Penulis: Windry Ramadhina
Penyunting: Yulliya dan Widyawati Oktavia
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 460
ISBN: 978-979-780-870-9
Gilang dan Ayu.
Seorang pemuda lucu dan seorang gadis gila buku. Seorang editor sastra dan
seorang penulis novel romansa. Mereka pertama kali bertemu di sebuah toko buku
tua di London. Masing-masing memiliki alasan sendiri mengunjungi kota tersebut.
Gilang pergi ke
London untuk mengungkapkan cinta pada sahabat masa kecilnya, Ning. Sementara Ayu
ke London demi menjauh dari persiapan pernikahan kakaknya, Luh, dan orang yang
pernah mengisi hatinya, Em.
Pertemuan di
toko buku itu adalah pertemuan pertama mereka dan tanpa mereka duga, akan ada
pertemuan-pertemuan selanjutnya. Pertemuan-pertemuan yang membuat Gilang
berpikir, masihkah ia mencintai Ning sebesar dulu, sementara ia tahu Ning tidak
memiliki perasaan yang sama dengannya. Pertemuan-pertemuan yang membuat Ayu
bertanya-tanya, haruskah ia percaya pada keajaiban cinta setelah ia memutuskan
untuk tidak memercayainya.
My Review
Angel in The
Rain adalah sekuel tidak resmi dari novel Windry sebelumnya, London: Angel.
Bagi yang telah membaca London dan Walking After You, tentu penasaran dengan
kelanjutan kisah Gilang dan Ayu yang dibiarkan menggantung. Di novel Angel in
The Rain inilah kita akan mengetahui kisah mereka selengkapnya.
Jika di London: Angel, tokoh utama kita adalah Gilang dan Ning, maka di Angel in The Rain, kita
akan lebih mengenal sosok Ayu yang dimunculkan secara singkat di novel London.
Latar belakang Ayu, kesehariannya, dan alasannya tidak lagi memercayai cinta.
Jujur saja, saya
agak heran dengan alasan Ayu yang begitu takut memulai sebuah hubungan. Ya,
mungkin dia memang patah hati, apa lagi cowok yang disukainya menikah dengan
kakaknya sendiri. Tetapi dia seharusnya tahu, sebelum ia menjalin hubungan
dengan Em, Em telah berpacaran dengan Luh, kakaknya. Saya merasa hal itu kurang
kuat untuk menjadi alasan Ayu membenci Luh dan tidak percaya lagi pada hubungan
percintaan.
Saya juga kurang
suka dengan Ayu yang tampak tidak acuh dengan persiapan pernikahan kakaknya.
Bahkan seolah bersikap seenaknya di depan orang tuanya. Duh, kalau saya
berlagak seperti Ayu, bisa-bisa tidak dianggap anak lagi oleh orang tua saya.
Intinya, sih, ada beberapa sifat Ayu yang saya kurang suka.
Sekarang Gilang.
Saya mengenal tokoh Gilang sejak membaca London: Angel. Meski sudah agak lama
membacanya, saya masih ingat sedikit-sedikit dengan karakter Gilang. Dan saya
merasa heran juga mengapa penulis memilih ‘pemuda lucu’ sebagai deskripsi untuk
Gilang. Saya tidak merasa Gilang sebagai ‘pemuda lucu’ baik lucu dalam arti
lucu melawak, lucu imut, lucu lugu, lucu apa pun, deh. Atau mungkin saya yang
tidak bisa menangkap makna lucu yang dimaksud penulis? Entahlah, kalau saya
melihat Gilang seperti pemuda kantoran kebanyakan. Bedanya, dia bekerja sebagai
editor sastra dan suka membaca dan menulis, meski novelnya tak kunjung usai.
Terlepas dari
kekurangsukaan saya atas beberapa sifat Ayu dan kebingungan saya dengan makna pemuda
lucu untuk Gilang, saya sangat menyukai Angel in The Rain. Terutama pada cara
Windry menyajikan kisah ini dengan sudut pandang malaikat. Si malaikat ini
menyapa pembacanya dengan panggilan ‘Sayang’. Menurut saya, Windry berhasil
membuat sosok si malaikat begitu hidup dan berada di samping Gilang dan Ayu
untuk menceritakan kisah mereka kepada pembaca.
Di novel ini,
Windry banyak menyebut karya-karya sastra klasik. Sebut saja Wuthering Heights
(cetakan pertamanya sangat dicari Ayu), Burmese Days (cetakan pertamanya dicari
Gilang, tetapi kemudia dia menyerah untuk mencarinya), Lolita, Breakfast at
Tiffany’s, Great Gatsby, dan lain-lain. Tidak lupa pula, penulis menyisipkan
sindiran-sindiran halus terkait dunia penerbitan buku. Bagi yang dekat atau
familiar dengan tren buku di Indonesia berikut dunia penerbitannya,
sindiran-sindiran halus ini menggelitik sekali.
Saya melihat
salah satu review di Goodreads menyatakan kalau Angel in The Rain banyak
mengulang adegan di novel London: Angel. Saya mengiyakan hal itu, tetapi saya
juga memahami mengapa Windry melakukannya. Angel in The Rain bukanlah sekuel
resmi London: Angel. Pembaca bisa membaca novel ini sebagai sebuah novel utuh,
bukan sebuah novel lanjutan dari novel sebelumnya. Oleh karena itu, penulis
menaruh kembali adegan-adegan Gilang dan Ayu di novel London: Angel di sini
agar tidak ada bagian cerita yang berlubang.
Adegan Ayu di
kedai Afternoon Tea juga merupakan pengulangan dari cuplikan di novel Walking After You. Di novel Walking After You, sosok Ayu diceritakan dari sudut pandang
Ann yang menganggapnya sebagai gadis berpayung merah misterius yang selalu
membawa hujan ketika dia datang. Di novel ini, adegan Ayu di kedai Afternoon
Tea tentu saja diceritakan dari sisi Ayu, dan pembaca mendapat jawaban atas
keanehan-keanehan yang dilihat Ann.
Seperti
judulnya, Angel in the Rain mengajak pembaca percaya pada keajaiban yang ada
setiap hujan turun. Bahwa setiap rinainya turun serta malaikat yang membawa
doa-doa kita kepada Yang Mahakuasa.
“Allahumma
shayyiban naafi’an”
----------------------------------------------------------------------
Mencari buku-buku berkualitas? Silakan klik Satriabaca
----------------------------------------------------------------------
Mencari buku-buku berkualitas? Silakan klik Satriabaca
Komentar
Posting Komentar