Penulis:
Morra Quatro
Editor:
Aveline Agrippina & Jia Effendie
Penerbit:
Gagas Media
Tahun
Terbit: Cetakan Pertama, 2013
Halaman:
294
ISBN:
979-780-635-9
“Rasanya,
sudah lama sekali sejak aku dan dia melihat pelangi di langit utara Pogung. Namun,
kembali ke kota ini, seperti menyeruakkan semua ingatan tentangnya; tentang
janji yang terucap seiring jemari kami bertautan.
‘Segera
setelah semuanya berakhir, aku pasti akan menghubungimu lagi.’
Itulah yang
dikatakannya sebelum dia pergi. Dan aku mendekap erat kata-kata itu, menanti
dalam harap. Namun, yang datang padaku hanyalah surat-surat tanpa alamat
darinya. Kini, di tempat yang sama, aku mengurai kembali kenangan-kenangan itu….”
My Review
Notasi
bercerita tentang masa lalu Nalia sebagai mahasiswa Kedokteran Gigi UGM tahun
1998 dan kisah cintanya dengan Nino, mahasiswa Fakultas Teknik. Awalnya mereka
berseteru, masalah khas mahasiswa. Tetapi kemudian masalah menjurus ke arah
yang lebih serius, bukan lagi tentang bikin acara BEM fakultas di tanggal yang
sama atau persaingan antar calon ketua BEM universitas, melainkan kerusuhan 1998 yang
terjadi hampir di seantero negeri termasuk di Jogja.
Saat membeli
buku ini, saya tertarik karena pernah membaca ulasan seorang blogger buku
tentang salah satu karya Morra Quatro. Saya lupa buku yang dia ulas judulnya
apa, yang jelas dia memberi review yang bagus untuk buku tersebut. Saya jadi
penasaran dengan karya penulis ini.
Kebetulan sekali,
saat berkunjung ke Gramedia Depok dan melihat buku obralan di basement, saya
melihat Notasi. Saya pikir saya bisa mulai mengenal karya Morra Quatro lewat
buku ini yang covernya cantik. Ya, kalaupun ceritanya tidak cocok bagi saya,
covernya sedap dipandang mata.
Saat mulai
membaca, saya tidak menyangka kalau ceritanya berlatar UGM dan Jogja. Ah,
nostalgia! Padahal, di blurb back cover sudah menyebut Pogung, tetapi saya
nggak terlalu ngeh dengan hal itu. Jogja adalah salah satu kota yang saya
cintai dan saya sempat berharap bisa kuliah di UGM walaupun akhirnya itu tidak
terjadi. Jadi, betapa senangnya saya saat tahu Notasi bercerita tentang
mahasiswa UGM.
Hal yang
paling saya suka dari Notasi adalah deskripsi tempat-tempat di UGM dan
sekitarnya yang dijelaskan dengan detail oleh Morra Quatro. Rasanya, seperti
ikut melihat dan merasakan apa yang diceritakan Nalia dalam kisahnya.
Hanya saja,
saya sempat merasa bosan pada bagian keribetan Nalia dan kawan-kawan Kedokteran
Gigi-nya yang ingin mengadakan lomba karya ilmiah dan perseteruan mereka dengan
anak-anak Teknik. Buku ini sempat disela beberapa buku lain yang lebih dulu saya
baca dan saya tamatkan sampai akhirnya saya kembali lagi membaca Notasi karena
saya ingin tahu akhir kisah Nalia.
Cerita mulai
bergerak seru saat bagian kerusuhan 1998. Kala itu saya masih kecil, jadi seru
saja mengetahui ‘hiruk-pikuk’ dan idealisme mahasiswa pada peristiwa tersebut. Saat
kerusuhan itulah Nino menghilang, meninggalkan Nalia, karena ternyata Nino
punya rahasianya sendiri yang Nalia belum tahu. Lama setelah itu, Nino beberapa
kali mengirim surat kepada Nalia dan berjanji akan menemuinya lagi. Sayangnya,
sesabar apa pun Nalia menunggu, Nino seolah hilang ditelan bumi.
Selain deskripsi
Jogja yang detail, bahasa yang digunakan Morra Quatro dalam menyajikan kisah Nalia dan Nino
benar-benar membuat saya merasa … nyesek banget. Menyentuh bangetlah pokoknya. Indah,
mengalir, dan, sekali lagi, bikin saya merasakan kepedihan Nalia yang menunggu
Nino bertahun-tahun lamanya.
Walaupun sempat
merasa bosan di tengah, saat menutup buku ini saya merasa puas. Puas dengan ending
cerita yang realistis, tidak terkesan dipaksakan, dan tentu saja, disajikan
dengan bahasa yang indah. Jadi, sekarang saya tahu mengapa si blogger buku itu
menyukai karya Morra Quatro.
Mungkin saya
akan mencari karya-karya Morra Quatro yang lain. Apa ada yang suka juga dengan
karya-karya beliau? Ada yang mau kasih rekomendasi novel Morra Quatro lainnya?
Komentar
Posting Komentar