Penulis : Stephen Chbosky
Penerbit :
Pocket Books, Simon and Schuster Inc.
Tahun Terbit :
1999
Saya
baru membaca novel The Perks of Being Wallflower, dan rasa-rasanya, saya akan
menulis resensinya dengan gaya yang berbeda dari resensi-resensi saya
sebelumnya.
Cerita
dibuka dengan surat pertama dari Charlie di bulan Agustus tahun 1991 untuk
seorang teman. Charlie tidak menjelaskan siapa teman tersebut. Yang Charlie inginkan
hanyalah seseorang yang dapat mengerti dirinya dan mau mendengarkan kisah
hidupnya, dan ia pikir menulis surat dapat membantu Charlie mengatasi masalah
tersebut.
Surat
pertama berkisah tentang kematian sahabat Charlie, Michael Dobson, karena bunuh
diri. Mendengar kabar tersebut, Charlie terus menangis. Setelah kejadian itu,
Charlie memiliki kunjungan tetap dengan seorang konselor.
Surat-surat
selanjutnya berisi keseharian hidup Charlie di rumah dan di sekolah. Di rumah,
ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Charlie memiliki kakak laki-laki
dan kakak perempuan. Di sekolah, Charlie baru saja memulai tahun barunya di SMA
dan begitu khawatir, apakah dia akan memiliki teman atau tidak.
Charlie adalah tipikal anak yang pendiam, introvert, dan kikuk. Beberapa temannya memandang dia aneh. Namun sebenarnya dia adalah anak yang cerdas dan suka memperhatikan segala sesuatu dengan lebih dalam.
Dulu, Charlie sangat dekat dengan saudara ibunya, yang ia panggil Aunt Helen. Aunt Helen meninggal karena kecelakaan saat ia hendak pergi membeli kado untuk Charlie. Karena kejadian itu, Charlie selalu dihantui perasaan bersalah dan juga kerinduan terhadap bibinya.
Di
sekolah, Charlie akhirnya mendapat teman saat menonton pertandingan bola.
Mereka adalah Patrick dan Sam, sepasang saudara tiri yang juga senior Charlie
di sekolah. Merekalah yang mengenalkan Charlie pada beberapa senior lainnya,
juga pada pesta dan kegiatan ala remaja SMA.
Agak
sulit menulis resensi The Perks of Being Wallflower. Rasanya banyak yang ingin
saya ceritakan. Tapi di sisi lain, saya tidak tahu bagaimana harus
menceritakannya. Yang jelas, pada awal saya membaca novel ini, saya merasa
cukup bosan. Entahlah, mungkin karena saya belum terlalu mengenal sosok
Charlie. Lama-kelamaan, saya mulai terbawa masuk ke dalam kehidupan Charlie.
Mengetahui apa yang dia lihat, apa yang dia lakukan, apa yang dia rasa.
Charlie
mengalami masalah kejiwaan. Terbukti dengan ceritanya yang memiliki pertemuan
dengan konselor dan psikatris, serta harus mengonsumsi obat-obatan tertentu.
Kadang-kadang, dia juga mengalami serangan panik atau kesedihan yang terus
menerus. Orang tua Charlie cukup perhatian dengan kondisi anak bungsu mereka. Kalau
dari surat-suratnya, Charlie memiliki keluarga yang baik dan hangat.
Membaca
surat-surat Charlie, entah kenapa, lama-lama ikut membuat saya depresi juga. Rasanya
seperti mulai berpikir dengan cara yang sama seperti Charlie. Yang saya sukai
dari cerita ini adalah keluarga dan teman-teman dekat Charlie yang suportif. Bahkan
guru bahasa Inggris-nya, Bill, menganggapnya istimewa dan selalu meminjaminya
berbagai buku.
Entah
kenapa saya tidak terlalu suka hubungan Charlie dengan Sam. Bagi saya Sam
kelihatannya jahat dan egois, hehehe. Saya lebih suka hubungan Charlie dengan
kedua kakaknya, terutama kakak perempuannya. Kakak perempuannya ini tidak
terlalu akrab dengan Charlie, tapi pada suatu kejadian, hanya Charlie-lah yang
dia percaya untuk membantunya. Kejadiannya apa, silakan baca sendiri ya…
The
Perks of Being Wallflower sudah pernah difilmkan di tahun 2012. Tokoh Charlie diperankan
oleh Logan Lerman, Sam diperankan oleh Emma Watson, dan Patrick diperankan oleh
Ezra Miller. Saya menonton film itu tidak lama setelah filmnya rilis, dan sudah
lupa dengan detil cerita di dalamnya. Yang jelas, pasti ada yang berbeda antara
di buku dan di film, meskipun yang menulis novel dan script filmnya sama-sama
Stephen Chbosky.
Ketika
membaca bukunya, saya merasa Logan Lerman kurang terlihat depresi untuk menjadi
Charlie. Atau mungkin di novel, pembaca benar-benar diajak masuk ke dalam
pikirannya Charlie tanpa terlalu tahu seperti apa Charlie di permukaan. Sehingga
akting Logan Lerman tidak sepenuhnya salah juga.
Ketika
saya selesai membaca seluruh surat Charlie, barulah saya mengerti mengapa
banyak orang memuji novel The Perks of Being Wallflower ini. Cerita tentang
Charlie sangat rumit dan complicated, tapi realistis. Bagaimana Chbosky
menggambarkan sosok Charlie lewat surat-suratnya benar-benar apik dan mendalam.
Seperti yang sejak tadi saya bilang, pembaca jadi ikut terbawa pada perasaan,
pemikiran, dan kehidupan Charlie.
Sejak
saya mengenal Charlie, saya jadi ingin mencoba melihat sesuatu tidak hanya dari
permukaannya saja, tapi juga dari di dalamnya. Dan kalau Charlie benar-benar
ada, saya ingin bilang padanya, kalau segalanya akan baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar