Resensi Buku: Cerita Sepanjang Musim (The Golden Road)



Penulis: Lucy Maud Montgomery
Penerjemah: Perwira Leo
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Juli 2010
Halaman: 306

Gadis Dongeng dan teman-temannya memiliki rencana untuk Tahun Baru yang telah menanti di depan mata. Mereka akan membuat koran pribadi yang ditulis oleh mereka sendiri dan akan terbit sebulan sekali. Nama koran itu Our Magazine.

Semua orang mendapat tugasnya masing. Bev menjadi editor, Dan mengasuh rubrik etiket, Felicity rubrik rumah tangga, Cecily editor fashion, Peter menjadi editor fiksi, dan Gadis Dongeng akan menangani rubrik khusus pesan pribadi.

Selain menerbitkan koran pribadi, mereka bertujuh, termasuk Sara Ray, menjalani hari-hari yang indah dan tak akan terlupakan. Seperti menyambut istri Gubernur yang mereka kira Nenek Eliza yang tuli, tersesat di malam badai dan harus bermalam di rumah penyihir Peg Bowen, kehilangan kucing kesayangan mereka, Paddy, serta mempersiapkan dua pernikahan.

Ada juga kehebohan-kehebohan kecil seperti saat Felicity membuat biskuit dengan serbuk gigi, atau ketika Cecily mengeriting rambutnya dengan lem. Tahun ini juga berkesan karena ayah Peter yang pemabuk kembali pulang ke rumah dengan sikap yang sangat baik. Kabarnya dia telah bertobat. Ayah Gadis Dongeng juga kembali pulang ke Pulau Prince Edward dari petualangan-petualangan panjangnya mengelilingi dunia.

The Golden Road adalah sekuel dari cerita The Story Girl, yang telah kubaca lama sekali, waktu masih kuliah. Dan karena jeda yang cukup panjang itu, ketika awal membaca aku agak lupa dengan hubungan antar tokoh dan kisah mereka sebelumnya. Ditambah, buku The Story Girl yang aku baca adalah buku pinjaman dari perpustakaan, sehingga tak mungkin untuk melihat-lihat lagi. Namun, seiring halaman yang aku baca, aku mulai kembali ingat dengan kisah mereka.

Tokoh utama, Gadis Dongeng, yang bernama asli Sara Stanley, tinggal di Carlisle karena ayahnya pergi berpetualangan ke luar negeri. Beverley dan Felix King bersaudara kandung, dan tinggal sementara di Carlisle. Sedangkan sepupu mereka, Dan, Cecily, dan Felicity menetap di Carlisle. Sedangkan Peter Craig dan Sara Ray adalah tetangga yang sebaya dengan mereka, juga tinggal di Carlisle. Usia mereka hampir sebaya, sekitar 12-14 tahun, dengan Bev dan Sara Stanley yang paling tua, 15 tahun.

Cerita Sepanjang Musim masih tetap indah khas tulisan Montgomery. Tentu saja, The Story Girl-lah yang membuat aku penasaran dengan karya-karya Montgomery lainnya. Di setiap kejadian yang para tokohnya alami, terselip kisah-kisah indah dari masa lalu yang diceritakan oleh Gadis Dongeng. Meskipun tokoh utamanya adalah dia, namun ceritanya sendiri dituturkan oleh Bev King, anak laki-laki keluarga King, yang terlihat lebih pendiam dibanding yang lainnya.

Dalam Cerita Sepanjang Musim, ketujuh anak itu memiliki karakter masing-masing. Bev yang pendiam dan dewasa, Gadis Dongeng yang suka mengkhayal, Felix yang lebih suka makan, Felicity yang pandai memasak dan benci omong kosong, Dan yang selalu bertengkar dengan Felicity, Cecily yang baik hati dan lembut, Sara Ray yang terlalu sering menangis, dan Peter Craig yang selalu berusaha mendapatkan hati Felicity. Yah, kelihatannya di sini, Felicity memang paling menonjol, setelah Gadis Dongeng.

Aku sendiri paling suka bagian di mana Bev ingin mengajak pulang Sara Stanley dari gereja. Juga saat mereka berjalan berdua saja malam-malam ke tempat konser sekolah karena kalung yang dipakai Sara terjatuh di sana. Entah kenapa, aku ingin sekali ada kisah lain tentang Bev dan Sara Stanley, kisah yang lebih romantis, hehehe.

Sama seperti karya Montgomery lainnya yang sudah kubaca dan diterbitkan oleh Bentang Pustaka, yaitu Emily of New Moon dan Emily Climbs, segi penerjemahan baik, bahasanya mudah dimenegerti, dan tetap menyalurkan keindahan-keindahan asli tulisan Montgomery. Sayangnya, bagian yang menyebalkan juga sama, COVER-nya. Huffth…

Aku nggak bisa menangkap apa maksud dari tiga orang gadis kecil dan seorang perempuan yang berdiri dengan baju model zaman dulu (entah zaman apa). Maksudku, kalau saja, tim desain Bentang Pustaka mau sedikit lebih berjuang untuk mendesain dengan sesuatu yang lebih artistik, ketimbang menempel foto-foto orang tak dikenal, buku ini pasti akan jadi lebih menarik. Apalagi kebanyakan orang membeli buku karena sampulnya, meskipun sampul bagus tak menjanjikan isi yang bagus pula. Tapi isi yang bagus juga tak akan selalu diketahui jika sampulnya tak menarik. Yah, begitulah…

Mudah-mudahan Bentang Pustaka tidak kapok menerbitkan karya klasik lainnya, karena aku sangat suka dengan cerita klasik. Dan mudah-mudahan gaya desain sampulnya akan berubah, sehingga cerita-cerita klasik semakin banyak diminati orang.




Komentar