Penulis : Tyas Palar
Penerbit : Imania
Tahun
Terbit : 2009
Edward
Twickenham, penyihir asal Glamorgan, mendapat undangan dari penyihir lain, Ivar
Eidjford yang tinggal di Tanah Hijau, Denmark. Akhir-akhir ini, Ivar sering mendapat
Kilasan Masa Depan, dan itu kilassan yang buruk. Ia melihat ‘kematian’ dan
kehancuran di mana-mana. Ivar merasa harus menyelidiki apa makna dari kilasan
yang dilihatnya, dan ia mendapat informasi kalau Edward adalah salah satu
penyihir hebat, yang mungkin bisa membantunya.
Namun, setelah Ivar bercerita tentang Kilasan Masa Depan yang menghantuinya, Edward mengusulkan untuk mencari Merlin saja. Merlin, penyihir besar yang diyakini Edward memiliki kemampuan untuk membaca Kilasan Masa Depan. Masalahnya, tidak ada yang tahu di mana Merlin berada. Bahkan, banyak gossip yang mengabarkan kalau dia sudah mati.
Satu-satunya penyihir yang dianggap bisa mengetahui di mana keberadaan Merlin adalah Junda, si Lithuania Gila. Junda memiliki Cermin yang dapat memberi tahu keberadaan seseorang yang sedang dicari. Sayangnya, Ivar dan Edward tidak tahu dengan pasti di mana tempat tinggal Junda, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan Jalan Bayang. Sebuah cara pintas bagi penyihir untuk mencapai sebuah tempat yang mereka tuju.
Oleh karena itu, mereka pun melalui perjalanan panjang dari Denmark ke Lithuania untuk menemui Junda. Bertemu dengan Biarawan, Manusia Mungil, Ksatria Teuton, adalah sebagian dari kisah petualangan mereka. Dan saat mereka sampai di tempat Junda, cermin itu ternyata retak. Junda tidak tahu siapa yang melakukannya, mungkin ayam-ayam yang ia pelihara di rumah. Mau tidak mau, mereka harus mencari seseorang yang sanggup memperbaiki Cermin itu.
Dialah Tariq, sang Alkemis dari Persia yang memiliki keahlian memperbaiki barang-barang sihir. Maka, Edward dan Ivar pun kembali melakukan perjalanan. Kali ini mereka bersama Junda dan Cerminnya, menuju Lyon, untuk menemui Tariq. Ternyata, mencari Merlin untuk membaca Kilasan Masa Depan, tidak semudah yang Ivar bayangkan.
Seperti
kategori untuk review ini, Blame it on Bloggers, aku mengetahui buku Tyas Palar
dari beberapa blog buku. Aku lupa blognya siapa, tapi seingatku salah satunya
adalah Blog Fiksi Fantasi Indonesia. Tentu saja, buku ini adalah novel fantasi
karya penulis Indonesia.
Berdasarkan beberapa review yang aku baca, komentar untuk buku ini bagus-bagus. Sehingga aku tertarik untuk membeli meskipun keberadaannya agak susah dicari. Dan, apa yang dituliskan di review-review itu memang benar. Buku Tyas Palar ini memang keren!
Aku bukan pencinta berat cerita fantasi dengan tema sihir, tapi aku sangat suka dengan masa lalu (salah satu faktor penyebab susah move on L). Dan buku ini banyak memberi informasi tentang masa lalu, khususnya sejarah sihir dan Abad Pertengahan, lewat catatan kakinya, dan juga dialog tokoh-tokohnya.
Selain itu, aku juga suka dengan karakter tokoh-tokohnya, yang terkadang terasa sangat kocak, hingga membuatku tertawa sendiri. Terutama dua tokoh yang muncul paling awal. Edward yang sangat mencintai kerapian dan kebersihan serta Ivar yang suka masak dan agak ceroboh. Keduanya terasa seperti sepasang sahabat yang saling melengkapi.
Bahasa yang digunakan Tyas Palar pun ringan dan mengalir, sehingga cerita tidak terasa membosankan atau memusingkan. Kehadiran catatan kaki di beberapa bab membantu pembaca memahami istilah atau ungkapan yang diucapkan tokoh dalam cerita.
Satu hal yang aku sayangkan, adalah ilustrasi sampul dan halaman awal di tiap bab. Kok, rasanya kurang seru aja kalau sampulnya kayak gitu. Kalau hanya melihat sampulnya, aku membayangkan cerita tentang penyihir tua yang misterius. Padahal tokoh utamanya, adalah dua penyihir (yang terlihat) muda dan berpenampilan sangat manusiawi. Sedangkan di halaman tiap awal bab, malah dihiasi gambar kartun penyihir tua linglung yang berkacamata dengan jenggot putih panjang dan tongkat sihirnya. Menurut pendapatku sih, kedua hal itu agak mengganggu, dan bisa digantikan dengan ilustrasi yang mungkin lebih tepat dengan ceritanya.
Yah, tapi mengingat aku juga tidak pandai dalam hal ilustrasi, jadi ya sudahlah. Toh, ceritanya sudah sangat menarik bagiku, hingga bisa mengalihkanku dari gangguan kecil pada masalah ilustrasi.
The Death to Come sendiri adalah buku pertama dari Trilogi The Search of Merlin. Buku keduanya berjudul The Grey Labyrinth. Sedangkan buku ketiganya masih menjadi misteri bagiku, karena aku nggak tahu judulnya, dan apakah buku itu sudah diterbitkan atau belum. ^^
[Review ini diikutsertakan dalam Lucky No.14 Reading Challenge kategori Blame it on Bloggers]
Komentar
Posting Komentar