Penulis: Arumi E.
Editor:
Donna Widjajanto
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit:
2015
Halaman: 271
Suatu
senja yang cerah, Nicolaas Van Dijk sedang berjalan-jalan untuk mencari subjek
foto yang menarik. Ia memilih Museumplein, sebuah taman yang ramai yang
dirasanya cocok untuk mendapat gambar yang bagus. Tanpa sengaja, kameranya
menangkap sosok seorang gadis berkerudung yang asyik membaca buku. Saat Nico
melihat hasil foto gadis tersebut, ia melihat semburat cahaya di sekitar tubuh si gadis. Padahal foto itu masih asli,
belum diedit sama sekali.
Nico
penasaran? Tidak mungkin gadis itu jelmaan sosok malaikat. Tetapi mengapa ada
cahaya di sekitarnya? Dan setelah diperhatikan dengan lebih jelas, wajah gadis
itu tak seperti wajah-wajah perempuan berhijab yang sering Nico lihat, yang
kebanyakan berasal dari Turki, Maroko, atau Pakistan. Wajah gadis itu seperti
wajah-wajah orang Eropa, yang tentu saja, tidak banyak dari mereka yang
mengenakan hijab.
Nico
penasaran, siapakah gadis itu sebenarnya?
My Review
Merindu
Cahaya de Amstel berkisah tentang Khadija (walaupun di atas saya memulainya
dengan kisah Nico, hehehe…). Gadis asli Belanda yang masuk Islam dan memutuskan
untuk mengenakan hijab. Keputusannya masuk Islam semasa kuliah ditentang oleh
kedua orang tuanya, yang membuatnya memilih untuk meninggalkan rumah dan hidup
sendiri di apartemen. Setelah lulus, Khadija mengajar di kampus dan menulis
artikel untuk sebuah blog khusus muslimah di Belanda.
Lalu
ada Nico. Seorang pemuda keturunan Belanda-Indonesia yang sehari-hari menjadi
mahasiswa sekaligus fotografer. Foto-fotonya kerap menghiasi berbagai majalah
di Belanda.
Nico memiliki kisahnya sendiri. Ibunya pergi meninggalkan Belanda
saat ia masih kecil, dan sampai sekarang ia masih tidak habis pikir mengapa ada
Ibu yang tega meninggalkan anaknya. Satu-satunya alasan yang ia tahu dari
ayahnya adalah, ibunya meninggalkan Nico dan ayahnya karena menyadari
pernikahan beda agama tidak boleh dilanjutkan. Kini, ayahnya telah menikah
lagi, tetapi sampai sekarang, Nico sama sekali tidak bisa merasa dekat dengan
ibu tirinya.
Lalu
ada Mala, seorang mahasiswa jurusan tari asal Indonesia. Mala tak sengaja
bertemu Khadija di bus, di perjalanan pulang seusai kuliah. Setelah mengetahui
bahwa Mala seorang Muslim juga seperti dirinya, Khadija menawarkan makanan
untuk berbuka puasa.
Saat itu memang bulan puasa, di musim panas yang
begitu menyiksa. Mala sendiri memutuskan untuk tidak berpuasa karena merasa
tidak sanggup melakukannya. Musim panas dan kegiatannya menari sudah cukup
membuatnya yakin tidak sanggup menahan haus dan lapar hingga matahari terbenam.
Meskipun
terjadi tidak sengaja dan tidak bersamaan, pertemuan Khadija dengan Nico dan
Mala membentuk sebuah cerita yang saling terkait. Ditambah dengan kehadiran,
Pieter, sepupu Khadija yang seorang dokter gigi, membuat kisah ini menjadi
semakin ‘ramai’. Tapi, memangnya ada apa sih dengan mereka berempat? Silakan baca sendiri, yaa.
Sejujurnya,
saya agak kecewa membaca buku ini. mungkin karena saya telah berekspektasi
terlalu tinggi terhadap buku ini, yang disebabkan oleh suatu resensi yang saya
baca dan menyatakan kalau buku ini bagus sekali.
Hmm…
bukan berarti bukunya jelek, sih. Tapi menurut saya, ceritanya biasa saja, dan
nggak terlalu menegangkan atau bikin penasaran, atau bikin terenyuh, atau
menggugah hati, gimanaaa… gitu.
Ditambah
lagi, karena saya berpikir cerita ini berlatar Belanda, bahasanya akan seperti
bahasa terjemahan, ternyata tidak. Memang, sih, nggak mesti seperti bahasa
terjemahan, tapi aneh aja rasanya baca cerita yang tokohnya orang asing tapi
gaya bicaranya rasa orang Indonesia, hehehe…
Terus,
di cerita ini saya nggak menemukan jawaban yang memuaskan mengapa ada cahaya di
sekitar Khadija saat dipotret oleh Nico. Mungkin itu hanya untuk kiasan yang menunjukkan kalau Khadija ini perempuan saleha sehingga bercahaya.
Intinya,
novel ini tidak se ‘menggugah’ seperti yang saya bayangkan. Latar Belanda-nya
sih sudah cukup oke, tapi alur ceritanya masih biasa saja.
Sekalinya ada plot
twist di ujung cerita (iya, ada plot twist-nya, jadi siap-siap aja, hehehe),
buat saya kurang gimanaaa gitu… Aduh, bingung menjelaskannya.. Ya, yah sudahlah… kita hentikan saja review ini sampai di sini
daripada saya ngeluh terus, hehehehe….
Komentar
Posting Komentar