Resensi Buku: Lintang Langit pada Senja


Penulis: Ririn Astutiningrum
Editor: Pradita Seti Rahayu
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun Terbit: 2017
Halaman: 240
ISBN: 978-602-04-2528-3

Lintang dan Langit selalu merasa dunia tak adil hingga mereka melangkah bersama. Lintang dan Langit serupa dua tapak tangan yang tak akan bisa menjabat tanpa satu sama lain. Indahnya cinta dan dunia mereka genggam dalam batin yang sejatinya kelam. Mereka bersama menepis sunyi, tak peduli bagaimana hari nanti.

Satu ketika, kenyataan pahit merenggut paksa kebersamaan mereka. Tiada lagi Lintang pada Langit. Getir demi getir dijalani masing-masing hingga takdir kelak mempertemukan mereka kembali dalam keadaan yang berbeda.

Ada senja di antara langit dan bintang-bintang. senja yang mengajarkan arti hidup, cinta sejati, dan perjuangan. Senja yang senantiasa setia. Senja yang sekejap muncul lalu sirna, namun senantiasa berkorban demi kerlip cahaya bintang.

My Review

Saya berkesempatan membaca Lintang Langit pada Senja karena menjadi salah satu reviewer yang dipilih oleh penulisnya, Mbak Ririn. Sebelumnya, saya mohon maaf karena baru membaca dan menulis resensi novel ini jauh dari waktu novel ini saya terima.

Lintang Langit pada Senja bercerita tentang Lintang, gadis kaya yang dilupakan orang tuanya. Kuliah di Bandung lalu bertemu dengan Langit, anak penjual sepatu miskin yang muak dengan kemiskinannya. Lintang yang haus kasih sayang mendapatkan perhatian dan cinta dari Langit, sementara Langit mendapat fasilitas yang dia inginkan dari Lintang yang keluarganya kaya raya. Mereka berdua saling mencintai dan sama-sama membenci Tuhan. Sebuah premis yang cukup stereotipikal.

Kemudian, Langit menghilang. Lintang seperti kehilangan arah. Ia mengisi waktunya dengan minum-minum, merokok, dan meratapi kepergian Langit yang tak tahu rimbanya, sampai akhirnya jatuh ke pelukan Juna yang sejak dahulu naksir dengan Lintang. Di saat yang sama, Guntur, adik Lintang di Surabaya juga aneh. Dia lebih sering mengurung diri di dalam kamar dan menjerit-jerit ketakutan. Tidak mau makan, tidak mau bicara. Sementara kedua orang tua mereka malah sibuk dengan karier dan selingkuhan masing-masing.

Konflik ceritanya khas konflik orang kaya. Orang tua yang sibuk mencari uang, pernikahan yang gersang, dan anak-anak yang error karena tak mendapat perhatian dari kedua orang tua. Meskipun agak klise, namun Mbak Ririn pandai mengemas novel ini dengan tulisan yang puitis tetapi terus mengalir, tidak terlalu mendayu-dayu apalagi bertele-tele sehingga membuat pembaca bosan. Kedua tokoh utama juga memiliki karakter yang cukup kuat, meskipun saya kurang simpati dengan Lintang. Entah kenapa, saya merasa dia terlalu lebay.

Selain Lintang dan Langit, ada pula Senja. Jika dilihat dari judul, memang seperti menggambarkan cinta segitiga. Namun, cinta segitiga yang ini berbeda. Bukan ala-ala rebutan cowok tokoh utama atau si cowok tokoh utama merasa bimbang harus pilih yang cewek yang mana. Alur cerita membuat Langit sebagai satu-satunya tokoh utama cowok di sini tidak harus memilih. Begitu juga dengan Lintang dan Senja yang tidak rebutan. Lalu, Langit dengan siapa? Dengan Senja atau Lintang? Baca sendiri ceritanya.

Novel ini tidak terlalu tebal, tetapi isinya cukup padat. Selain konflik di antara tokoh, Mbak Ririn juga menyelipkan berbagai pengetahuan tentang tempat-tempat yang menjadi latar cerita sehingga pembaca bisa lebih memahami dan membayangkan seperti apa tempat tersebut. Terselip juga kisah-kisah sahabat Rasulullah saw. yang bisa menjadi pengingat kita saat mengalami keterpurukan.

Ada satu hal yang membuat saya geregetan di bagian akhir cerita. Yaitu, tentang Nawang adik Langit. Ah, pokoknya sebal saja dengan hal itu. Sekali lagi, kalau penasaran baca saja buku ini. Insya Allah, tidak hanya sekadar sebagai hiburan tetapi juga sebagai pengingat dengan cara yang lembut tetapi mengena ke dalam hati.

Terima kasih kepada Mbak Ririn dan Penerbit Elex atas hadiah novel ini. Semoga novel ini dibaca banyak orang dan memberi manfaat kepada para pembacanya. Amiin.

Komentar