Penulis: Nina George
Alih Bahasa: Utti Setiawati
Editor: Rini Nurul Badariah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2017
Jujur saja, saat menulis resensi Little Paris
Bookshop, banyak sekali hal yang ingin saya sampaikan dan mereka berebut ingin
keluar dari kepala saya, jadi saya coba tulis satu-satu, ya.
Reaksi pertama saat membaca buku ini adalah,
“Ya ampun, aku pengen banget berkunjung ke kapal Monsieur Perdu, Literature
Apothecary, dan mendapat saran tentang buku yang harus aku baca dari beliau.”
Reaksi kedua, “Ya ampun, aku jadi makin pengen
ke Prancis, ke Paris, mengarungi Sungai Seine dengan kapal. Dan lebih baik,
dengan kapal buku!”
Reaksi ketiga, “Ya ampun, aku jadi pengen ke
Cuisery. Eh, Cuisery itu beneran ada nggak sih?” (Langsung Googling, ternyata
ada, langsung masukin ke daftar bucket list).
Reaksi keempat, “Ya ampun, aku jadi pengen
nyicip semua masakannya Chef Salvatore Cuneo yang bahan-bahannya aja baru aku
denger dan nggak pernah tahu wujudnya kayak apa tetapi kedengerannya kok enak banget,
ya?”
Reaksi kelima, “Ya ampun, aku mau baca
buku-buku berlatar Prancis lagiii! I want more! I want more!”
Yup, begitulah kesan pertama saya selama dan
setelah membaca Little Paris Bookshop.
Pekerjaan Monsieur Perdu sepertinya sangat
sempurna bagi para pecinta buku. Apalagi ia juga punya kemampuan lebih dalam
‘melihat’ calon pembelinya. Ironisnya, setiap ada kelebihan ada pula
kekurangan. Dia yang mampu mengobati orang lain dengan buku, malah tidak bisa
mengobati dirinya sendiri (memang kadang orang suka begitu, sih, wkwk).
Sampai Monsieur Perdu ketemu Catherine.
Catherine ini janda usia 40 tahunan yang suaminya tiba-tiba meninggakan dia dan
terpaksa tinggal di gedung apartemen Monsieur Perdu dengan sedikit
perlengkapan. Tetanggga-tetangga apartemen Monsieur Perdu menyarankan Monsieur
Perdu meminjamkan (atau memberikan) beberapa furniture kepada wanita malang
tersebut, misalnya sebuah meja dan vas bunga.
Monsieur Perdu awalnya tidak peduli, tetapi
setelah melihat dan mendengar langsung Catherine menangis, hatinya tergugah dan
mengeluarkan meja yang tak pernah lagi dia pakai untuk diberikan kepada
Catherine. Ternyata di dalam meja itu ada surat dari Manon, kekasih Monsieur
Perdu, Catherine yang menemukannya.
Surat itu sudah 21 tahun tak pernah dibuka oleh
Monsieur Perdu. Ia terlalu patah hati karena Manon meninggalkannya sehingga tak
mau membuka surat tersebut. Ia pikir, itu Cuma surat perpisahan biasa untuk
kekasih gelap (karena di Provence sana Manon sudah memiliki suami). Ternyata
surat itu memberi tahu kalau Manon saat itu sedang sekarat karena kanker dan
tidak bisa lagi tinggal bersama Monsieur Perdu dan ia berharap Monsieur Perdu
akan datang menemuinya di tempat tinggalnya. Nyatanya, itu Cuma jadi harapan
karena Monsieur Perdu tak pernah membuka surat itu dan tak pernah tahu kalau
selama ini Manon menunggunya.
Hmm… kalau jadi Monsieur Perdu memang nyesek,
sih, ya. Sudah berlarut-larut patah hati selama 21 tahun, pas baca surat
ternyata isinya seperti itu. Yang saya heran, kok kuat sih patah hati sampai 21
tahun, saya 10 tahun aja sudah cukup (eh, kok curhat?), hahaha.
Ya, pokoknya dari penemuan surat itu, Monsieur
Perdu pun langsung tancap gas (karena dia naik kapal jadi angkat sauh ya
istilahnya,wkwk) untuk menemui Manon di Provence. Dan sebagian besar buku ini
menceritakan perjalanan tersebut, yang penuh dengan suka duka sekaligus
pencarian jati diri dan self healing (eaaaa… pakai istilah self healing
segala!)
Saya suka perjalanannya Monsieur Perdu dan
kedua temannya. Apalagi, penulis menggambarkan suasana, tempat, bahkan makanan,
dengan sangat baik dan membuat pembaca jadi ingin tahu, ingin lihat, ingin
mencoba juga secara langsung apa yang dilalui Monsieur Perdu dan kedua kawannya
dalam perjalanan ini.
Banyak sekali tempat-tempat di Prancis yang disebutkan.
Saya yang hanya tahu Prancis itu Paris dan Provence (dan sedikit tentang Lille)
banyak mendapat tempat-tempat baru yang menarik untuk digoogling dan menjadi
calon bucket list.
Dan satu lagi hal yang menyenangkan dari buku
ini adalah banyaaaak sekali kutipan bagus tentang buku, tentang cinta, tentang
hidup, yang bisa kamu tandai. Saking banyaknya, saya sampai bingung memilih
yang paling favorit.
Sayangnya, ada sedikit ganjalan (sedikiit aja)
dalam menggunakan nama panggilan. Novel ini kan dikisahkan dari sudut pandang
orang ketiga serba tahu dari awal hingga akhir cerita, tetapi penyebutan nama tokohnya-tokohnya
tidak konsisten. Misalnya, Jean Perdu, kadang dipanggil Perdu, kadang dipanggil
Jean, kadang dipanggil Monsieur Perdu. Atau Max Jordan, kadang dipanggil Max,
kadang dipanggil Jordan.
Kalau perbedaan sebutan ini di dalam kalimat
langsung oleh tokoh-tokoh yang lain, sih, wajar, ya. Misalnya, pacar Monsieur
Perdu manggilnya Jean, tetangga-tetangganya manggil Monsieur Perdu. Itu wajar.
Tetapi kalau sudut pandang ketiga serba tahu alias si penulis rasanya agak
janggal aja dan kadang bikin keder karena namanya kebanyakan padahal orangnya
itu-itu aja.
Dan satu lagi, judulnya mengesankan cerita ini
banyak mengambil latar Paris. Ternyata toko buku tersebut (dalam cerita ini)
tidak banyak berada di Paris. Toko buku tersebut bertualang bersama pemiliknya
mengarungi sungai. Jadi, mungkin lebih cocok jika judulnya, “Toko buku yang
berlayar di sepanjang sungai di Prancis”, hehehe.
Secara keseluruhan, buku ini cocok banget
dihadiahkan kepada para pecinta buku. Di bagian terakhir juga ada beberapa
resep dari Chef Salvotore Cuneo yang menarik untuk dicoba dan indeks buku-buku
yang disebutkan di dalam cerita.
Wah, buku ini udah jadi wishlish sejak lama :D Sepertinya agak-agak mirip ya pola ceritanya dengan novel 'The Storied Life of A.J. Fikry'?
BalasHapusKebetulan belum baca buku A.J. Fikry. :D Bisa jadi mirip, karena sama-sama pencinta buku
Hapus