Penulis:
Seno Gumira Ajidarma
Penyelia
Naskah: Mirna Yulistianti
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: Cetakan keempat cover baru, Agustus 2017
Halaman:
207
ISBN:
978-602-03-1903-2
Sepotong
Senja untuk Pacarku adalah kumpulan cerpen yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu: Trilogi Alina, Peselancar Agung, dan Atas Nama Senja.
Sewaktu
kuliah, saya pernah membaca beberapa cerpen milik SGA di blognya yang bernama
Dunia Sukab. Sebabnya, karena saya jatuh cinta dengan cerpen Sepotong Senja
untuk Pacarku yang saya baca di dalam buku Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia karya Korrie Layun Rampan. Zaman kuliah dulu,
saya ketagihan mengulik dunia sastra. Gara-gara terpesona dengan pacarnya
Alina, saya pun cari-cari tahu tentang Seno Gumira Ajidarma dan menemukan Dunia
Sukab.
Saat
melihat kumcer ini sedang diskon di Gramedia.com (kala itu), tanpa pikir panjang saya pun
membelinya. Sudah lama saya ingin membeli kumcer ini, tetapi karena harganya
yang lumayan mahal saya menunda beli sampai akhirnya ada diskon itu.
Alhamdulillah, masih rezeki.
Perbedaan
kumcer terbitan baru dibanding terbitan lama adalah bukunya yang dibungkus
amplop layaknya surat dan di dalamnya juga ada cerpen Sepotong Senja untuk
Pacarku yang dicetak di dua lembar kertas surat dengan nama Alina yang
dikosongkan.
Saat membaca bagian pengantar dari penulis, ternyata ‘surat’ itu
sengaja dibuat karena para pembaca sering menggunakan cerpen ini sebagai surat
cinta untuk pacarnya dan mengganti nama Alina dengan nama kekasih mereka.
Jadilah, penerbit berinisiatif mencetak lembaran ‘surat’ itu dengan bagian nama
yang kosong agar orang-orang yang ingin mengirim surat kepada ‘Alina’ mereka
bisa dengan lebih mudah melakukannya. Tak perlu ketik ulang yang bikin pegal.
Nah,
bagaimana tanggapan saya dengan kumcer Sepotong Senja untuk Pacarku?
Secara
keseluruhan, saya tidak terlalu mengerti apa yang hendak dimaksudkan penulis
dalam cerpen-cerpennya. Bukan berarti karya ini tidak bagus, menurut saya cukup
bagus, tetapi jika ada makna yang ingin disampaikan sang penulis, saya belum
bisa menangkapnya. Jadi, saya membaca kumcer itu hanya sekadar membaca.
Berusaha menikmatinya saja tanpa berpikir ini maksudnya apa ya, itu maksudnya
apa ya.
Saya baru
tahu dari teman saya bahwa Sepotong Senja untuk Pacarku merupakan cerpen
yang mengkritisi proyek reklamasi Teluk Jakarta pada era 90an. Saya kaget waktu
tahu itu. Terlepas itu benar atau tidak, waktu saya membaca Sepotong Senja
untuk Pacarku untuk yang pertama kalinya, saya merasa cerpen tersebut sangat
romantis dan menganggap Alina sangat beruntung karena mendapat hadiah sepotong
senja.
Saya juga
baru tahu dari kumcer ini kalau SGA menulis cerpen ‘Jawaban Alina’. Sejelas judulnya, cerpen ini berisi jawaban Alina
atas surat yang dikirim Sukab yang berisi potongan senja.
Selama membaca Sepotong
Senja untuk Pacarku, saya meyakini kalau Alina adalah perempuan yang manis dan
sendu, tetapi setelah membaca Jawaban Alina, saya merasa Alina adalah sosok
perempuan tomboy yang galak dan grusa-grusu. Terlihat dari cara dia memanggil
Sukab di beberapa awal paragraf suratnya.
Sukab yang malang, bodoh, dan tidak pakai otak.
Sukan yang malang, goblok, dan menyebalkan.
Membaca
kalimat tersebut, hilang sudah semua kemanisan dan kesenduan Alina yang
tercipta di benak saya.
Bagian
Peselancar Agung adalah yang paling banyak cerpennya. Saya benar-benar tidak
bisa menangkap maksud cerpen-cerpen tersebut dan membacanya hanya karena
penasaran. Satu-satunya yang menurut saya cukup romantis dan mudah dicerna
adalah cerpen Hujan, Senja, dan Cerita.
Cerpen Kunang-Kunang Mandarin juga
cukup menarik dan mengangkat tema yang ‘menggelitik’. Mungkin cerpen ini
tentang pembantaian orang Cina, yang di cerpen ini disebut orang-orang Mandarin
(seperti jeruk saja).
Bagian
terakhir, Atas Nama Senja, hanya terdiri dari tiga cerpen. Sama seperti di bagian Peselancar Agung, saya juga terlalu menangkap maksud dari cerpen-cerpen ini, tetapi saya sangat suka kalimat-kalimat yang
menyusun tiga cerpen ini. Menurut saya, ketiga cerpen terakhir ini yang paling
banyak membawakan berbagai macam makna senja.
“Haruskah ada yang lebih indah dari senja, meski tanpa kisah cinta di dalamnya?”
(Senja di Pulau Tanpa Nama)
Komentar
Posting Komentar