Penulis:
Edith Unnerstad
Penerjemah:
Priscilla Tan Sioe Lan
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit:
Cetakan Kedua, Maret 1990
Halaman:
200
ISBN:
979-403-463-0
“Si Bandel berusia lima tahun dan keras kemauannya.
Ketika dia ingin sekali punya anak ayam dan Mama tidak mengizinkannya, dia
berkeras mengerami sendiri sebutir telur ayam. Pernah juga dia membuat orang
serumah kalang kabut. Waktu dia naik bis sendiri ke luar kota, lalu menyebrang
ke danau beku, hanya untuk mengambil bebeknya yang ketinggalan di kapal
Rudolfina.
Masih banyak lagi petualangan di Bandel, semuanya lucu,
mengasyikkan, dan sekaligus menegangkan.”
Awal mula saya bisa membaca buku jadoel ini karena
Fina, teman sekantor, bercerita tentang
buku-buku lengseran kakaknya. Saya langsung tanya, ada Enid Blyton, nggak? Ada,
ada buku Edith Unnerstad juga. Edith Unnerstad, siapa tuh? pikir saya. Ternyata
Fina langsung membawakan bukunya untuk saya. Katanya ceritanya lucu. Awal
dipinjamkan, saya nggak langsung baca. Saya biarkan di meja kantor, sampai
suatu hari saya merasa sedih, karena nggak libur-libur, hiks, akhirnya saya
ambil, deh si Bandel.
(Cukup sampai di sini curhatnya)
Cerita si Bandel memang lucuuuuu. Lucu, lugu, polos, khas
anak-anak banget. Buku ini menceritakan kisah sehari-hari si Bandel bersama
keluarganya. Ada O Mungil, adik perempuannya, Mama, Papa, dan kakak-kakaknya,
Lars, Knut, Dessi, Mirre, dan Rosalind. Kalau di cerita si Bandel, anggota
keluarga yang paling sering muncul itu O Mungil, Mama, dan Knut.
Ada 10 cerita di buku si Bandel.
Saya paling suka cerita Si Bandel Bikin Pesta. Jadi, ceritanya si Bandel ini ‘naksir’ dengan seorang teman ceweknya, namanya Margareta. Ia ingin Mama membuatkan pesta untuk si Bandel dan Margareta. Pesta khusus untuk berdua, dengan kue cantik berwarna putih dan merah jambu, dan minuman yang memakai gelas bagus. Pokoknya pesta mewah, deh, bagi si Bandel.
Mama setuju membuat pesta itu. Bahkan si Bandel curhat ke
Mamanya kalau ia mau menikah dengan Margareta, karena dia anak yang manis.
Bahkan sampai membicarakan mau tinggal di mana setelah menikah, apakah di rumah
Margareta atau di rumah si Bandel.
Hihihi, lucu nggak sih, denger anak sekecil itu ngomongin
nikah? Saya ngikik-ngikik pas bacanya. Tapi, jawaban Mama itulah yang bikin
saya terkagum-kagum. Mama sama sekali nggak menertawakan apalagi memarahi si
Bandel karena sudah ngomongin nikah di umur sedini itu. Malah Mama menanggapi
dengan jawaban yang logis tapi mudah dimengerti oleh anak-anak. Salut, deh sama
Mama.
Pada akhirnya, ketika si Margareta datang, anak gadis itu
malah terpikat dengan boneka-boneka O Mungil. O Mungil yang senang karena ada
yang tertarik dengan permainannya, langsung mengajak Margareta bermain
Mamah-Mamahan. Margareta melupakan si Bandel, dan si Bandel pun kesal. Ia
akhirnya bermain dengan sobatnya, Pelle-Goran, dan terakhir bilang ke Mama
kalau ia tidak mau menikah dengan Margareta.
Terhibur sekali membaca si Bandel. Selain lucu, buku ini
secara tidak langsung mengajarkan saya banyak hal. Pertama, tentang bagaimana
menjadi orang tua, terutama ibu, yang setiap hari mengurus anaknya. Di cerita
ini, saya menangkap sosok Mama yang sangat pengertian terhadap anaknya.
Pengertian di sini maksudnya, dia tidak langsung melarang, mengomeli, apa pun
kelakuan anak. Tapi, bertanya dulu hingga mendapatkan cerita yang lengkap, baru
menasihati.
Misalnya waktu si Bandel nekat pergi mengambil bebek. Tentu
saja, apa yang dilakukan Bandel berbahaya, tapi, ia hanya ingin mengambil
bebeknya, kan? Tidak ada niatan lain selain itu, maka Mama hanya menasihati
agar tidak mengulanginya lagi karena itu berbahaya.
Selain itu, Mama ‘mengikuti’ apa saja khayalan anak-anaknya.
Misalnya saat si Bandel dan O Mungil ‘berlayar’ mengarungi Blueviken. Padahal
hanya bermain-main di dalam baskom, di atas karpet. Mama sama sekali nggak
menganggap mereka hanya ‘ngesot-ngesot’ di atas karpet, tapi benar-benar
menganggap mereka sedang berlayar di lautan.
Kedua, saya juga belajar tentang bagaimana menulis cerita
anak yang disukai anak. Saya yakin, cerita seperti inilah yang pasti disukai
anak. Diceritakan dari sudut pandang anak, tidak ada kutipan hikmah, pesan
moral, atau apa pun yang kesannya menggurui, kamu harus begini, kamu harus
begitu. Cerita ini juga realistis, nggak bercerita tentang anak baik-baik yang
penurut dan manut.
Di buku ini, terasa sekali penulis menuangkan pesan bahwa
yang namanya anak-anak, nggak ada niat sedikit pun untuk berbuat nakal.
Biasanya mereka hanya ingin tahu, ingin menuruti keinginannya, dan ingin
menghibur orang terdekat mereka dengan cara yang mereka tahu.
Dari segi gaya bahasa, hmmm… saya baru pertama kali membaca
buku anak yang begitu slang, alias banyak sekali kata-kata ‘tuh’, ‘dong’,
‘deh’, dan kosakata khas Indonesia lainnya. Namun, entah kenapa, itu malah
menambah kelucuan cerita ini. Saya sempat mengira-ngira, apakah tulisan asli
bahasa Swedia-nya juga begitu atau enggak.
Yang jelas, kisah-kisah si Bandel ini sangat menghibur dan
bisa menjadi pelipur lara di kala bosan melanda, hehehe….
ada buku lain seri si bandel selain ini ga kak? susah cari buku ini, buku si bandel punya saya hilang pula ):
BalasHapusyang saya tahu karya Edith Unnerstad lainnya, ada Si Bandel, O Mungil, Tamasya Laut, dan Tamasya Panci Ajaib. Semuanya sudah diterjemahkan oleh Gramedia, tetapi terbitan lama. Mungkin kalau ingin mencari, di toko buku bekas.
HapusSaya dulu punya 4 bukunya sekarang ilang dipinjam orang tak bertanggung jawab. Ada yg tau dimana sy harus beli lagi😢
BalasHapusWaduh, jadi ikut sedih. memang paling menyebalkan kalau ada yang pinjam buku tetapi malah dihilangkan. mungkin bisa cari di lapak-lapak buku bekas (baik online maupun offline) karena itu buku jadul dan GPU sepertinya belum cetak ulang lagi.
Hapus