Penulis :
Alfian Daniear
Penerbit :
Teen Noura
Tahun Terbit :
Mei 2013
Halaman :
305
Raline selalu membawa payung pemberian Zidan ke
mana-mana. Payung itu diberikan Zidan tidak lama sebelum dia pergi meninggalkan
Magetan untuk tinggal bersama orangtuanya di Jakarta. Sebagai teman dari kecil
dan satu-satunya sahabat Raline yang paling dekat, Raline sangat sedih
mengetahui Zidan pergi ke Jakarta. Apalagi cowok itu pergi tanpa pamit
kepadanya.
Sejak kepergian Zidan, Raline berubah jadi gadis yang
pendiam. Anehnya, ia amat menyayangi payung pemberian Zidan, hampir seperti ia
menyayangi Zidan. Bahkan, setiap kali Raline rindu Zidan, ia menulis surat dan
membubuhkan nama ‘Raline dan Umbrella’ di bawahnya. Meski surat-surat itu tak
sekalipun ia kirim pada Zidan. Sejak meninggalkan Magetan, Zidan tak pernah
memberinya kabar lagi.
Suatu hari, ayah Raline, yang bekerja di wahana
permainan pasar malam, terjatuh saat memperbaiki komidi putar. Kaki dan
lengannya patah sehingga butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit. Ditambah
lagi, kehamilan ibu Raline makin besar dan butuh biaya persalinan. Sedangkan
tunggakan biaya sekolah Raline dan adiknya Rifan makin menumpuk.
Orangtua Raline tidak ingin anaknya putus sekolah.
Jadi, saat Eyang Utomo, adik dari nenek Raline, meminta Raline untuk tinggal
dan sekolah di Jakarta, mereka menyetujuinya. Raline, dengan berat hati,
menerima keputusan tersebut dan berangkat ke Jakarta. Terselip sedikit harapan
di hatinya, ia akan bertemu Zidan di ibukota.
Di Jakarta, bukannya bertemu Zidan, Raline malah
berteman dengan Elbert, lelaki usil pegawai Dream’s Window tempatnya bekerja
paruh waktu. Sedikit demi sedikit, sifat pendiam Raline mulai menghilang sejak
ia akrab dengan Elbert. Elbert juga yang membuatnya kembali membangun mimpi-mimpinya
yang dulu sempat ia kubur. Meskipun begitu, Raline masih menyayangi payung dari
Zidan dan menulis surat tak sampainya seperti dulu.
Waktu membaca endorsement dari Orizuka yang
mengatakan “cerita cinta yang manis dan membumi”, aku langsung penasaran.
Ditambah lagi, endorser lain mengungkit-ungkit tema cinta pertama, jadi
baiklah, Dear Umbrella juga aku bawa pulang bersama The Mint Heart.
Baru baca beberapa halaman, aku langsung merasa tahu
apa yang dimaksud Orizuka dengan ‘membumi’. Cerita Raline dan Zidan ini sama
sekali nggak ngoyo dan aneh-aneh.
Latar Magetan juga menambah nilai plus cerita ini, karena menawarkan latar yang
berbeda dari cerita-cerita bertema romance kebanyakan. Yah, walaupun
ujung-ujungnya ke Jakarta juga sih.
Ceritanya juga nggak menye-menye kok. Walaupun di sini diceritakan Raline yang sedih
banget ditinggal Zidan tanpa pamit (just FYI, aku benci banget sama tema
‘ditinggal tanpa pamit’) tapi dia nggak frustasi dan melakukan hal aneh-aneh.
Malah tegar dan menjalani hidupnya dengan semangat.
Aku juga suka dengan tokoh Elbert yang usil tapi
baik. Kelakuannya yang aneh bin ajaib bikin aku berharap ketemu cowok macam
Elbert di kehidupan nyata.
Sayangnya, banyak hal yang di novel ini yang
menciptakan pertanyaan tak terjawab. Untuk pertanyaannya sendiri, nggak bisa
kusebutkan karena nanti jadi spoiler. Tapi beneran deh, banyak banget yang
kupertanyakan, kenapa si ini begini, kenapa si itu begitu. Dan hampir sama
seperti The Mint Heart, akhirnya kurang greget.
Padahal, sepanjang cerita aku menikmati banget
kisahnya Raline ini. Penuturannya sederhana dan mengalir. Memang cocok untuk
target pembaca remaja.
Yah begitulah, Dear Umbrella juga nggak
mengecewakanku kok. Bacanya seakan bikin pengen balik lagi ke masa-masa SMA,
hehehe. Bahkan aku jadi penasaran dengan novel-novel terbitan Teen Noura
lainnya.
Satu lagi yang aku suka, kisah ini diawali oleh pertanyaan yang maniiiiis banget
Komentar
Posting Komentar