Resensi Buku: Salt to the Sea

Penulis: Ruta Sepetys
Alih Bahasa: Putri Septiana Kurniawati
Editor: Fidyastria Saspida
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: Cetakan 1, 2018
Halaman: 369
ISBN: 978-602-04-5415-5 



Tahun 1945. Perang Dunia II merambah Prusia Timur. Jutaan pengungsi pergi mencari tempat aman. Di antara mereka terdapat empat orang dengan kisah dan rahasia berbeda.

Takdir mempertemukan keempatnya di Wilhelm Gustoff, kapal megah yang menjadi tempat mereka menggantungkan harapan bersama lebih dari sepuluh ribu penumpang lainnya. Akan tetapi, sebelum kebebasan sempat diraih, tragedy besar pun terhadi. Tak peduli dari negara mana mereka berasal dan status apa yang mereka sandang, ribuan penumpang kapal harus berjuang kera melakukan satu hal; bertahan hidup.

My Review

Setelah membaca Between Shades of Gray, saya penasaran sekali dengan karya-karya Ruta Sepetys lainnya. Salah satu karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah Salt to the Sea.

Berbeda dengan Between Shades of Gray yang fokus bercerita tentang Lina yang dibawa tentara NKVD ke Siberia, Salt to the Sea mengangkat kisah empat orang yang berbeda latar belakang dan tujuan. Keempat orang itu adalah Joana, Florian, Emilia, dan Alfred. Cerita ini disusun dari sudut pandang keempat orang tersebut secara bergantian. Kisah ini berlatar di Prusia Timur,
Mari kita bahas satu per satu keempat tokoh tersebut.

Joana: perawat dari Lithuania, usia sekitar 20 tahun ke atas. Pada awal cerita, Joana berjalan bersama para pengungsi lainnya menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman. 

Florian: pemuda Prusia Timur yang bekerja untuk Jerman. Keahliannya adalah menduplikasi karya seni dari negara jajahan Hitler. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau keahliannya dipakai untuk sesuatu yang buruk.

Emilia: Gadis Polandia, 15 tahun, sedang hamil. Tadinya Emilia disembunyikan di peternakan milik teman ayahnya di Prusia, tetapi dia ditemukan oleh tentara Rusia, lalu Emilia melarikan diri dan bergabung dengan kelompok Joana.

Alfred: Orang Jerman yang aneh, bisa dibilang narsistik, banyak mengkhayal, dan merasa dirinya penting. Sangat setuju dengan visi misi Hitler.

Ketiga tokoh pertama, Joana, Emilia, dan Florian bertemu jauh sebelum mereka naik kapal Wilhelm Gustoff. Mereka bersama para pengungsi lainnya berjalan kaki, menghindar dari tentara Rusia, untuk sampai ke tempat yang aman, lebih baik lagi jika mereka berhasil menyebrang dan menjauhi tempat tinggal yang sudah carut-marut karena perang.

Penulis berhasil menyuguhkan kondisi penduduk sipil dan suasana Perang Dunia II dengan sangat piawai. Ketika membaca buku historical fiction seperti ini, memang ada baiknya mengetahui atau memahami sedikit tentang negara-negara yang terjun dalam Perang Dunia II dan siapa melawan siapa, supaya nggak blank banget.

Meskipun novel historical fiction bukan bermaksud menjelaskan tujuan negara ini melakukan itu, negara itu melakukan ini, melainkan menggambarkan kondisi manusia-manusia tak bersalah yang ikut menjadi korban peperangan tersebut, tetapi, jika mengetahui sedikit latar belakang tentang Perang Dunia II, kita bisa  lebih menghayati alur ceritanya dan alasan kenapa si ini harus disembunyikan, kenapa yang lain tidak, dan lain sebagainya. (Mudahan-mudahan maksud saya bisa dipahami, hehehe)

Buku Salt to the Sea tergolong buku yang cukup tebal, tetapi saya membacanya dalam sekali duduk saja, karena benar-benar terhanyut dengan kisah keempat orang tersebut dan orang-orang lainnya. Meskipun diceritakan dari sudut pandang empat orang tadi, tentu saja ada tokoh-tokoh lain yang muncul dan berkesan di hati saya.

Seperti tokoh Pak Tua ahli sepatu, Eva ‘Maaf’ si tinggi besar, serta anak kecil yang ditemukan Joana dan akhirnya diangkat menjadi cucu oleh si Pak Tua. Dari sekian banyak tokoh di sini, saya paling menyukai karakter Pak Tua yang bijaksana dan tabah menghadapi situasi perang seperti saat itu.

Tokoh yang paling mengesalkan tentu saja si Alfred. Tokoh Alfred ini paling mengecoh juga. Seharusnya saya sudah bisa menebak, mengingat sifatnya yang narsis dan menganggap dirinya penting padahal cuma pesuruh biasa.

Untuk tokoh Emilia, entah kenapa saya membayangkan dia seperti gadis Yahudi di film The Zookeeper’s Wife yang disembunyikan oleh Jessica Chastain.

Untuk tokoh Joana, ternyata dia masih berkaitan dengan tokoh Lina di Between Shades of Gray. Joana ini sepupunya Lina dan mereka sering berkirim surat sebelum segala sesuatunya berubah karena perang.

Oh iya, di bagian belakang buku, penulis menceritakan proses riset untuk novel ini. Seperti Between Shades of Gray, proses risetnya sungguh nggak main-main, penulis mewawancara para penyintas, melakukan perjalanan seperti yang dilakukan pengungsi (seperti yang dilakukan tokoh-tokohnya), tur ke Berlin, juga mencantumkan sumber buku, film, dan catatan-catatan lainnya berkenaan dengan peristiwa sejarah yang menjadi latar peristiwa dalam novel ini.

Seperti inilah novel fiksi sejarah yang saya suka. Selain menyajikan cerita yang bagus dan deskripsi yang hidup, penulis juga tidak ‘pelit’ berbagi kisahnya saat melakukan riset dan mengumpulkan bahan. Karena saya yakin, semakin bagus dan ‘hidup’ suatu novel fiksi sejarah, pasti semakin banyak dan kaya bahan-bahan yang dikumpulkan oleh si penulis.

Dari penjelasan singkatnya tentang orang-orang yang diwawancarai oleh penulis, saya melihat beberapa kisah mereka menjadi inspirasi penulis menciptakan tokoh-tokoh utama di cerita ini. Tentu saja pasti ada 'polesan' di sana-sini, namun hal ini seolah ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa apa yang terjadi kepada tokoh-tokoh cerita memang benar-benar terjadi.

Salt to the Sea adalah salah satu historical fiction yang bagus dan layak baca. Saya semakin penasaran dengan karya Ruta Sepetys lainnya, Out of Easy dan The Fountain of Silence. Mudah-mudahan saya berkesempatan membaca buku-buku tersebut.

Komentar