Penulis: Ashadi Siregar
Editor: Eka Pudjawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Terbit pertama kali tahun 1976
Halaman: 304
Lexi Wenas tumbuh sebagai lelaki
pembenci kehidupan. Dia benci ibu yang melahirkannya karena perempuan itu
meninggalkannya demi cinta lelaki lain. Dia benci ayahnya yang tak pernah
menyayanginya. Di atas itu semua dia membenci dirinya, yang telah membuat
kesalahan fatal, memperkosa gadis yang sebetulnya disayanginya.
Kasus perkosaan itu membuat Lexi
terusir dari rumah ayahnya. Dia berjuang untuk hidup di jalan sampai akhirnya
berhasil menjadi pembalap motor terkenal dan memiliki banyak yang. Tapi Lexi
tak peduli pada uangnya, karena dia tidak tahu apa sebetulnya tujuan hidupnya.
Sampai akhirnya dia menemukan
pelabuhan pada diri seorang wanita lembut seusia ibunya. waita yang
mencintainya bak anak sendiri namun Lex mencintainya bak kekasihnya….
My Review
Sebelum mengulas novel ini, saya
ingin cerita kenapa saya mengambil buku ini dari rak Gramedia dan membawanya ke
kasir. Jadi, waktu sedang mengunjungi toko buku Gramedia, saya melihat
novel-novel karya Ashadi Siregar dicetak ulang oleh Penerbit GPU. Saya
mengetahui Ashadi Siregar -seperti mungkin kebanyakan orang- dari
karyanya yang berjudul Cintaku di Kampus Biru.
Beberapa karya beliau yang dicetak ulang, yaitu Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, Gadisku di Masa Lalu, Frustasi Puncak Gunung, dan Jentera Lepas.
Beberapa karya beliau yang dicetak ulang, yaitu Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, Gadisku di Masa Lalu, Frustasi Puncak Gunung, dan Jentera Lepas.
Saya belum pernah membaca Cintaku
di Kampus Biru atau karya Ashadi Siregar lainnya. Dan entah kenapa saya malah
tertarik dengan Sirkuit Kemelut. Mungkin karena sinopsis di bagian belakang
buku yang menceritakan tentang lelaki muda yang jatuh cinta dengan perempuan
yang lebih tua. Selama ini saya belum pernah membaca cerita bertema itu dan
akhirnya Sirkuit Kemelut-lah yang saya bawa pulang. Selain karena tema beda
usia, saya juga ingin tahu seperti apa novel pada era 70an.
Setelah membaca Sirkuit Kemelut,
saya baru paham mengapa di bagian belakang buku (dekat barcode) ada label 17+.
Ternyata memang ada beberapa adegan dewasa di dalamnya meskipun tidak
digambarkan secara vulgar melainkan secara kiasan saja. Tetapi, yah, adegannya
cukup banyak sih buat saya yang nggak pernah baca novel kipas-kipas, wkwkwk.
Cuma, tenang aja, kalimatnya beneran kiasan kok, jadi nggak bakalan bikin
kipas-kipas juga. Paling cuma ngangguk-ngangguk, hahaha.
Menurut saya, ada sedikit
kekeliruan dari yang dicantumkan di sinopsisnya. Kalau dari sinopsisnya,
seolah-olah Lexi bertemu dengan wanita yang lebih tua itu saat sudah menjadi
pembalap motor. Padahal, di dalam buku ini Lexi bertemu dengan Tante Liana
sebelum menjadi pembalap, melainkan saat dia masih menjadi montir di bengkel Om
Bun Hwa.
Setelah diusir ayahnya karena kasus
perkosaan itu, hidup Lexi luntang-luntung. Dia sempat terjebak ke dalam
perkelahian yang menyebabkannya dipenjara selama beberapa bulan. Di penjara
dia malah betah karena punya kesibukan, yaitu memperbaiki mobil yang rusak.
Setelah dinyatakan tidak bersalah, Lexi keluar penjara dan pergi ke Bogor
mengunjungi kenalannya seorang Cina yang beternak babi, Om Bun Leng.
Tadinya Lexi mau tinggal di Bogor
dengan Om Bun Leng. Namun, Om Bun Leng malah menyuruhnya kerja dengan
saudaranya di Jakarta, Om Bun Hwa, sebagai seorang montir di bengkel. Om Bun
Leng menilai Lexi tidak cocok menjadi seorang peternak. Di bengkel Om Bun Leng
inilah Lexi berkenalan dengan Tante Liana yang menjadi pelanggan setia bengkel
Om Bun Hwa.
Tante Liana digambarkan sebagai
perempuan usia 40an yang masih cantik, bergelimang harta, tetapi sering
kesepian karena suaminya sering bekerja ke luar kota bahkan ke luar negeri
hingga berhari-hari. kKhadiran Lexi memberi ‘warna’ baru bagi kehidupan Tante
Liana.
Sebenarnya, kehidupan cinta Lexi
dan Tante Liana ini bisa dibilang ‘mulus’ karena Lexi kan tinggal seorang diri,
sudah tidak dianggap oleh keluarganya, jadi tidak akan ada yang memprotes
hubungannya dengan Tante Liana. Sementara itu, suami Tante Liana, Om Burhan,
tampak baik-baik saja dengan kehadiran Lexi, tidak ada sedikit pun kecurigaan,
malah ikut menganggapnya sebagai anak sendiri, mengingat mereka bedua memang
tidak dikaruniai anak.
Secara alur cerita, kisah Lexi
Wenas ini menarik. Dari seorang anak SMA kaya raya, menjadi gelandangan, dipenjara,
menjadi montir di bengkel, lalu mencoba-coba balapan motor yang menjadikannya
sebagai juara dan kembali hidup berkecukupan. Sayangnya, Lexi masih memendam
kebencian kepada ibunya. Jadi, yah dia merasa apa pun yang dia capai tidak ada
artinya. Dia tidak tahu sebenarnya dia hidup untuk apa. Dia masih merasa kesal
karena telah dilahirkan oleh perempuan yang ternyata tidak mengharapkannya.
Setelah berkenalan dengan Tante
Liana, Lexi sedikit demi sedikit mulai berubah. Terlebih saat Tante Liana tahu
siapa ibunya dan kisah di balik ibu Lexi pergi meninggalkan rumah. Akan tetapi,
Lexi tetap tidak bisa melepaskan kebenciannya kepada ibunya.
Novel ini memiliki jalan cerita
yang cukup panjang tetapi tidak berbelit-belit dan enak untuk diikuti. Setiap tokoh
mendapat porsi yang sesuai dengan perannya di cerita ini. Di bagian akhir, Lexi
bertemu kembali dengan ayahnya yang mengakui kesalahannya dan penuturan
ayahnya membuat Lexi memahami sikap ibunya yang dulu.
Kisah ini ditutup dengan kejadian
tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta. Saya belum cari tahu itu berhubungan dengan
apa. Yang jelas, bagian akhirnya cukup bikin saya deg-degan dan penasaran
banget.
Tema utama yang saya tangkap dari
novel Sirkuit Kemelut adalah tentang anak yang tak pernah mendapat kasih sayang
orang tuanya. Anak seperti itu (kemungkinan besar) akan menjadi anak yang membenci
kehidupan, tak punya tujuan, dan bisa berbuat semau-maunya. Apalagi jika dia
terjebak dalam pergaulan yang salah. Syukur-syukur kalau anak itu ikut
pergaulan yang benar, yang memberi rasa optimis dan mengenalkannya kepada
Penciptanya. Mungkin hal tersebut bisa dihindari.
“Banyak orang muda yang lebih suka berada di persimpangan jalan daripada di rumah mereka. Sebab, di rumah mereka bersarang jin yang tak pernah puas. Dialah orangtua yang selamanya menuntut agar anaknya menjadi orang yang baik, tetapi tak pernah mau menunjukkan bagaimana caranya, kecuali dengan setumpuk nasihat dan umpatan belaka.”
Komentar
Posting Komentar