Resensi Buku: Sirkuit Kemelut


Penulis: Ashadi Siregar
Editor: Eka Pudjawati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Terbit pertama kali tahun 1976
Halaman: 304
ISBN: 978-602-061-803-6

Lexi Wenas tumbuh sebagai lelaki pembenci kehidupan. Dia benci ibu yang melahirkannya karena perempuan itu meninggalkannya demi cinta lelaki lain. Dia benci ayahnya yang tak pernah menyayanginya. Di atas itu semua dia membenci dirinya, yang telah membuat kesalahan fatal, memperkosa gadis yang sebetulnya disayanginya.

Kasus perkosaan itu membuat Lexi terusir dari rumah ayahnya. Dia berjuang untuk hidup di jalan sampai akhirnya berhasil menjadi pembalap motor terkenal dan memiliki banyak yang. Tapi Lexi tak peduli pada uangnya, karena dia tidak tahu apa sebetulnya tujuan hidupnya.

Sampai akhirnya dia menemukan pelabuhan pada diri seorang wanita lembut seusia ibunya. waita yang mencintainya bak anak sendiri namun Lex mencintainya bak kekasihnya….

My Review

Sebelum mengulas novel ini, saya ingin cerita kenapa saya mengambil buku ini dari rak Gramedia dan membawanya ke kasir. Jadi, waktu sedang mengunjungi toko buku Gramedia, saya melihat novel-novel karya Ashadi Siregar dicetak ulang oleh Penerbit GPU. Saya mengetahui Ashadi Siregar -seperti mungkin kebanyakan orang- dari karyanya yang berjudul Cintaku di Kampus Biru.

Beberapa karya beliau yang dicetak ulang, yaitu Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu, Terminal Cinta Terakhir, Sirkuit Kemelut, Gadisku di Masa Lalu, Frustasi Puncak Gunung, dan Jentera Lepas.
Saya belum pernah membaca Cintaku di Kampus Biru atau karya Ashadi Siregar lainnya. Dan entah kenapa saya malah tertarik dengan Sirkuit Kemelut. Mungkin karena sinopsis di bagian belakang buku yang menceritakan tentang lelaki muda yang jatuh cinta dengan perempuan yang lebih tua. Selama ini saya belum pernah membaca cerita bertema itu dan akhirnya Sirkuit Kemelut-lah yang saya bawa pulang. Selain karena tema beda usia, saya juga ingin tahu seperti apa novel pada era 70an.

Setelah membaca Sirkuit Kemelut, saya baru paham mengapa di bagian belakang buku (dekat barcode) ada label 17+. Ternyata memang ada beberapa adegan dewasa di dalamnya meskipun tidak digambarkan secara vulgar melainkan secara kiasan saja. Tetapi, yah, adegannya cukup banyak sih buat saya yang nggak pernah baca novel kipas-kipas, wkwkwk. Cuma, tenang aja, kalimatnya beneran kiasan kok, jadi nggak bakalan bikin kipas-kipas juga. Paling cuma ngangguk-ngangguk, hahaha.

Menurut saya, ada sedikit kekeliruan dari yang dicantumkan di sinopsisnya. Kalau dari sinopsisnya, seolah-olah Lexi bertemu dengan wanita yang lebih tua itu saat sudah menjadi pembalap motor. Padahal, di dalam buku ini Lexi bertemu dengan Tante Liana sebelum menjadi pembalap, melainkan saat dia masih menjadi montir di bengkel Om Bun Hwa.

Setelah diusir ayahnya karena kasus perkosaan itu, hidup Lexi luntang-luntung. Dia sempat terjebak ke dalam perkelahian yang menyebabkannya dipenjara selama beberapa bulan. Di penjara dia malah betah karena punya kesibukan, yaitu memperbaiki mobil yang rusak. Setelah dinyatakan tidak bersalah, Lexi keluar penjara dan pergi ke Bogor mengunjungi kenalannya seorang Cina yang beternak babi, Om Bun Leng.

Tadinya Lexi mau tinggal di Bogor dengan Om Bun Leng. Namun, Om Bun Leng malah menyuruhnya kerja dengan saudaranya di Jakarta, Om Bun Hwa, sebagai seorang montir di bengkel. Om Bun Leng menilai Lexi tidak cocok menjadi seorang peternak. Di bengkel Om Bun Leng inilah Lexi berkenalan dengan Tante Liana yang menjadi pelanggan setia bengkel Om Bun Hwa.

Tante Liana digambarkan sebagai perempuan usia 40an yang masih cantik, bergelimang harta, tetapi sering kesepian karena suaminya sering bekerja ke luar kota bahkan ke luar negeri hingga berhari-hari. kKhadiran Lexi memberi ‘warna’ baru bagi kehidupan Tante Liana.

Sebenarnya, kehidupan cinta Lexi dan Tante Liana ini bisa dibilang ‘mulus’ karena Lexi kan tinggal seorang diri, sudah tidak dianggap oleh keluarganya, jadi tidak akan ada yang memprotes hubungannya dengan Tante Liana. Sementara itu, suami Tante Liana, Om Burhan, tampak baik-baik saja dengan kehadiran Lexi, tidak ada sedikit pun kecurigaan, malah ikut menganggapnya sebagai anak sendiri, mengingat mereka bedua memang tidak dikaruniai anak.

Secara alur cerita, kisah Lexi Wenas ini menarik. Dari seorang anak SMA kaya raya, menjadi gelandangan, dipenjara, menjadi montir di bengkel, lalu mencoba-coba balapan motor yang menjadikannya sebagai juara dan kembali hidup berkecukupan. Sayangnya, Lexi masih memendam kebencian kepada ibunya. Jadi, yah dia merasa apa pun yang dia capai tidak ada artinya. Dia tidak tahu sebenarnya dia hidup untuk apa. Dia masih merasa kesal karena telah dilahirkan oleh perempuan yang ternyata tidak mengharapkannya.

Setelah berkenalan dengan Tante Liana, Lexi sedikit demi sedikit mulai berubah. Terlebih saat Tante Liana tahu siapa ibunya dan kisah di balik ibu Lexi pergi meninggalkan rumah. Akan tetapi, Lexi tetap tidak bisa melepaskan kebenciannya kepada ibunya.

Novel ini memiliki jalan cerita yang cukup panjang tetapi tidak berbelit-belit dan enak untuk diikuti. Setiap tokoh mendapat porsi yang sesuai dengan perannya di cerita ini. Di bagian akhir, Lexi bertemu kembali dengan ayahnya yang mengakui kesalahannya dan penuturan ayahnya membuat Lexi memahami sikap ibunya yang dulu.

Kisah ini ditutup dengan kejadian tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta. Saya belum cari tahu itu berhubungan dengan apa. Yang jelas, bagian akhirnya cukup bikin saya deg-degan dan penasaran banget.

Tema utama yang saya tangkap dari novel Sirkuit Kemelut adalah tentang anak yang tak pernah mendapat kasih sayang orang tuanya. Anak seperti itu (kemungkinan besar) akan menjadi anak yang membenci kehidupan, tak punya tujuan, dan bisa berbuat semau-maunya. Apalagi jika dia terjebak dalam pergaulan yang salah. Syukur-syukur kalau anak itu ikut pergaulan yang benar, yang memberi rasa optimis dan mengenalkannya kepada Penciptanya. Mungkin hal tersebut bisa dihindari.

Banyak orang muda yang lebih suka berada di persimpangan jalan daripada di rumah mereka. Sebab, di rumah mereka bersarang jin yang tak pernah puas. Dialah orangtua yang selamanya menuntut agar anaknya menjadi orang yang baik, tetapi tak pernah mau menunjukkan bagaimana caranya, kecuali dengan setumpuk nasihat dan umpatan belaka.”

Komentar