Resensi Buku: Emerald Green (Time Travel Trilogy #3)


Penulis: Kerstin Gier
Penerjemah: Henny Sugiani Dulimarta
Penyunting: Andriyani
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2013
Halaman: 451


Petualangan Gwendolyn dan Gideon terus berlanjut meskipun Gwendolyn merasa patah hati karena mengetahui Gideon hanya berpura-pura mencintainya untuk melaksanakan tugas dari Bangsawan von Saint German. Gwendolyn juga masih ditemani sahabat setianya (yang nyata), Leslie, dan sahabat demonnya (yang tidak bisa dilihat orang), Xemerius, dalam mencari tahu alasan Bangsawan von Saint German sangat ingin darah semua penjelajah waktu terbaca di kronograf sementara Lucy, Paul, dan kakeknya berusaha mati-matian agar tujuan tersebut tidak terlaksana.

Apa yang sebenarnya disembunyikan Bangsawan von Saint German mengenai kronograf tersebut? Apa benar jika semua darah penjelajah waktu telah terbaca di kronograf akan menghasilkan obat yang dapat menyembuhkan seluruh penyakit? Gwendolyn yakin sang Bangsawan memiliki niat buruk, tetapi apa dan bagaimana cara ia mengetahuinya? Dan yang paling penting, sebenarnya Gideon punya perasaan yang sama kepadanya atau tidak, sih?

Pada awalnya, semua masih misteri bagi Gwendolyn. Namun perlahan-lahan, dengan bantuan berbagai pihak, Gwendolyn mulai mendapat titik terang dari semua misteri tersebut dan menjalankan misinya sendiri.

My Review

Agak sulit menulis resensi untuk buku ketiga sekaligus terakhir dari Time Travel Trilogy. Selain karena bukunya yang lebih tebal dibanding dua buku sebelumnya, saya juga membacanya dengan jeda yang cukup lama sehingga lupa dengan detil cerita di awal.

Begitu banyak misteri di buku pertama dan masih menjadi misteri di buku kedua, lalu di buku ketiga, semua misteri itu dibeberkan. Walaupun tidak secara serta merta, tetap membuat saya agak pusing mengingat banyak tokoh di cerita ini. Ditambah lagi karena jarak membaca buku pertama dan buku kedua yang cukup jauh dengan buku ketiga membuat saya banyak melupakan detil-detil yang mempengaruhi jalan cerita.

Hal yang paling saya sukai di buku ini tentu saja si tokoh utama, Gwendolyn yang lucu, ceplas-ceplos, kadang lebay, tetapi sebenarnya dia cukup tabah menjalani segala ‘keanehan’ yang terjadi dalam hidupnya. Gwendolyn bisa dibilang tokoh utama yang biasa-biasa saja, bukan gadis paling cantik, bukan gadis paling baik, pokoknya keliatan normal banget seperti murid sekolah pada umumnya. Akan tetapi, entah mengapa hal itu malah menjadi daya tarik tersendiri.

Bagi saya, hampir semua karakter di buku ini unik dan saya sangat kagum dengan penulisnya yang mampu menciptakan karakter seperti itu. Meskipun untuk beberapa karakter di masa lalu saya agak susah mengingatnya satu per satu.

Sebagai penutup, saya berharap dapat segera membaca ulang trilogi ini dan menulis resensinya dengan lebih baik. Selain itu, saya benar-benar tidak merasa menyesal telah mengambil buku seri pertama, Ruby Red, dari rak buku obralan lalu berlanjut mengambil ke buku kedua, Sapphire Blue, di meja book swap Festival Pembaca Indonesia 2016, dan terakhir buku ketiga, karena sudah susah mencari buku ini di toko-toko buku offline, akhirnya gerilya di market place dan dapatlah buku ketiga. Alhamdulillah.

Secara keseluruhan, Time Travel Trilogy karya Kerstin Gier sangat menarik untuk dibaca dan dikoleksi. Meskipun sampulnya kurang meyakinkan, percayalah ceritanya seru sekali.

Komentar