Resensi Buku: Teka-Teki Terakhir


Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Ayu Yudha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan kedua, Oktober 2017
Halaman: 256
ISBN: 978-602-03-0298-0


Gosipnya, suami-istri Maxwell penyihir. Ada juga yang bilang pasangan itu ilmuwan gila. Tidak sedikit yang mengatakan mereka keluarga ningrat yang melarikan diri ke Littlewood. Hanya itu yang Laura tahu tentang tetangganya tersebut.

Dia tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi terhadap pernyataan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga abad. Telebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari semua itu.

Tahun 1992, Laura berusia dua belas tahun dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya selamanya.

My Review

Awal tertarik membaca buku ini karena menemukan beberapa blogger buku yang meresensi buku ini dan mengatakan ceritanya bagus. Begitu juga review-review di Goodreads. 

Setelah membaca, kesan saya terhadap buku ini adalah  seperti membaca buku terjemahan middle grade. Ditambah lagi, latar tempat cerita ini berada di sebuah kota fiksi, Littlewood, kota kecil di Inggris.

Tokoh utama kita adalah Laura, gadis dua belas tahun yang dihantui rasa penasaran terhadap pasangan Maxwell yang misterius dan tak pernah keluar rumah. Pertemuan pertama Laura dengan Tuan Maxwell sungguh tak terduga, yaitu hanya karena kertas kuis bernilai nol yang Laura buang di tempat sampah Tuan Maxwell. 

Suatu siang, saat Laura pulang sekolah, Tuan Maxwell memanggilnya. Ia mengembalikan kertas kuis milik Laura dan meminjamkan buku kecil lusuh yang berjudul Nol: Asal-Usul dan Perjalanannya

Laura sungguh tidak mengerti mengapa Tuan Maxwell melakukan hal itu kepadanya. Yang jelas, pertemuan itu membuahkan pertemuan-pertemuan selanjutnya dengan Tuan dan Nyonya Maxwell. Membuka pemikiran dan wawasan Laura tentang matematika dan seluk-beluknya.

Jujur saja, sebelum membaca buku ini, saya tidak pernah memikirkan kenapa ada angka nol dan apa yang terjadi jika tidak ada angka nol. Saya baru membaca naskah tentang ilmuwan muslim yang menemukan angka nol dan perubahan serta kemudahan apa yang terjadi setelah adanya angka tersebut. Ya, memang kalau dipikir-pikir, jika tidak ada angka nol, mungkin akan lebih ribet menggambarkan jumlah ratusan, ribuan, dan kelipatannya. 

Kembali lagi ke cerita Laura. Laura jadi semakin dekat dengan Tuan dan Nyonya Maxwell. Laura juga akhirnya mengetahui bahwa mereka berdua adalah ahli matematika. Tuan Maxwell sendiri, di usia senjanya, masih mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan Teorema Terakhir Fermat. Tuan Maxwell ingin membuktikan kebenaran Teorema Terakhir Fermat yang masih misterius setelah tiga abad berlalu.

Banyak hal tentang Matematika yang diangkat di sini #yaiyalah. Beberapa rumus yang pernah saya pelajari di sekolah, muncul di buku ini #tenang, bukan untuk dikerjakan, kok. Ternyata, berbagai rumus matematika itu tidak muncul begitu saja, lho. Ada asal-usul dan hal-hal yang akhirnya menjadikan rumus itu paten dan berlaku pada setiap angka. Saya pikir, jika saja banyak guru matematika yang sedikit membahas tentang asal-usul, sejarah, dan seluk-beluk rumus matematika, mungkin bisa mengurangi jumlah murid yang tidak menyukai pelajaran tersebut, hehehe.

Saya membaca buku ini karena termasuk ke dalam golongan murid yang tidak menyukai matematika. Bagi saya, tidak semua rumus matematika dibutuhkan dalam kehidupan. Dan tidak semua murid perlu belajar rumus-rumus matematika yang ribet itu, hanya orang-orang yang memang ingin berkecimpung di dunia yang membutuhkan matematika saja. Selain itu, cukuplah kita belajar tentang penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian, hahaha.

Pemikiran saya itu ternyata mendapat tanggapan, lho, di buku ini secara tidak langsung. Ternyata memang tidak semua rumus matematika dibutuhkan dalam kehidupan. 

Para ahli matematika mencari, menemukan, berpusing-pusing ria mengutak-ngatik rumus tersebut, hanya karena mereka suka matematika. Ealah, kalau begitu, benar dong pendapat saya, hehehe. 

“Matematika murni tidak ada hubungannya dengan dunia nyata, Nona Muda! Matematika murni adalah tentang kebenaran dan keindahan. Siapa peduli dengan kegunaan.”

Bagi yang ingin mendapat pencerahan tentang matematika dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti, bisa coba membaca buku ini. Secara alur cerita, karena ini ditujukan untuk middle grade, jadi konfliknya tidak terlalu rumit dan njelimet, cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bagian akhir cerita agak bikin kaget sih dan menimbulkan pertanyaan, “Sudah, begini aja?” Dan, yah, memang begitu saja. 

Beberapa kutipan favorit dari buku ini (selain yang pertama tadi).
“Beberapa orang lebih suka menyendiri, itu saja, dan tidak ada yang salah dengan hal itu. mereka jauh lebih baik daripada penggosip-penggosip di kota ini.”

“Dalam matematika, kalau bukan yang terbaik, kau bukan siapa-siapa.”

 

“Kalau boleh aku memberimu satu nasihat, Laura, janganlah terlalu fokus pada satu hal hingga lupa menghargai apa yang ada di sekelilingmu.”


-------------------------------------------------------------------------

Komentar