Kali ini saya mau membahas 3 karya penulis bernama unik, Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie.
Setelah sebelumnya terpesona dengan Lucid Dream, saya tertarik untuk membaca
hampir semua karya Ziggy. Saya berkesempatan membaca tiga buah bukunya dengan
ekspektasi yang cukup tinggi. Apakah setelah dibaca buku-buku itu sesuai dengan
harapan saya? Let’s find out!
Ini karya kedua
Ziggy yang saya baca. Masih di bawah lini Fantasteen. Dari berbagai resensi
yang saya baca, banyak yang menyukai kisah persahabatan antara Theo dan Ludo.
Saya agak takut sebenarnya dengan gambar sampulnya yang menyeramkan. Seperti
sosok Alice in Wonderland versi hantu. Saya cukup penasaran dengan, apakah
sosok Alice ini ada hubungannya dengan cerita.
Well, ternyata
benar. Diceritakan, seorang anak laki-laki bernama Theo memiliki sahabat yang
amat ia sayangi bernama Ludo. Namun, Ludo sekarat karena penyakit leukemia yang
dideritanya.
Theo sangat takut kehilangan Ludo. Ia rela melakukan apa saja demi
kesembuhan Ludo. Dan ya, Theo rela menukar ingatannya tentang Ludo hanya agar
Ludo kembali sehat seperti sedia kala. Meskipun itu harus mengorbankan
persahabatan yang mereka miliki selama ini.
Dengan siapa
Theo menukar ingatannya? Yup, benar! Dengan Alice versi hantu ini. Theo tak
sengaja mengikuti kelinci gendut yang dapat berbicara. Kelinci itu tentu saja
mirip dengan kelinci terburu-buru yang ada di kisah Alice in Wonderland.
Si
Kelinci membawa Ludo ke toko Alice. Di toko itulah, Theo dapat membeli apa pun
yang dia inginkan. Semakin berharga keinginannya, semakin mahal pula
bayarannya. Namun, bayarannya bukan memakai uang. Harga untuk kesembuhan Ludo
adalah ingatan persahabatan antara Theo dan Ludo. Saat Ludo sembuh nanti, ia
tidak akan pernah ingat pernah berteman dengan Theo. Begitu juga dengan Ludo.
Dari segi gaya
bahasa, saya tetap menyukai gaya Ziggy. Rasanya seperti membaca buku
terjemahan. Apalagi dengan latar cerita yang sepertinya juga bukan di
Indonesia. Akan tetapi, saya kurang suka dengan ide ceritanya. Well, mungkin
ini masalah ideologis, sih. Saya tahu ini buku fantasi. Tetapi saya tidak suka
dengan segala sesuatu yang bekerja sama dengan setan.
Di cerita Saving
Ludo ini, Alice adalah jelmaan setan. Setan yang bisa mengabulkan apa pun
keinginan manusia dengan bayaran tertentu. Tentu saja, bayaran itu merugikan si
manusia. Tetapi siapa yang peduli, toh yang penting keinginan mereka terkabul.
Rasanya, untuk buku anak-anak dan remaja, ide cerita ini sangat tidak bagus.
Jujur saja, saya
agak menyesal membeli buku ini. Ini bukan jenis buku yang ingin saya koleksi
dan simpan untuk anak saya di kemudian hari. Saya tidak tahu, apakah saya akan
berpikir seperti ini jika saya membaca buku ini saat masih remaja. Mungkin saya
akan menyukainya, mungkin juga tidak.
Terakhir,
setelah membaca buku ini, jujur saja, saya jadi penasaran dengan kisah Lewis
Carroll. Meskipun saya tahu ini fiksi, mungkin….yah, hanya mungkin… ada
kisah-kisah nyata tersembunyi di dalamnya.
Toriad (Mizan Fantasteen, 2014)
Jika dilihat dari tahun terbitnya, buku
ini diterbitkan sebelum Saving Ludo. Dan setelah cukup kecewa membaca Saving
Ludo, saya tidak banyak berharap dengan Toriad. Meskipun sebagian hati kecil
saya masih berharap kalau buku ini akan mempesona saya seperti Lucid Dream.
Kenyataannya, Toriad tidak lebih menakjubkan ketimbang Saving Ludo. Why? Mari
kita ulas sebentar ceritanya.
Toriad berkisah tentang seorang anak
laki-laki bernama Green Bean. Ia hidup bersama komplotan pencuri yang
dianggapnya seperti keluarga sendiri. Mereka dalam perjalanan mencari Pusaka
Bintang. Sayangnya, di tengah perjalanan, Green Bean tidak diajak. Ia dianggap
masih terlalu kecil dan disarankan untuk tinggal di desa terakhir yang mereka
singgahi.
Tentu saja, Green Bean menolak. Sebesar
apa pun bahaya yang menghadang kelompok mereka, ia harus ikut. Akan tetapi, ketika mereka berpisah jalan,
Green diculik. Ketika terbangun, ia sudah berada di negeri asing yang sangat
aneh, dan dikabarkan kalau dialah pengendali negeri tersebut.
Entahlah, sejujurnya saya agak pusing
dengan cerita ini. Lagi-lagi, ide ceritanya tidak bisa diterima di kepala saya.
Saya juga merasa cerita ini agak anti-klimaks. Saya cukup menikmati bagian awal
hingga pertengahan cerita. Saat kelompok Green Bean berusaha menyelamatkan diri
dari kejaran kelompok yang membahayakan mereka. Cerita mulai terasa aneh ketika
Green Bean sampai di negeri Holiston. Negeri tanpa pepohonan, di mana
rumah-rumah melayang-layang di udara.
Mungkin saya bukan penggemar berat cerita
fantasi. Atau mungkin karena alasan lain. Yang jelas, Toriad is not my cup of
tea.
White Wedding (Pastel Books, 2015)
Inilah karya pertama Ziggy yang saya baca,
yang bukan di bawah lini Fantasteen. Dengan judul White Wedding dan sampul
berwarna putih yang amat manis, saya berharap ini adalah sebuah kisah cinta
yang manis. Membaca blurb-nya juga mendukung hal itu. Bagaimana dengan
ceritanya?
White Wedding berkisah tentang gadis kecil
benama Elphira yang mengidap albino. Karena penyakitnya tersebut, Elphira tidak
bersekolah seperti anak-anak lain seusianya. Dan karena penyakitnya juga, ia
amat sangat membenci warna putih.
Elphira bersahabat dengan Sierra. Anak
laki-laki berambut merah yang sehari-hari menemani Elphi dan mengajarkannya
berbagai macam pelajaran. Elphi sangat menyayangi Sierra, meskipun seringkali
Elphi sebal karena Sierra tidak sama dengannya. Sierra sangat menyukai warna
putih.
Kali ini, saya cukup menyukai White
Wedding. Tema yang diangkat cukup bagus, tentang bagaimana mengelola perasaan
kehilangan atau takut kehilangan. Meskipun di sini ada kisah tentang malaikat
yang saya anggap sepenuhnya fiksi, saya masih lebih menyukai White Wedding
ketimbang dua buku sebelumnya.
Secara umum, saya amat menyukai cara Ziggy
berkisah dan bertutur. Entah apa yang dimilikinya, yang jelas gaya menulisnya
itu keren sekali. Ide ceritanya juga bagus-bagus sebenarnya. Meskipun ada
beberapa yang tidak terlalu saya sukai.
Setelah membaca tiga karya Ziggy, apakah
saya ingin membaca karya Ziggy yang lainnya? Tentu saja! Entah kenapa, saya
nggak kapok-kapok penasaran dengan karya-karyanya, meskipun tidak semua.
Melihat cukup banyak karya yang dihasilkan dan beberapa bahkan mendapatkan
penghargaan, sepertinya Ziggy akan menjadi salah satu penulis favorit yang ditunggu-tunggu
karyanya di Indonesia.
Setelah membaca tiga buku ini, saya masih
penasaran dengan karya Ziggy yang berjudul Di Tanah Lada, Jakarta Sebelum Pagi,
dan beberapa karyanya dengan nama pena Ginger Elyse Shelley. Semoga saya berkesempatan membaca semuanya.
Komentar
Posting Komentar