga meninggalkan anak itu seorang diri apalagi setelah kehilangan kedua orang tuanya. Lagipula, di Jakarta Mahoni bertemu Simon. Teman lamanya di kampus yang kini memiliki studio sendiri.


Simon mengajak Mahoni bergabung di studionya, MOSS, bersama pacarnya Sofia, dan beberapa karyawan mereka. Mahoni setuju dengan ajakan Simon. Setidaknya selama tinggal di Jakarta, ia memiliki kesibukan dan tidak harus selalu berada di rumah dan sering-sering bertemu Sigi. Selama tinggal di Jakarta itulah, pelan-pelan Mahoni menyadari tentang cinta dan keluarga yang selama ini ia jauhi.

My Review



Memori adalah kisah tentang cinta dan keluarga. Selama ini Mahoni membenci papanya karena telah meninggalkan ia dan ibunya. ia juga tidak bersimpati pada mamanya karena terlalu berlebihan dan lebih suka tenggelam dalam kesedihannya. Ia membenci Grace, perempuan yang mencuri Papa dari sisinya. Namun, sikap Grace yang amat baik padanya, membuat ia tidak pernah bisa benar-benar membencinya. Setelah lulus kuliah, Mahoni memilih meninggalkan mereka untuk membangun kehidupannya sendiri. Namun, sejauh apa pun ia pergi, rumah selalu memanggilnya kembali.


Cukup menyenangkan membaca Memori. Saya yang tidak terlalu tahu seluk beluk dunia arsitektur dan desain, menjadi lebih terbuka terhadap bidang yang satu ini. Sepertinya seru juga mendesain rumah atau menata ruang-ruang publik.


Mengenai alur cerita, penulis menyajikannya dengan cukup baik. Pelan-pelan, pembaca dibawa semakin mengenal dengan tokoh utama, Mahoni. Mulai dari kehidupannya sekarang, sudut pandangnya, masa lalunya, sampai berbagai alasan yang menjadi landasan tindakannya. Ada kisah cinta juga, antara Mahoni dan Simon yang sudah memiliki pacar yang cantik dan baik bernama Sofia. 


Saya sendiri lebih menyukai bagian Mahoni dan Sigi. Perkembangan hubungan mereka, dari yang awalnya tidak saling bicara, disampaikan penulis dengan cara yang lembut, sehingga tidak terkesan terburu-buru atau dipaksakan. Saya paling suka adegan saat Sigi menjemput Mahoni di stasiun.


Membaca Memori adalah kisah yang mengingatkan akan pentingnya sebuah keluarga. Sebenci apa pun kau dengan keluargamu, kau tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari hubungan darah yang kekal itu. dan seperti apa pun kondisinya, keluarga adalah tempat paling nyaman untuk kembali pulang.

Review ini untuk 
Kategori Contemporary Romance

Komentar