Penulis:
Jostein Gaarder
Penerjemah:
Irwan Syahrir
Penyunting:
Esti A. Budihabsari
Penerbit:
Mizan
Tahun
Terbit: Cetakan Kedua, November 2017
Halaman:
352
ISBN:
978-602-441-024-7
Jakop
Jacobsen namanya. Pria biasa dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Teman
terdekatnya adalah Pelle Skrindo, bajak laut yang suka datang dan pergi
sesukanya. Hobinya adalah menghadiri pemakaman dan sahabat pena tersayangnya
adalah Agnes. Kepada Agnes, dia mengisahkan berbagai pemakaman yang dia ikuti,
juga kesan-kesan tentang keluarga para almarhum.
Jakop hidup
sendiri. Dia senang berbagi kisah. Sayang, dia hanya punya Pelle sebagai teman
berbagi. Tetapi, Pelle lebih sering membantahnya daripada mendengarkannya.
Karena itu, Jakop suka menghadiri pemakaman, berbagi emosi sesaat dengan
keluarga yang berduka, meski dia harus mengarang kebohongan tentang bagaimana
dia mengenal para almarhum.
Tapi akhirnya, dia ketemu batunya. Keberadaan Agnes
pada saat dia menghadiri suatu pemakaman membuat tak lagi bisa mengarang kisah
dusta. Demi mempertahankan koneksi dengan Agnes, Jakop harus menguak siapa
dirinya sebenarnya. Sanggupkan Jakop?
My Review
Sebenarnya,
dengan membaca sinopsis di belakang buku saja, kita sudah mendapatkan sebagian
besar isi dari novel ini. Oleh karena itu, saya akan membahas hal-hal yang
tidak disebutkan di sinopsis dan kesan saya setelah membaca buku ini.
Seperti
yang telah disebutkan, Jakop hidup sendiri. Sejak kecil, ia hanya tinggal
dengan ibunya. Ayahnya pergi meninggalkan mereka berdua begitu saja. Setelah
ibunya meninggal, otomatis Jakop tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.
Jakop melanjutkan pendidikan di Oslo, lalu menjadi guru mata pelajaran Bahasa
Norwegia dan Agama di sebuah sekolah.
Kebiasaan
Jakop menghadiri pemakaman bermula saat dia masih muda (saat kisah ini
diceritakan, Jakop berusia 50 tahunan). Dia melihat berita kematian di koran
dan timbul keinginan untuk hadir di pemakaman tersebut. menghadiri pemakaman
lama-lama menjadi candu baginya. Ia senang memperhatikan berita kematian di
koran, mencari tahu latar belakang almarhum, dan datang ke pemakaman lalu
menceritakan kisah-kisah yang dialaminya bersama almarhum.
Kebanyakan
obrolan saat pemakaman membahasa tentang mitologi, agama, dan bahasa. Mungkin
ini disebabkan pekerjaan dan bidang studi yang ditekuni Jakop.
Buku ini
tidak menceritakan seluruh pemakaman yang dihadiri Jakop, melainkan
pemakaman-pemakaman yang tamunya masih memiliki hubungan saudara dengan Agnes atau pemakaman yang dihadiri oleh Agnes. Cerita Jakop mengenai pemakaman-pemakaman yang dia
hadiri tidak runut, tidak mundur ke belakang atau maju ke depan. Tahunnya acak,
tetapi dia menjelaskan kejadian itu tahun sekian, saudara-saudara Agnes yang
dia temui kira-kira umur sekian.
Saat
membaca novel ini, saya lupa dengan sinopsis yang mengatakan kalau Jakop
berbohong saat menceritakan kenangannya bersama almarhum. Ceritanya benar-benar
terasa nyata sehingga saya cukup kaget saat membaca bagian Jakop kena batunya
itu.
Sebenarnya,
kisah-kisah yang Jakop ceritakan tentang almarhum itu adalah kisah-kisah yang
indah. Jakop menceritakan kalau dia dan almarhum pernah menghabiskan waktu
bersama, membahas tema-tema tertentu (setiap orang berbeda tema obrolan, tentu
karena Jakop sudah meneliti latar belakang almarhum), dan keluarga yang
mendengar cerita tersebut ikut merasa bahagia karena cerita indah yang
dikisahkan Jakop.
Hanya,
tetap ada orang yang curiga dengan kisah-kisah Jakop itu. Apalagi setelah Jakop
memiliki ‘lubang’ dalam ceritanya yang membuat orang-orang tak percaya
bagaimana bisa si almarhum melakukan itu padahal kondisinya begitu. Karena hal
itulah, Jakop ingin berhenti dari kebiasaannya menghadiri pemakaman.
Tentang
Pelle Skrindo, ini juga cukup menarik. Awalnya, saya pikir Pelle itu manusia,
ternyata bukan. Saya memang sempat merasa janggal pada beberapa bagian awal,
kok, tiba-tiba Pelle ada di samping Jakop, dia datang dari mana atau kalau dia
sudah ada sejak tadi, kok, nggak ada penjelasannya.
Ternyata
Pelle adalah boneka yang suka Jakop ajak bicara. Boneka itu Jakop miliki sejak
kecil dan sejak memilikinya, Pelle dan Jakop sering sekali mengobrol. Jakop
selalu merasa Pelle punya pikiran sendiri dan ia hanya meminjam suara Jakop
untuk menyampaikan pikirannya. Meskipun Pelle dan Jakop sering bertengkar,
Jakop tidak bisa melepaskan atau jauh-jauh dari Pelle.
Kehadiran
Pelle pula yang menyebabkan keretakan rumah tangga Jakop. Jakop pernah menikah
dengan seorang wanita bernama Reidun. Pernikahan mereka tidak dikaruniai anak
dan Reidun tidak suka dengan kehadiran Pelle. Setelah bercerai, Jakop hanya
berteman dengan Pelle dan menganggap keluarga-keluarga yang dia temui di
pemakaman adalah keluarganya juga.
Setelah
membaca novel ini, saya kasihan dengan Jakop. Dia pintar dan memiliki wawasan
luas, tetapi tidak punya teman dekat (teman yang nyata) atau kerabat tempat dia
bisa berbagi cerita sehingga menggunakan acara pemakaman keluarga untuk
memenuhi kebutuhannya akan kehangatan sebuah keluarga. Secara tidak langsung,
novel ini menunjukkan bagaimanapun manusia membutuhkan keluarga, membutuhkan
kehadiran manusia lainnya untuk berbagi.
Yang
membuat saya sedikit heran, di cerita ini Jakop terlihat cukup mudah
bersosialisasi dengan orang lain, tetapi kenapa malah memilih akrab dengan
kisah hidup orang yang meninggal? Mengapa dia tidak benar-benar menjalin
pertemanan yang akrab dengan seseorang seperti caranya berkenalan dengan
almarhum-almarhum di dalam 'dongengnya'?
Memang sih,
di cerita ini dia memiliki ketertarikan khusus dengan Agnes dan sepertinya
Agnes juga memiliki ketertarikan pribadi kepada Jakop. jadi, setidaknya Jakop masih memiliki keinginan untuk dekat dengan seseorang. Tetapi, kan, tetap saja…
rada aneh bagi saya. Sekaligus kasihan juga sebenarnya.
Yah, intinya setelah membaca novel ini saya sadar kehadiran keluarga itu penting dan hidup sendirian itu tidak selalu nyaman. :)
Salam kunjungan dan salam kenal dari Malaysia :)
BalasHapusSalam kenal juga, terima kasih sudah berkunjung :)
Hapus