After You'd Gone: Novel Unik dengan Alur Tak Urut




 Alice Raikes takes a train from London to Scotland to visit her family, but when she gets there she witnesses something so shocking that she insists on returning to London immediately. A few hours later, Alice is lying in a coma after an accident that may or may not have been a suicide attempt. Alice's family gathers at her bedside and as they wait, argue, and remember, long-buried tensions emerge. The more they talk, the more they seem to conceal. Alice, meanwhile, slides between varying levels of consciousness, recalling her past and a love affair that recently ended. A riveting story that skips through time and interweaves multiple points of view, After You'd Gone is a novel of stunning psychological depth and marks the debut of a major literary talent.

My Review

Cerita dibuka pada hari saat Alice mencoba bunuh diri, tetapi akhirnya malah secara impulsif membeli tike kereta ke Edinburgh, tempat keluarganya tinggal.

Di kafe stasiun, Alice bertemu dengan dua kakaknya, Beth dan Kristy. Namun, baru saja sampai dan mengobrol sebentar, Alice sudah ingin kembali ke London lagi. Kedua kakaknya bingung dan cemas, tetapi tetap membiarkan Alice pergi.

Sesampai di rumah, Alice memutuskan pergi ke supermarket untuk membeli makanan kucing dan barang-barang lain yang dia butuh. Saat hendak menyebrang ke supermarket, Alice tertabrak mobil.

Itu adalah bagian prolog. Kemudian, berlanjut ke bab pertama yang menceritakan Alice dan pacarnya, John. Bagian selanjutnya menceritakan kisah orangtua Alice, Ann dan Ben. Dari bab itulah pembaca mengetahui setelah tertabrak mobil, Alice terbaring koma di rumah sakit dan kedua orangtuanya bergegas terbang ke London.

Bagian selanjutnya berubah menjadi POV 1 dari sudut pandang Alice, yang sepertinya mempertanyakan dirinya sedang berada di mana. Dari deskripsi yang dia utarakan, pembaca dapat mengenali kalau itu menggambarkan lingkungan rumah sakit. Jadi, seolah-olah Alice bisa melihat dirinya sendiri dan bertanya-tanya kenapa dia ada di situ.

Setelah itu cerita terus berganti-ganti sudut pandang, tempat, dan waktu.

Ini pertama kalinya saya membaca karya Maggie O’Farrell dan awalnya sempat dibuat bingung dan pusing dengan struktur novelnya. Sudut pandang, waktu, dan tempat berganti-ganti tanpa pemisah yang jelas. Kadang hanya dipisah dengan satu paragraf kosong.

Yang jelas, dari prolog, saya menangkap kalau tokoh utama di buku ini, Alice, menderita semacam depresi (yang masih menjadi misteri apa penyebabnya) dan membuatnya merasa tidak ingin hidup lagi. Hal ini terlihat semakin jelas saat Alice di Stasiun Edinburgh. Alice ke kamar mandi sebentar setelah ketemu kakaknya, pas keluar kamar mandi, dia bilang dia mau balik ke London lagi.

Untuk ukuran orang normal, tentu kejadian ini luar biasa aneh. Secara impulsif ingin ke Edinburgh, lalu tiba-tiba mau balik lagi ke London padahal baru sampai. Dan kecemasan yang ditampilkan kedua kakak Alice menunjukkan kalau mereka tahu Alice memang sedang ‘kenapa-kenapa’, tetapi mereka juga nggak bisa melarangnya untuk balik lagi. Mirisnya, setelah gagal mencoba bunuh diri, Alice malah tertabrak yang membuat dia terbaring koma.

Bagian-bagian selanjutnya menceritakan kisah hidup Alice, Ann, dan Elspeth. Ann adalah ibu Alice dan Elspeth adalah neneknya. Keluarga Alice berasal dari Edinburgh, lalu Alice bekerja di London. Seperti yang sudah disebutkan, cerita flashback mereka juga dituturkan secara tidak urut. Kadang cerita tentang masa kecil Alice, masa remaja Elspeth, waktu awal-awal pernikahan Ann dan Ben.

Sudut pandangnya juga berganti-ganti. Seringnya dituturkan dari POV 3, tetapi banyak juga yang diceritakan dari POV 1 (Aku), terutama bagian Alice. Walau alurnya nggak urut, tetapi semakin dibaca, semakin tampak jelas apa yang terjadi dengan Alice.

Sejak kecil, Alice tampak berbeda secara fisik, sikap, dan minat dari dua saudara perempuannya, Beth dan Kristy. Dia berjiwa pemberontak dan lebih menyukai seni musik. Neneknya yang paling menyadari dan memahami perbedaan Alice.

Dari cerita-cerita yang tidak urut itu juga, lama-lama pembaca mengetahui potongan terakhir kehidupan Alice yang tampak normal. Ia bekerja di London dan punya pacar seorang Yahudi bernama John. Kehidupan pekerjaan Alice dan hubungannya dengan John berjalan mulus, kecuali ketidaksetujuan ayah John terhadap hubungan mereka karena Alice bukan orang Yahudi.

Nah, yang mulai terasa bolong adalah, jika Alice begitu bahagia dengan kehidupannya, kenapa dia ingin bunuh diri. Dan saat Alice koma, sosok John tidak diceritakan sama sekali. Yang sibuk mengurus Alice adalah orangtua dan kakaknya. Di sini saya mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi antara Alice dan John. Apakah mereka putus? Apakah John meninggalkan Alice?

Cerita terus bergerak, lama-kelamaan memang lebih fokus kepada kisahnya Alice dan John ketimbang flashback masa lalu Alice (masa kecil dan masa remaja) atau cerita dari anggota keluarganya yang lain. Sesuatu terjadi pada John, sesuatu yang begitu mendadak, dan memupuskan hubungannya dengan Alice.

Alice tentu saja berduka dengan kehidupannya yang berubah 180 derajat. Sikapnya juga berubah, yang tadinya ceria dan penuh semangat, menjadi pemurung. Akan tetapi, dia tetap berusaha menjalani hidupnya. Dan walaupun terasa susah, sepertinya Alice mulai bisa berdamai dengan kehidupannya tanpa John.

Sampai akhirnya saya penasaran lagi dengan apa yang terjadi kepada Alice di kamar mandi Stasiun Edinburgh, karena rasa-rasanya itu tidak ada hubungannya dengan John. Namun, kejadian itu sepertinya  lebih membuat Alice shock dan stress sehingga pikirannya kacau dan membuatnya tidak fokus menyebrang.

Itu baru ketahuan pas akhir-akhiiir banget. Dan sepanjang cerita itu juga, pembaca dibuat penasaran apakah akhirnya Alice terbangun dari koma atau meninggal. Setelah sampai di akhir, barulah semua flashback, cerita dari sisi si ini dan si anu, yang awalnya seolah-olah cuma bikin tambah bingung pembaca, terasa masuk akal.

Ibarat menyusun puzzle, setiap potongannya seperti tidak berhubungan dan rasanya tidak akan pernah menampilkan suatu gambar yang utuh dan masuk akal. Namun, jika terus-menerus disusun, lama-lama akan terlihat sebuah gambar yang utuh, terutama saat satu potongan kunci akhirnya terpasang, yang membuat puzzle itu akhirnya tampak jelas ingin menunjukkan gambar apa.

Jujur saja, awalnya saya sempat DNF novel ini karena benar-benar bingung, ini sebenarnya cerita tentang siapa, sih?

Setelah cukup lama ditinggalkan, saya mencoba membaca novel ini lagi. Kali ini membacanya pelan-pelan dan penuh penghayatan, nggak diburu-buru seperti sebelumnya. Tulisan Maggie O’Farrell ini kaya akan deskripsi dan sangat detail. Apa yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan oleh tokoh-tokohnya dijelaskan kepada pembaca sehingga pembaca mendapat gambaran yang jelas apa yang terjadi dan bisa ikut merasakan suasana yang dirasakan para tokoh.

Setelah membaca After You’d Gone, saya penasaran dengan karya-karya Maggie O’Farrell yang lain, tetapi belum memutuskan mau membaca yang mana. Kalau melihat-lihat di Goodreads, hampir setiap bukunya mendapat review yang bagus dari para Goodreaders, termasuk novel After You’d Gone ini.

 

Komentar