Penulis: John Green
Penerjemah: Barokah Ruziati dan Sekar Wulandari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan ketiga, September 2014
Miles Halter.
Seorang cowok remaja biasa-biasa saja, hafal banyak kata-kata terakhir tokoh
terkenal dan tak punya teman dekat.
Berniat meninggalkan rumahnya di Florida untuk sekolah asrama di Culver Creek,
Alabama karena ingin mencari ‘Kemungkinan Besar’nya.
Di Culver Creek,
Miles tinggal sekamar dengan Chip Martin yang lebih sering dipanggil Kolonel. Miles
sendiri mendapat nama panggilan, Pudge, dan akhirnya lebih sering dipanggil
dengan nama itu ketimbang nama aslinya. Lewat Kolonel, Miles berkenalan dengan
Takumi, seorang cowok Jepang, dan Alaska, cewek cantik yang terlihat
serampangan namun seksi dan pintar.
Hari-hari mereka
di Culver Creek diisi dengan (tentu saja) belajar, merokok diam-diam, minum
alkohol diam-diam, melakukan kejailan, dijaili, dan membalas kejailan. Perlahan
tapi pasti, Miles makin mengenal sahabat-sahabatnya, dan diam-diam mencintai
Alaska, yang sikapnya impulsif dan tak bisa ditebak.
Pada suatu hari,
Alaska menghilang begitu saja dalam kehidupan mereka, tanpa meninggalkan pesan
apa-apa. Apa yang sebenarnya terjadi pada Alaska?
Ini kali ketiga
aku membaca karya John Green, setelah The Fault in Our Stars dan Will Grayson,Will Grayson. Entahlah, walaupun sebenarnya aku tidak terlalu memfavoritkan
John Green, tapi ada rasa penasaran untuk membaca karya-karyanya yang lain.
Looking for
Alaska, jika melihat copyright-nya, diterbitkan tahun 2005. Berarti lebih dulu
dibanding The Fault in Our Stars. Dalam kisahnya kali ini, John Green
menceritakan kehidupan anak SMA yang bersekolah di asrama.
Ceritanya dibagi
menjadi dua bagian. Sebelum dan Sesudah Alaska pergi. Sepanjang membaca bagian
Sebelum, aku terus bertanya-tanya, ‘Apa sih yang akan dilakukan Alaska?’ Dan
ketika sampai di bagian Sesudah, aku cuma bergumam, ‘Oh ini’.
Kalau dari segi
cerita, menurutku Looking for Alaska tergolong biasa-biasa saja. Nggak ada
sesuatu yang membuatku merasa terguncang, sedih, kaget, atau apa. Memang sih,
kalau dari segi penceritaan, gaya John Green ini enak, mengalir, dan tidak
membosankan.
Aku sendiri
tidak terlalu simpati pada Miles maupun Alaska, yang menjadi tokoh sentral di
cerita ini. Entah mengapa aku nggak terlalu suka pada Alaska, yang aneh dan
nggak jelas itu. Miles kadang-kadang lucu, tapi aku nggak terlalu suka karena
dia mudah ikut-ikutan.
Aku lebih suka dengan Chip/Kolonel. Dia galak, tapi punya
pendirian, setia kawan, berani, dan memiliki mimpi-mimpinya sendiri. Sedangkan
Takumi, dia yang paling pendiam di antara mereka berempat, dan hanya mengikuti
rencana-rencana Kolonel dan Alaska tanpa banyak suara.
Salah satu hal
yang menjadi pertanyaan besar di dalam novel ini adalah kata-kata terakhir
Simon Bolivar, “Bagaimana caraku keluar dari labirin ini!” Miles dan Alaska
berusaha mencari tahu apa yang dimaksud labirin oleh Bolivar. Apakah itu
kehidupan? Kematian? Penderitaan? atau yang lain?
Sedangkan niat Miles
pergi mencari Kemungkinan Besar terinspirasi dari kata-kata terakhir Francois
Rabelais, “Aku pergi mencari Kemungkinan Besar.”
Ini yang
dikatakan Miles,
“Jadi pria ini,” kataku berdiri di ambang pintu ruang
tamu, “Francois Rabelais. Dia penyair. Dan kata-kata terakhirnya adalah ‘Aku
pergi untuk mencari Kemungkinan Besar’. Itulah alasanku pergi. Agar aku tak
harus menunggu sampai mati untuk mulai mencari Kemungkinan Besar.”
Aku juga suka
kata-kata Alaska di bagian ini
“Ya Tuhan, aku tak ingin jadi orang yang hanya
duduk-duduk sambil mengoceh tentang apa yang ingin dia lakukan. Aku akan
langsung melakukannya. Membayangkan masa depan sama saja seperti bernostalgia. Kau
menghabiskan seumur hidupmu terperangkap dalam labirin, berpikir tentang
bagaimana suatu hari nanti kau akan keluar dari sana, dan betapa hebatnya saat
itu terjadi. Membayangkan masa depan membuatmu bertahan hidup, tapi kau tak
pernah melakukannya. Kau hanya menggunakan masa depan untuk menghindari masa
sekarang.”
Terakhir, kutipan favoritku dari Miles.
“Menurutku,
manusia menginginkan jaminan. Mereka tak sanggup membayangkan bahwa kematian
hanya berwujud kehampaan besar dan gelap, tak sanggup membayangkan orang-orang
terkasih tiada, dan bahkan tak sanggup membayangkan diri mereka sendiri tiada. Aku
akhirnya memutuskan manusia memercayai kehidupan setelah kematian karena tak
sanggup berbuat sebaliknya.”
Menurutku malah bagus banget looking for alaska ini. Perasaan "gantung" nya itu kena banget
BalasHapuswaah, saya malah lupa dengan bagian akhirnya, hehehe, karena terlalu fokus dengan sikap Alaska :D
Hapus