1. Brida, Paulo Coelho
Buku ini bercerita tentang Brida yang ingin mempelajari
sihir (atau seperti itulah yang saya pahami). Saya membeli buku ini karena
pernah membaca resensi yang mengatakan buku ini bagus. Ditambah dengan nama
Paulo Coelho yang juga dianggap sebagai penulis berkualitas.
Ternyata, setelah membaca buku ini beberapa halaman, saya
merasa buku ini “nggak saya banget”. Namun, saya mencoba untuk terus membaca
hingga bagian pertengahan buku. Tetap saja saya merasa nggak nyambung, nggak
ngerti, dan nggak tertarik dengan kisah si Brida. Entah mengapa, buat saya
kisahnya aneh sekali.
Mungkin saya yang nggak bisa memahami bahasa tinggi dari
Paulo Coelho atau memang buku itu tidak cocok untuk saya, yang jelas saya
merasa buku Brida ini mengecewakan sekali. Saya pikir saya akan terpesona
dengan buku ini. Ternyata tidak sama sekali.
2. Toriad,
Ziggy Z.
Setelah membaca Lucid Dream dan terpukau karenanya, saya
penasaran dong dengan karya Ziggy lainnya. Jadi, waktu ada obralan buku dan
menemukan Toriad dan Saving Ludo di antara tumpukan buku itu, saya langsung
membelinya tanpa pikir panjang.
Ternyata eh ternyata, saya benar-benar tidak paham dengan
jalan cerita di Toriad ini. Awalnya sih bagus, cerita tentang petualangan seorang
anak dan gerombolannya. Tetapi pas sampai di negeri Toriad inilah saya nggak
mengerti, sebenarnya cerita ini konflik utamanya di mana sih. Kok tiba-tiba
kita dihadapkan pada masalah Toriad.
Saya memaklumi kalau ini karya Ziggy di lini Fantasteen, yang
berarti sewaktu menulisnya, dia masih muda. Toh, selama produktif menulis,
karya-karya yang dihasilkan akan semakin bagus.
Baca juga ulasan saya tentang karya Ziggy di sini.
3. Memorabilia,
Sheva
Sebenarnya agak berat juga saya meletakkan Memorabilia di
list ini. Karena sebenarnya, ceritanya tidak mengecewakan-mengecewakan amat.
Hanya saja, saya merasa ada yang kurang di novel ini. Seperti kurang sesuatu
yang membuat pembaca benar-benar merasa tersentuh dan bersimpati dengan
tokoh-tokoh di novel ini.
Saya membayangkan Memorabilia semacam novel istimewa yang
cocok dibaca di kala hujan sambil menyeruput kopi. Apalagi gaya menulis si
penulis yang saya baca di blognya mendukung hal itu. Tetapi, ketika membaca
novelnya, saya merasa sedikit kecewa. Mungkin karena ekspektasi saya juga yang
terlalu tinggi terhadap Memorabilia.
Meskipun begitu, saya tetap menunggu dan ingin membaca
karya-karya Sheva selanjutnya.
4. Orange,
Windry Ramadhina
Sejak membaca Montase, lalu dilanjut dengan London dan
Walking After You, saya semakin mantap menjadi Windry Ramadhina sebagai salah satu
penulis lokal favorit saya. Oleh karena itu, saya ingin membaca semua
karya-karyanya, terutama yang temanya menarik bagi saya.
Orange adalah novel pertama Windry yang katanya laris di
pasaran dan dicetak ulang dengan cover baru dan beberapa perbaikan dan tambahan
di isinya. Nah, suatu hari di blognya, si penulis menjual buku-bukunya yang sudah agak
susah didapatkan di toko buku. Salah satu judul buku yang ditawarkan adalah
Orange. Tanpa pikir panjang saya pun ikut memesan
Saya tahu Orange adalah novel perdananya. Tetapi saya
berpikir, yang saya beli kan versi cetak ulang yang katanya sudah dipoles lagi.
Pastilah seharusnya lebih bagus dari Orange versi pertama dan novel-novel
sebelumnya.
Ternyata setelah saya baca, ceritanya biasa saja dan cukup
klise. Saya nggak terlalu bersimpati dengan tokoh Faye apalagi dengan Diyan.
Entahlah. Padahal hampir semua tokoh Windry saya suka, lho. Kecuali pasangan
ini saja.
5. The Truth
about Forever, Sarah Dessen
Setelah membaca Along for the Ride dan menyukainya, saya
penasaran dengan karya-karya Sarah Dessen lainnya. Salah satu yang sudah
diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah The Truth about Forever. Omong-omong,
saya beli buku ini sudah lama, tetapi baru bacanya tahun ini.
Saya tidak tahu sih, apakah ada beda jika saya membacanya
dulu, sebelum saya menikah dengan sesudah menikah. Yang jelas, saya benar-benar
suka sekali dengan Along for the Ride dan seolah bisa merasakan apa yang
dirasakan Auden. Sementara, di The Truth about Forever saya merasa ada yang
kurang. Entah di bagian mana yang kurang. Mungkin karena alur ceritanya datar
dan kurang bergejolak kali ya. Atau karena alur ceritanya yang cukup lambat,
padahal untuk beberapa hal sudah dapat ditebak.
Meskipun begitu, saya tetap suka dengan latar belakang tokoh
Macy. Tipikal anak baik-baik yang selalu menurut perintah orang tua tetapi
sebenarnya merindukan petualangan atau sesuatu yang berbeda dalam hidupnya.
Itulah lima buku yang mengecewakan saya tahun ini. Bukan
berarti kelima buku tersebut berkualitas jelek. Tetapi mungkin ekspektasi saya yang
terlalu tinggi terhadap buku-buku tersebut. Atau selera saya yang ternyata tidak
cocok dengan buku-buku itu. Yah, sekali lagi ini masalah selera.
Semoga tahun 2018 banyak buku menyenangkan dan mengesankan
yang saya baca. Bagaimana denganmu, apa buku yang paling mengecewakan yang kamu
baca tahun ini?
Komentar
Posting Komentar