Resensi Buku: Requiem

Penulis: Lauren Oliver
Penerjemah: Prisca Primasari
Penyunting: Dyah Agustine
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Cetakan 1, Desember 2014
Halaman: 186
ISBN: 978-979-433-856-8


“Setelah menyelamatkan Julian dari hukuman mati, Lena dan para pemberontak melarikan diri ke Alam Liar. Namun, pemerintah terang-terangan menyatakan perang dan Alam Liar bukan lagi tempat aman. Para Invalid diburu dan dibunuh. Hal terpenting sekarang adalah bertahan hidup, dan melawan … atau mati.

Sementara itu, Hana hidup nyaman tanpa cinta di Portland. Dia telah disembuhkan dan akan menikahi gubernur muda. Namun, bayangan Lena selalu menghantui. Jauh di dalam hati, Hana merasa bersalah atas pengkhianatan yang telah dia lakukan.” (Back Cover Requiem, Mizan)

Setelah membaca Delirium dan Pandemonium, rasanya sayang kalau tidak melanjutkan membaca seri terakhir dari trilogi ini, jadilah saya melanjutkan membaca Requiem. Karena jarak antara membaca Delirium, Pandemonium, dan Requiem yang jauh, saya banyak melupakan hal-hal yang terjadi pada Lena, Hana, Alex, dan Julian.

Yang saya ingat, di buku kedua, Alex menghilang, Lena bertahan hidup di Alam Liar dengan Tack, Raven, dan rombongannya, lalu Lena mengerjakan sebuah misi, dan berakhir dengan membawa Julian ke rombongannya, dan kembali bertahan hidup di Alam Liar. Terakhir, bertemu dengan Alex lagi.

Di Requiem, cerita terbagi menjadi dua sudut pandang, Lena dan Hana. Lena dan perjuangan kelompoknya di Alam Liar. Hana dan keluarganya, termasuk calon suaminya, yang berambisi untuk memusnahkan para Invalid.

Sama seperti dua karya Oliver sebelumnya, cerita disajikan dengan mengalir dan kaya akan deskripsi sehingga pembaca seperti melihat atau merasakan langsung apa yang dialami para tokoh. Saya sendiri sering merasa bergidik ketika sudut pandang ada pada Lena, di mana ia dan kelompoknya bergerilya, bertarung, dan menyaksikan sendiri perkampungan kumuh di mana orang berebut makanan dan air. 

Sampai-sampai saya ikut bertanya-tanya, untuk apa semua perjuangan dan pengorbanan ini? Toh, buktinya kehidupan di Alam Liar juga tidak semenyenangkan yang dibayangkan. Yang ada malah saling bunuh untuk bertahan hidup. Namun, kalau ingat kembali dengan Dunia Zombi, di mana perasaan cinta telah menghilang, dan segalanya bergerak sesuai aturan, yah, mungkin ada benarnya juga perjuangan itu. Tapi, ketika melihat kembali, rasanya kok pengorbanan yang dilakukan para Invalid, Pemberontak, dan kawan-kawannya, tidak sepadan dengan apa yang mereka lalui. (Kok, saya jadi protes sendiri?)
“Terkadang, aku berpikir mereka benar, orang-orang di Dunia Zombi itu. mungkin akan lebih baik jika kita tidak mencintai. Jika kita tidak pernah kehilangan. Jika hati kita tidak pernah terinjak-injak dan hancur; jika kita tidak menambalnya dan terus menambalnya sampai mirip monster Frankenstein, dijahit di sana-sini, dan direkatkan oleh entah apa.”

Intinya, saya suka dengan Requiem. Lebih menyayat hati, lebih bikin penasaran, lebih bikin kesel, dibanding dua cerita sebelumnya. Di Requiem, kisah romantis Lena, Alex, dan Julian, sedikit berkurang. Memang, sih, Lena dan Julian selalu berdua ke mana-mana. Tapi, ini tidak seperti kisah cinta segi tiga yang sering ada di film dan novel, di mana biasanya dua cowok memperebutkan cewek yang mereka cintai.

Di sini, Alex malah terlihat menghindari –bahkan membenci Lena- alih-alih kembali merebut Lena dari Julian. Saya jadi sedikit kesel sama Alex, dan jadi kasihan sama Julian. Dan pada akhirnya, di bagian terakhir buku ini, ada secuplik kisah milik Alex yang akan menceritakan alasan kenapa dia berbuat seperti itu kepada Lena.

Untuk cerita Hana, sebenarnya selama baca cerita dia, saya geregetan sendiri. Hana itu setengah-setengah. Kadang dia ingin berontak, terutama kepada calon suaminya dan segala tuntutan sosial yang muncul dari status keluarganya. Di saat lain, dia seperti orang yang pasrah saja dan nggak melakukan apa-apa. Dia juga masih dihantui bayang-bayang Lena dan perasaan bersalahnya sehingga tidak bisa menahan diri untuk tidak kembali ke tempat tinggal Lena yang lama.

Akhirnya? Yah, kalau saya beri tahu akhirnya, jadi spoiler, dong. Yang jelas, bagi saya akhirnya tidak terlalu mengecewakan, walau tidak sepersis yang saya inginkan. Penulisnya cukup bijak dengan menghentikan cerita di situ.

Oya, iseng-iseng saya cari tahu arti ketiga judul trilogi ini. 

Delirium, kb. 1 Kegila-gilaan, 2 Igauan

Pandemonium, kb. Kekacauan yang sangat, gara-gara, hiruk-pikuk

Requeim, kb. Doa (seringkali berbentuk musik) untuk orang mati dan diadakan dengan upacara di gereja / misa arwah

Delirium mengisahkan kegilaan, yaitu orang-orang yang menghapus cinta dari hidup mereka. atau bisa juga ditafsirkan saat Lena tergila-gila karena cinta yang dibawa Alex.

Pandemonium berarti kekacauan, sepertinya mengacu pada kekacauan yang dilakukan saat aksi Deliria Free America (DFA) yang berhasil membunuh Thomas Fineman dan anaknya, Julian Fineman, diculik lalu hilang.

Requiem yang berarti lagu atau doa kematian, menurut saya karena di kisah ini cukup banyak yang mati, dan agak nyesek juga pas bacanya.

Yah, begitulah kira-kira tafsiran saya, hehehe…

Pada akhirnya, Requiem mengingatkan bahwa kita bebas memilih, tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Maka, pilihlah jalanmu dan hadapi konsekuensinya.

“Barangkali, sebaiknya kita berhenti. Namun, mana mungkin orang yang pernah melihat musim panas—ledakan warna hijau dedauan, langit yang menyala oleh percikan matahari terbenam, hamparan bunga dan angin beraroma madu—memilih salju?”


 Review ini untuk
kategori Dystopia

Komentar