Pengalaman Membaca Tiga Novel Karya Umberto Eco



Membaca novel karya Umberto Eco merupakan salah satu pengalaman paling berkesan yang pernah saya alami dalam dunia membaca.

Menelusuri halaman demi halamannya seperti melewati jalan panjang yang kanan-kirinya berdiri bangunan tua yang unik dan antik, memikat hati untuk masuk ke dalamnya, menelaah semua isinya, tapi kita -sebagai pembaca- tahu, kita masih harus terus berjalan, tak bisa terlalu berlama-lama di satu titik, sehingga yang bisa kita lakukan -untuk sementara- adalah menandai bangunan-bangunan itu, untuk suatu hari nanti dikunjungi kembali. Karena kita yakin, kita akan kembali lagi, untuk mengenang, untuk melihat sejauh apa kita berubah.

Jalan panjang adalah alur ceritanya dan bangunan-bangunan tua nan antik adalah tema-tema yang disodorkan Umberto Eco dalam novelnya. Sejarah Prancis abad 18, kehidupan para rahib di biara abad pertengahan, hingga rahasia Kesatria Templar yang misterius.



Awal mula saya tertarik membaca karya Umberto Eco karena salah satu foto di IG Mbak Fathiyah Azizah yang memamerkan koleksi Umberto Eco miliknya. Kebetulan, saat itu saya baru saja selesai membaca novel The Jacatra Secret karya Rizki Ridyasmara dan masih ingin membaca novel sejenis. Membaca keterangan Mbak Fath tentang novel Umberto Eco membuat saya tertarik sekaligus tertantang. Selama ini, saya hanya pernah mendengar nama Umberto Eco dan The Name of the Rose secara sekilas tanpa tahu beliau ini siapa dan menulis buku tentang apa.


Tiga judul buku yang langsung memikat hati saya adalah The Prague Cemetery, Foucault's Pendulum, dan The Name of the Rose. Dua judul pertama saya tertarik karena temanya. Prague Cemetery tentang Protokol Zion dan Foucault's Pendulum tentang rahasia Kesatria Templar. Sementara The Name of the Rose murni karena buku itu terkenal dan aneh rasanya kalau saya nggak baca buku yang itu (sedangkan buku judul lain saya baca). Seaneh membaca novel-novel Jostein Gaarder tanpa membaca Dunia Sophie. Bukan berarti salah ya, tapi seperti ada yang kurang saja.


Begitulah saya langsung mencari tiga buku ini di market place. Untuk The Name of the Rose saya beli dari penerbitnya langsung, Mizan dot com. Saat itu kebetulan judul tersebut sedang diskon, harganya 50 ribu rupiah saja.


Untuk dua buku yang lain, saya beli kondisi bekas dengan harga yg lebih mahal daripada The Name of the Rose. Prague Cemetery di angka 60-70ribuan, kondisi bagus, sudah disampul plastik. Foucault's Pendulum di harga 100-110ribuan, kondisi halaman sudah banyak yang menguning tapi masih okelah. Belakangan saya baru tahu kalau judul ini memang cukup sulit dicari dan harga buku bekasnya memang kisaran segitu (bahkan mungkin bisa lebih). 


Ketiga buku tersebut saya beli pada awal tahun 2020 dan saya baru menamatkan ketiganya di tahun 2025. Yah, walaupun saya merasa berminat dengan tema novel-novel tersebut, memulai membaca mereka adalah perkara lain. 





Buku pertama yang saya ambil adalah The Prague Cemetery. Saya mulai membaca sekitar tahun 2022, tapi baru setengah jalan (bahkan belum sampai setengah sih, mungkin seperempat), saya merasa tak sanggup dan kehilangan minat. Akhirnya saya tinggalkan buku itu dan membaca buku yang lain.


Setelah setahun lebih, saya kembali membuka The Prague Cemetery dan membaca ulang dari awal. Jujur saja, pertama kali membaca novel Umberto Eco membuat saya ingin meng-googling setiap hal yang saya tidak tahu supaya bisa nyambung dengan ceritanya. Tapi, ternyata terlalu banyak dan akhirnya saya memilih untuk menikmati saja cerita yang sudah tertulis.


Beberapa hal memang tetap saya googling karena penasaran banget, termasuk Protokol Zion yang ditulis oleh Simonini, sang tokoh utama, juga kasus Dreyfuss Affair, karena saya pernah mendengar tentang kasus ini -entah di mana- dan apa yang disebutkan di cerita ini memang mirip dengan kisah aslinya. Gara-gara ini, saya sampai meminjam buku Protokol Zion dan Sejarau Yahudi di Ipusnas. (Ternyata di Ipusnas ada, lho. Terbitan Penerbit Alvabet kalau nggak salah.)

 

Saya tidak menelusuri terlalu banyak dan dalam semua peristiwa sejarah yang disebutkan di dalam novel The Prague Cemetery. Namun, dari resensi-resensi buku The Prague Cemetery yang saya temukan di internet, mereka menyebutkan kalau peristiwa dan tokoh sejarah yang disebutkan memang benar ada, tetapi dijahit dengan rapi oleh tokoh fiksi bernama Simonini dan Abbe Dalla Picola.


Dalam buku ini, secara garis besar Umberto Eco menyiratkan kalau konspirasi itu dibentuk atau diciptakan. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menggiring opini publik yang nantinya akan menggerakkan atau menghasilkan sesuatu, baik fenomena maupun keputusan besar, yang pada akhirnya akan menguntungkan si pembuat konspirasi tersebut.


Setelah menamatkan The Prague Cemetery, saya langsung membaca Foucault's Pendulum. Judul ini adalah satu-satunya buku Umberto Eco yang saya baca tanpa disambi membaca buku lain dan dalam kurun waktu yang relatif singkat dibanding dua buku lainnya. Bisa dibilang, Foucault's Pendulum adalah favorit saya.



Foucault's Pendulum bercerita tentang perjalanan tiga orang editor, Casaubon, Belbo, dan Diotalevi, yang terobsesi pada misteri rahasia Kesatria Templar. Ketiganya bekerja di Penerbit Garamond, dan pada suatu hari ada seorang yang mengaku bernama Kolonel Ardenti menyerahkan sebuah naskah yang berharga dan rahasia karena naskah tersebut akan mengungkap rahasia Kesatria Templar. 


Ada beberapa sebab yang membuat saya memfavoritkan Foucault's Pendulum. Meskipun bagian awalnya bikin saya mengerutkan kening, tetapi ketika terus diikuti, alur cerita berjalan cukup cepat dan banyak hal menarik yang ditemukan di sepanjang jalan.


Kelompok-kelompok dengan kepercayaan atau ketertarikan yang sangat aneh (bagi saya), 'cocoklogi' dokumen-dokumen zaman dulu dengan kondisi sekarang, serta misteri calon penulis yang lenyap begitu saja. Ditambah lagi dengan nuansa akademik di lingkungan penerbitan buku, editor, dan penulis yang menjadi latar belakang tiga tokoh utama di cerita ini. Trivia-trivia tentang kehidupan di lingkungan penerbitan yang membuat saya berujar dalam hati, 'Ah iya, memang seperti itu'.


Terakhir, plot twist-nya. Yup, bagian pengungkapan tentang apa arti dari dokumen yang menjadi awal dari semua obsesi dan konspirasi. Arghhh.... Bagian itu benar-benar bikin saya ingin melempar buku yang sedang saya baca.


Setelah Foucault's Pendulum tiba di halaman terakhir, masih dengan euforia dan semangat yang membuncah karena baru saja mendapatkan suatu pengalaman yang mengesankan, saya langsung membuka The Name of the Rose. Berharap isinya semenarik atau bahkan lebih menarik daripada Foucault's Pendulum. Apalagi, rasanya ini adalah judul yang paling terkenal dari sekian banyak karya penulis. Jadi, saya yakin sekali kalau saya bisa menamatkan The Name of the Rose tanpa berlama-lama, tanpa hiatus, dan tanpa diselingi membaca buku lain.


Ternyata perkiraan saya salah. Momen membaca The Name of the Rose hampir sama dengan saat membaca The Prague Cemetery. Semangat di awal, ketika sampai di seperempat bagian, mulai lelah, bosan, dan akhirnya menutup buku tersebut. Dan untuk mengembalikan semangat membaca buku tersebut saya butuh waktu hampir setengah tahun. 


Jadi kronologinya kira-kira seperti ini:


Awal 2020 memiliki tiga buku Umberto Eco.


Tahun 2022 mulai membaca The Prague Cemetery, tapi tidak selesai lalu hiatus.


Pertengahan 2023 kembali membaca The Prague Cemetery, ulang dari awal. 


Sekitar awal 2024 selesai membaca The Prague Cemetery langsung lanjut Foucault's Pendulum.


Pertengahan 2024 selesai membaca Foucault's Pendulum langsung lanjut The Name of the Rose. Dua bulan sebelum akhir 2024 berhenti membaca, hiatus, dan mulai lagi di Januari 2025. Februari-Maret hiatus kembali. April lanjut baca sampai tamat.




Selama saya hiatus membaca The Name of the Rose periode pertama, saya tak sengaja membaca buku atau artikel -saya benar-benar lupa baca di mana- yang menyebutkan spoiler novel tersebut. Saya jadi tahu penyebab yang membuat sebagian rahib ditemukan tewas. Yah, sebenarnya selama membaca novel detektif atau thriller, saya jarang memusingkan siapa pelaku dan seperti apa motif dan modus operandinya. Jadi, selama membaca buku itu (dengan spoiler yang sudah saya ketahui), saya berusaha menikmati tujuh hari yang terasa sangat panjang bersama Adso.


Setelah tiba di akhir dan mengetahui alasan si pelaku, saya hanya bisa berujar dalam hati, "Whew, okeh, alasanmu bisa dimengerti." Endingnya pun lumayan bikin nyesek juga. 


Saat menutup halaman terakhir The Name of the Rose, saya merasa seperti kehilangan sesuatu, entah apa itu. :) Mungkin, rasanya seperti habis melakukan sebuah petualangan panjang, tapi pada akhirnya selesai juga dan harus kembali ke dunia nyata.


Sebenarnya, masih banyak karya Umberto Eco yang lain. Saya berharap bisa membaca semua tulisannya. Tapi mungkin, keinginan itu bisa ditunda dulu sembari mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk memiliki buku-buku beliau. Karena masih banyak petualangan lain (alias timbunan buku) yang menunggu untuk dilalui. Dan semoga saya juga bisa bikin ulasan tiga buku yang sudah saya baca itu satu per satu. Aamiin.


Bagaimana denganmu? Adakah novel Umberto Eco yang sudah kamu baca dan bagaimana kesanmu setelahnya?


Komentar