Resensi Buku: Fangirl


Penulis: Rainbow Rowell

Penerjemah: Wisnu Wardhana

Penyunting: NyiBlo

Penerbit: Spring

Tahun Terbit: Cetakan Pertama, November 2014

Halaman: 456



Cath dan Wren, sepasang saudari kembar yang tak terpisahkan. Sepanjang yang Cath ingat, mereka selalu bersama, bahkan menggilai Simon Snow bersama-sama pula. Namun, kali ini Wren berubah. 

Sejak memulai masa kuliah, Wren memutuskan untuk berpisah dengan Cath. Wren tidak mau sekamar dengan Cath di asrama, dia juga memilih jurusan yang berbeda dengan Cath. Dan yang lebih parah, Wren memutuskan untuk meninggalkan dunia Simon Snow. Wren tidak ingin lagi menulis fanfiksi Simon Snow bersama Cath, ia sudah tidak peduli lagi dengan tokoh cerita yang dulu sangat digemarinya.

Cath memulai hidup baru sebagai mahasiswa dengan perasaan enggan. Teman sekamarnya, Reagan, sering membawa teman laki-lakinya ke kamar. Levi, nama cowok itu. 

Pada awalnya kehadiran Levi sering membuat Cath risih dan tidak betah di kamar. Namun, lama-kelamaan Cath terbiasa pada kehadiran Levi. Di kelas, Cath sering mengerjakan tugas menulis bersama Nick di perpustakaan.

Begitulah kehidupan Cath di kampus. Ia tidak mencoba berteman dengan siapapun. Bahkan di minggu-minggu pertamanya, Cath tidak pernah menginjakkan kaki ke kantin dan memenuhi perutnya dengan makanan batangan yang dibawanya. Sampai akhirnya Reagan memaksanya ke kantin dan meminta Cath untuk berbaur dengan sekelilingnya.

Meskipun telah ditinggalkan Wren, Cath masih setia menulis fanfiksi Simon Snow. Tokoh utama dari novel berseri karya Gema T. Leslie yang amat dikaguminya. 

Cath sangat mendalami dunia Simon Snow, hingga tak bisa menulis cerita lain kecuali cerita yang berkaitan dunia magis Simon Snow. Hingga saat Profesor Piper mengatakan jika fanfiksi itu plagiat dan meminta Cath menulis cerita karangannya sendiri. Saat itulah Cath mulai mempertanyakan pilihannya kuliah. Terlebih, ia juga khawatir dengan kondisi ayahnya yang kini tinggal sendirian.

My Review

Fangirl adalah karya Rainbow Rowell kedua yang aku baca dan salah satu wishlistku yang akhirnya kesampaian. Sudah lama aku penasaran dengan Fangirl, terutama karena sinopsisnya yang menceritakan tentang seorang gadis yang tergila-gila menulis fanfiksi.

Kesan pertamaku membaca Fangirl, cukup seru dan menarik. Aku bisa merasakan seperti apa perasaan Cath. Baru mulai kuliah di kota lain, di saat yang sama, saudari kembarnya memutuskan untuk ‘menjauhinya’. Pasti rasanya bingung dan males banget kuliah. Tentu saja Cath lebih memilih untuk tenggelam dalam dunia fanfiksi Simon Snow.

Oiya, mengenai Simon Snow. Jadi, Simon Snow ini adalah tokoh novel berseri karya Gema T. Leslie di dunia Cath. Simon Snow adalah seorang anak yang mempunyai kemampuan sihir, dan novelnya bercerita tentang Simon Snow melawan Insidious Humdrum yang ingin menghapus sihir dari dunia. Salah satu tokoh antagonis di cerita Simon Snow adalah Basil atau Baz. Meskipun di novel aslinya diceritakan Simon dan Baz tidak akur, tetapi di fanfiksi Cath, mereka adalah sebaliknya. 

Merasa ceritanya mirip dengan salah satu novel fantasi paling populer yang bercerita tentang anak yang memiliki kemampuan sihir? 

Yup, Simon Snow ini kalau di dunia nyata kita kemungkinan besar adalah Harry Potter, dan Basil-nya adalah Draco Malfoy. 

Sejak buku pertamanya terbit, Cath dan Wren sangat menggilai Simon Snow dan mulai menulis fanfiksi di situs fanfixx.net. Dengan nama pena Magicath, Cath menulis kisah Simon dan Baz yang memenuhi kepalanya dan memiliki banyak fans di situs tersebut.

Balik lagi ke kesanku membaca buku ini, dari awal hingga pertengahan cerita, aku merasa kehidupan Cath menarik untuk diikuti. Namun, setelah itu, aku merasa tidak juga menemukan konflik utamanya. Atau mungkin konflik utamanya terlalu banyak, hingga akhirnya ceritanya jadi lama selesai. 

Ada persoalan Cath dengan Wren, Cath dengan ayahnya, Cath dengan ibunya, Cath dengan Nick, Cath dengan Levi, Cath dengan Profesor Piper, dan Cath dengan fanfiksi Simon-Baz terbarunya.


Aku hampir-hampir ingin berhenti membaca buku ini karena sudah terlanjur bosan. Hanya saja aku masih penasaran dengan akhirnya. Aku juga nggak tahu, sih, apa yang sebenarnya ingin kuketahui dan ending seperti apa yang kuharapkan. Karena menurutku hampir semua konflik itu sudah bisa kutebak bagaimana akhirnya. Mungkin hanya terdorong semangat untuk menamatkan novel yang cukup tebal ini. Ketika akhirnya sampai di akhir, aku hanya bisa bergumam, “Hmm, seperti yang kuduga.”

Sebelum membaca Fangirl, aku pernah membaca karya Rowell yang lain, yaitu Landline. Terlepas dari kategori umur yang berbeda, aku merasa konflik di Landline lebih jelas. Di Fangirl, aku berharap ceritanya fokus kepada kehidupan Cath di kampus, terutama masalah fanfiksi, dan hubungannya dengan Wren.

Terlepas dari banyaknya konflik, aku tetap bisa merasakan keterhubungan dengan Cath. Perasaannya tentang fanfiksi, keengganannya kuliah, hubungan dengan keluarganya, dan kekhawatirannya terhadap hubungan baru.

Untuk sebuah novel tentang gadis yang menggilai fanfiksi, menurutku Fangirl lumayan. Aku juga cukup terhibur dengan insert cerita Simon Snow, baik yang dikutip dari novel Gema ataupun fanfiksi Cath. Membuatku bernostalgia pada masa-masa aku menggilai fanfiksi juga.

Komentar

  1. Hahahaha loe juga bosen di tengah kayak gue..*tos* Gue kira loe bakal suka banget sama novel ini mengingat loe ngerti dunia fanfiksi Kalau gue ngerasa karena alurnya lambat.. Gue emang kurang suka novel dengan alur lambat,ngga sabaran soalnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ternyata aku tak sendirian, hehehe...
      Iya, alurnya lambat, paling nggak sabaran pas udah bagian persoalan Cath-Levi. rasanya kayak filler aja gitu.

      Hapus
  2. Saya belum baca novel ini. Namun, dasar resensi ini, saya jadi enggak begitu minat untuk bacanya. Mungkin yang Landline itu menarik. Saya jadi ingin baca yang itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau untuk pencinta fanfiksi, mungkin boleh juga baca buku ini. tapi memang lebih seru Landline. :)

      Hapus

Posting Komentar