Penulis: Fakhrisina Amalia
Penyunting: Rina Fatiha
Penerbit: Ice Cube
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 223
ISBN: 978-979-91-0907-1
Ceria bukanlah gadis bodoh. Nilai Bahasa Inggris-nya
sempurna, begitu juga dengan nilai mata pelajaran lainnya. Hanya Matematika,
mata pelajaran yang selalu mengganjalnya.
Ia tidak terlalu suka Matematika,
tidak punya impian di bidang Matematika, cukup sulit memahami Matematika,
tetapi orangtuanya, terutama Mama, sangat ingin ia mengambil jurusan Matematika
saat kuliah nanti.
Belum cukup dengan itu, Mama selalu membanding-bandingkan
Ceria dengan Reina, teman sekelas sekaligus tetangga rumahnya yang memiliki
nilai Matematika sempurna. Bagi Mama, semua nilai bagus Ceria dan prestasinya di sekolah tidak ada apa-apanya
jika itu tidak berhubungan dengan Matematika.
Matematika itu spesial dan Ceria ingin sekali menjadi
spesial di mata Mama. Oleh karena itu, ia memaksakan dirinya menjalani sesuatu
yang tidak ia sukai dan melepaskan sesuatu yang inginkan, hanya agar orang
tuanya bangga terhadapnya. Berhasilkah Ceria?
My Review
Tertarik membaca buku ini, lagi-lagi karena membahas tentang Matematika. Seperti Ceria, saya juga amat sangat tidak tertarik dengan
Matematika. Membencinya bahkan, hahaha. Waktu sekolah dulu, saya selalu berharap
segera kuliah supaya tidak bertemu dengan Matematika lagi.
Kembali lagi ke kisah Ceria, dia adalah gadis kelas tiga SMA
yang mati-matian belajar Matematika supaya bisa lulus UN dan diterima di
jurusan Matematika. Ceria rela belajar keras demi menuruti keinginan orang
tuanya. Padahal kakaknya berpesan agar ia memilih jurusan yang dia suka. Akan
tetapi, Ceria keburu terobsesi untuk bisa mengalahkan Reina, tetangga sebelah
yang selalu dibangga-banggakan Papa-Mamanya.
Ketika membaca novel ini, rasanya seperti mengerti banget
perasaan Ceria. Memang nyesek banget ketika orang tua mulai
membanding-bandingkan dengan anak orang lain, apalagi jika itu teman sekelas
atau tetangga. Rasanya seperti pengen bilang, “Yaudah, sana ambil aja dia jadi
anak Papa Mama.” Iya, nggak, sih? Hehehe….
Akan tetapiii, saya sebenarnya merasa geregetan dengan Ceria
yang memilih mengikuti kemauan orang tuanya. Saya juga geregetan dengan Mama
Ceria yang mengelu-elukan bidang Matematika dan malah bangga-banggain anak
orang lain. Padahal di cerita ini si Ceria pernah ikut pertukaran pelajar di
Australia karena nilai Bahasa Inggris-nya. Kan, nyebelin banget. (Tuh, kan,
menulis review ini aja jadi esmosi kan, hahaha…)
Masalah yang diangkat di novel ini dekat sekali dengan
kehidupan sehari-hari dan saya yakin, hampir semua anak SMA pernah
merasakannya. Mulai dari tekanan dari orang tua atau guru untuk lulus dan dapat
nilai tinggi, kebingungan saat memilih jurusan, dilema antara mengikuti orang
tua atau mengikuti keinginan pribadi. Pokoknya, hal-hal semacam itu. Dan
Fakhrisina berhasil menyajikan cerita sehari-hari tanpa terkesan membosankan
dan tetap menyampaikan pesannya di novel ini.
Saya sangat merekomendasi novel ini untuk dibaca adik-adik
SMA baik yang sedang bingung menentukan jurusan maupun tidak. Novel ini juga
bisa dibaca oleh orang tua yang punya anak SMA supaya tahu seperti apa sih
rasanya dituntut begini begitu sedangkan yang dituntut memang nggak minat.
Ya, maksudnya sih biar sama-sama ada pengertian dari kedua
belah pihak. Dari orang tua, tidak terlalu memaksakan kehendaknya dan lebih mengarahkan
saja ke anak. Misalnya, memberi tahu kalau masuk jurusan ini tuh begini begitu,
yang dipelajari ini itu. Dari pihak anak juga, nggak diam-diam saja, tetapi
memberi tahu secara baik-baik kalau yang dia suka tuh ini, maunya masuk jurusan
ini, karena nanti mau begini. Mudah-mudahan ada titik temunya. Ya, kaaan?
Happiness adalah karya pertama Fakhrisina yang saya baca
secara dalam bentuk cetak. Dulu waktu saya masih kuliah, saya sempat mengikuti
blog Fakhrisina dan membaca cerita-ceritanya.
Saya akui, tulisan di blognya pun bagus-bagus. Saya jadi penasaran
dengan karya-karya Fakhrisina yang lain, semoga berkesempatan membaca.
“Memilih jurusan kuliah itu bukan kompetisi. Jurusan kuliah itu menentukan masa depan kamu, untuk meraih impian kamu.”
“Kita punya rezeki masing-masing, bahkan dengan cara orang lain bersikap kepada kita. Kita hanya perlu menjadi diri sendiri, melakukan yang kita suka, menerima yang memang diperuntukkan untuk kita.”
“Bagaimana rasanya ketika kau tidak meminta apa pun tetapi begitu banyak yang diberikan padamu? Bagaimana rasanya ketika hal yang kau dapatkan adalah hal-hal yang kau perlukan dan ternyata adalah hal yang menjadi penambah kebahagiaan? Itulah fungsi dari syukur ketika Tuhan memberi hal-hal kecil; untuk kali berikutnya Dia tambahkan pemberian-Nya menjadi lebih besar lagi.”
“Boleh saja kamu iri dengan kemampuan orang lain, tetapi bukan berarti kamu harus menjadi seperti dirinya atau membuat dirinya terlihat buruk di mata orang lain. Kita punya kelebihan masing-masing, bersyukurlah.”
“Tuhan selalu memberi lebih untuk setiap syukur yang kita miliki terhadap hal-hal kecil.”
“Bahagia itu adalah… ketika kamu merasa bebas menentukan jalan hidup yang kamu ingin jalani, ketika kamu menjadi diri kamu sendiri dan melakukan apa yang kamu sukai, dan ketika kamu mampu bersyukur dengan yang kamu miliki saat ini. bahagia tidak berasal dari hal-hal yang orang lain ingin kamu lakukan, tetapi berasal dari dalam diri kamu sendiri.”
Komentar
Posting Komentar