Penerjemah: Pepi Smith
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Februari 2007
Halaman: 290
Cerita berlatar Prancis abad 15 ini berkisah tentang seorang pelukis bernama Nicolas des Innocents yang disuruh melukis sketsa untuk permadani yang akan dipajang di keluarga bangsawan Paris bernama Jean Le Viste.
Pada awalnya, Jean Le Viste meminta Nicolas untuk membuat lukisan mengenai peperangan yang penuh dengan lambang keluarganya dan menang. Namun, akibat campur tangan putri sulung Le Viste, Claude, dan juga istrinya, Geneviève de Nanterre, lukisan yang tadinya bergambar penuh darah, tombak, dan kuda, menjadi lukisan tentang Unicorn dan Lady.
Tidak sebatas lukisan tentang Unicorn dan Lady, namun sebuah lukisan yang berkisah tentang pertemuan Lady dengan Unicorn, dan pada akhirnya, sang Unicorn berlabuh di pangkuan sang Lady. Dalam kisah itu, dipercaya bahwa tanduk Unicorn dapat memurnikan kembali sumur yang telah teracuni. Dan Nicolas, dengan kemampuannya memikat hati wanita, nyaris berhasil mendapatkan tubuh Claude.
Mengetahui akan bahaya yang mungkin dialami putrinya, Genevieve menyuruh dayangnya untuk membawa Claude ke gereja jauh di luar Paris. Untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh pada lelaki biasa, apalagi pelukis seperti Nicolas. Sedangkan Nicolas disuruhnya ke Brussels bersama Leon Le Vieux, pesuruh keluarganya. Mereka berdua menemui penenun permadani bernama Georges de la Chapelle untuk kembali ‘melukis’ lukisan Nicolas dengan benang-benangnya.
Di Brussels, Nicolas kembali menjerat wanita. Kali ini Alienor, putri bungsu Georges de la Chapelle yang ternyata bermata buta. Namun, itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan tubuh gadis itu. Butuh waktu lama memang karena Alienor bukan wanita yang mudah terkena bujuk rayu, dan ia tipe gadis pendiam.
Kisah itu terus berlanjut. Mulai dari kehidupan Claude di gereja dan pertemuannya dengan Claude kecil, Jean Le Viste yang mendadak meminta agar tenunan permadani selesai lebih cepat dari pesanannya, kehamilan Alienor, usaha Nicolas untuk bertemu kembali dengan Claude, dan pada akhirnya setiap tokoh di dalam cerita itu memiliki endingnya sendiri-sendiri. Lalu apa hubungannya dengan lukisan Nicolas tentang Lady dan Unicorn?
Tentu saja ada hubungannya. Namun,sepertinya lebih seru kalau dibaca dan dipahami sendiri, hehehe…
Hal paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah gaya bercerita. Hampir semua tokoh di cerita ini memiliki kesempatan untuk bercerita. Jadi setiap berpindah dari satu subbab ke subbab selanjutnya, kita akan menemui sudut pandang dan perasaan yang berbeda. Meskipun cerita itu tetap berkesinambungan, kadang seperti ada yang hilang dari bagiannya, karena ‘terpaksa’ berpindah ke tokoh lain. Saya sempat penasaran dengan apa yang terjadi dengan salah satu tokoh saat cerita itu mengalir ke tokoh lainnya. Tapi, baiklah, mngkin itu keunikannya.
Selain itu, tentu saja, karena novel ini adalah historical fiction, maka pembaca akan sedikit banyak mengetahui tentang kehidupan bangsawan Paris pada abad 15, kehidupan penenun permadani di Brussels, berikut bagaimana cara mereka menenun.
Tidak sebatas lukisan tentang Unicorn dan Lady, namun sebuah lukisan yang berkisah tentang pertemuan Lady dengan Unicorn, dan pada akhirnya, sang Unicorn berlabuh di pangkuan sang Lady. Dalam kisah itu, dipercaya bahwa tanduk Unicorn dapat memurnikan kembali sumur yang telah teracuni. Dan Nicolas, dengan kemampuannya memikat hati wanita, nyaris berhasil mendapatkan tubuh Claude.
Mengetahui akan bahaya yang mungkin dialami putrinya, Genevieve menyuruh dayangnya untuk membawa Claude ke gereja jauh di luar Paris. Untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh pada lelaki biasa, apalagi pelukis seperti Nicolas. Sedangkan Nicolas disuruhnya ke Brussels bersama Leon Le Vieux, pesuruh keluarganya. Mereka berdua menemui penenun permadani bernama Georges de la Chapelle untuk kembali ‘melukis’ lukisan Nicolas dengan benang-benangnya.
Di Brussels, Nicolas kembali menjerat wanita. Kali ini Alienor, putri bungsu Georges de la Chapelle yang ternyata bermata buta. Namun, itu tidak menghalanginya untuk mendapatkan tubuh gadis itu. Butuh waktu lama memang karena Alienor bukan wanita yang mudah terkena bujuk rayu, dan ia tipe gadis pendiam.
Kisah itu terus berlanjut. Mulai dari kehidupan Claude di gereja dan pertemuannya dengan Claude kecil, Jean Le Viste yang mendadak meminta agar tenunan permadani selesai lebih cepat dari pesanannya, kehamilan Alienor, usaha Nicolas untuk bertemu kembali dengan Claude, dan pada akhirnya setiap tokoh di dalam cerita itu memiliki endingnya sendiri-sendiri. Lalu apa hubungannya dengan lukisan Nicolas tentang Lady dan Unicorn?
Tentu saja ada hubungannya. Namun,sepertinya lebih seru kalau dibaca dan dipahami sendiri, hehehe…
Hal paling menarik dari buku ini, menurut saya, adalah gaya bercerita. Hampir semua tokoh di cerita ini memiliki kesempatan untuk bercerita. Jadi setiap berpindah dari satu subbab ke subbab selanjutnya, kita akan menemui sudut pandang dan perasaan yang berbeda. Meskipun cerita itu tetap berkesinambungan, kadang seperti ada yang hilang dari bagiannya, karena ‘terpaksa’ berpindah ke tokoh lain. Saya sempat penasaran dengan apa yang terjadi dengan salah satu tokoh saat cerita itu mengalir ke tokoh lainnya. Tapi, baiklah, mngkin itu keunikannya.
Selain itu, tentu saja, karena novel ini adalah historical fiction, maka pembaca akan sedikit banyak mengetahui tentang kehidupan bangsawan Paris pada abad 15, kehidupan penenun permadani di Brussels, berikut bagaimana cara mereka menenun.
Penulisnya sendiri mengakui kalau cerita ini memang benar-benar terinspirasi dari permadani Lady dan Unicorn yang dibuat pada abad abad 15 dan ditemukan kembali pada abad 19. Dibeli oleh pemerintah Prancis dan dipajang di Musèe de Cluny (sekarang Musèe national du Moyen âge) di Paris. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai permadani tersebut, bisa mengunjungi website penulisnya, yaitu www.tchevalier.com
Satu hal lagi, saya suka buku ini, karena halamannya yang cukup lebar dengan font huruf berukuran cukup besar. Sehingga tidak membuat sakit mata pembacanya, dan dapat dibaca sekali duduk saja. Saya membaca novel itu malam hari, sampai larut, di tengah masa UAS. (masih sempet, hehehe). Dan buku ini adalah buku pinjaman dari perpustakaan yang selalu membuat saya tersesat.
Komentar
Posting Komentar