Penulis :
John Green
Penerjemah :
Angelic Zaizai
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit :
Cetakan keempat, Agustus 2015
Halaman :
360
Paper
Towns bercerita tentang petualangan Quentin Jacobsen alias Q dalam menemukan
sahabat kecilnya, Margo Roth Spiegelman yang tiba-tiba menghilang, setelah
malam sebelumnya mengajak Q melakukan aksi pembalasan kepada teman-teman akrab
Margo.
Q
dan Margo bertetangga sejak kecil, rumah mereka bersebelahan, hanya saja di
sekolah Q dan Margo memiliki grup pertemanan yang berbeda. Q memiliki dua
sahabat akrab, Ben dan Radar, sedangkan Margo, yang populer di sekolah,
memiliki pacar bernama Jase, dan dua sahabat karib, Lacey, dan Rebecca.
Selama
masa sekolah, Q dan Margo tidak terlalu akrab, walaupun diam-diam Q menyukai
Margo. Oleh karena itu, Q kaget sekali ketika suatu malam, Margo mengetuk
jendela kamarnya dan meminta Q menemaninya melakukan aksi pembalasan.
Setelah
aksi pembalasan, Margo mengajak Q menyelinap ke sebuah gedung tinggi dan
melihat kota tempat tinggal mereka dari atas. Margo mengatakan kalau mereka
semua seperti tinggal di kota kertas, yang diisi oleh orang-orang kertas yang
rapuh.
Esoknya,
di sekolah Margo tidak tampak batang hidungnya. Begitupun hari-hari
selanjutnya. Q mulai cemas. Margo memang pernah melakukan kabur dari rumah dan
melakukan petualangannya sendiri. Namun, kali ini, Q mencemaskan gadis itu
karena selalu teringat dengan kata-kata Margo tentang kota-kota kertas.
Jadi,
selama masa ujian akhir sekolah hingga menjelang wisuda, Q mencoba menyelidiki
ke mana perginya Margo berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan gadis
itu. Tidak lupa Q juga mengajak kedua sahabatnya, Ben dan Radar untuk membantunya.
Ah,
sepertinya kemampuan meresensiku semakin buruk ya? Hehehehe…
Kesanku
setelah membaca buku ini, aku merasakan sedikit kemiripan di antara tokoh Q dan
Miles ‘Pudge’ di cerita Looking for Alaska, begitu juga dengan karakter Margo
dan Alaska.
Margo,
cewek cantik, populer, namun misterius. Q, cowok biasa-biasa saja, yang
diam-diam menyukai Margo.
Aku
menangkap kesan bahwa John Green ingin menyampaikan pesan tentang betapa
rapuhnya manusia dalam cerita Paper Towns ini. Hanya saja, aku merasa
pesan-pesan moral nan bermaknanya kurang nancep. Cerita lebih dipenuhi dengan
pemecahan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan Margo untuk Q.
Yah,
kuakui itu juga seru sih. Membaca Paper Towns membuatku ingin mengelana juga,
hehehe. Aku cukup suka dengan cara John Green bercerita, karena selalu ada
humornya. Tapi untuk bagian alur cerita dan penyampaian pesan atau makna,
sepertinya masih agak kurang.
Membaca
Paper Towns juga membuatku tertarik tentang kota kertas alias kota yang hanya
ada di dalam peta, jebakan hak cipta, juga puisi-puisi Walt Whitman dan musik-musik
favorit Margo. Walaupun aku tidak bersimpati penuh kepada Q maupun Margo, aku
cukup suka dengan karakter mereka. Karakter favoritku sendiri, entah kenapa
malah jatuh kepada Radar, si pengisi laman Omnictionary.
Beberapa
kutipan favoritku dari Paper Towns
“Pergi
terasa begitu menyenangkan, begitu kita pergi.”
“Kepergian
terasa menyenangkan dan murni hanya ketika kita meninggalkan sesuatu yang
penting, sesuatu yang berarti bagi kita. mencabut kehidupan hingga ke akarnya. Tetapi
kita tidak bisa melakukan itu sampai kehidupan kita berakar.”
Komentar
Posting Komentar