Resensi Buku: Di Tanah Lada


Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie
Editor: Mirna Yulistianti
Tahun Terbit: Cetakan Pertama 2015
Halaman: 240
ISBN: 978-602-03-1896-7


Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun, papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna. Ava sekeluarga pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal.

Kakek Kia, ayahnya Papa, pernah memberi Ava kamus sebagai hadiah ulang tahun yang ketiga. Sejak itu Ava menjadi anak yang pintar berbahasa Indonesia. Sayangnya, kebanyakan orang dewasa lebih menganggap penting anak yang pintar berbahasa Inggris.

Setelah pindah ke Rusun Nero, Ava bertemu dengan anak laki-laki bernama P. Iya, namanya hanya terdiri dari satu huruf P. Dari pertemuan itulah, petualangan Ava dan P bermula hingga sampai pada akhir yang mengejutkan.

My Review

Akhirnya, rasa penasaran saya dengan karya Ziggy yang satu ini terbayar sudah. Novel Di Tanah Lada cukup ramai diperbincangkan karena mendapat juara II di Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 dan penulisnya bisa dibilang cukup muda dibanding dengan pemenang-pemenang lain di tahun yang sama atau tahun sebelumnya.

Kisahnya sendiri cukup unik. Ava, si tokoh utama, adalah anak kecil berumur enam tahun yang terlalu cerdas dalam berbahasa Indonesia, khususnya untuk anak seusianya. Ia tinggal bersama papanya yang jahat dan mamanya yang tak pernah berani melawan papanya. Mereka pindah ke Rusun Nero dan menjual rumah lama agar papanya bisa puas berjudi.

Di Rusun Nero, Ava bertemu dengan P yang punya papa tak kalah kejam dari papanya Ava. Lebih parah lagi, P tidak punya mama. Entah ke mana mamanya pergi. Papanya saja tak mau repot-repot memberi nama anak dan hanya menyebutnya P. Di Rusun Nero juga ada Mas Alri dan Kak Suri. Dua orang dewasa yang baik hati dan perhatian kepada Ava dan P. 

Ketika tingkah laku Papa sudah tidak bisa diterima lagi oleh Mama, Mama dan Ava kabur ke hotel dan akhirnya diajak pindah ke rumah Om Ari, adik Mama. Akan tetapi, Ava tidak mau kehilangan P. Ava ingin selalu bersama P apalagi P tidak punya siapa-siapa selain papanya yang jahat. Ava mengusulkan agar mereka tinggal bersama di rumah Nenek Isma di pulau seberang. P setuju dan mereka pun kabur bersama.

Salah satu hal yang unik di cerita ini adalah Ava senang sekali membuka kamus. Jika ada satu kata yang tidak dia mengerti, dia langsung mencarinya di kamus. Dan jika penjelasan di kamus itu menggunakan kata yang juga tidak dia mengerti, ia kembali mencari arti kata itu di kamus.

Saya tidak yakin apakah saya benar-benar menyukai novel ini atau tidak. Saya benci sekali dengan papanya Ava yang jahat dan mamanya yang lemah. Saya setuju dengan pemikiran Ava yang bilang kalau mamanya tidak langsung meninggalkan papanya saat masih punya rumah karena sayang rumahnya, sekarang mereka tinggal di Rusun Nero, apalagi yang perlu disayangkan. Kasihan sekali Ava yang jadi punya mindset tidak ada Papa yang baik di dunia ini.

Saya juga benci dengan papanya P yang nggak jelas kerjaannya apa dan nggak jelas kenapa dia jahat banget dengan P. Walaupun di akhir terkuak semua asal-usul P dan orang tuanya. Di bagian akhir-akhir, saya merasa Ava bukanlah gadis kecil melainkan gadis dewasa yang terkurung dalam tubuh anak kecil. Pemikirannya terlampau jauh dan terlampau dewasa untuk anak seusianya, mungkin karena dia terlalu cerdas atau karena semua yang pernah dia alami semasa kecil, yang jelas saya ingat saya tidak berpikir seperti dia saat saya seusia dengannya.

Saya tidak bisa memasukkan novel ini ke dalam list my best favorite karena hal-hal di dalamnya terlalu berat dan cukup menyakitkan (and not in the good way for me). Jadii, yah, pokoknya sudah nggak penasaran lagi aja, deh. 

Komentar