Penulis:
John Stephens
Alih
Bahasa: Poppy Damayanti Chusfani
Editor:
Barokah Ruziati
Desain
Sampul: Martin Dima
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: 2013
Halaman:
528
ISBN:
978-979-22-9989-2
Setelah menemukan
buku Atlas yang membuat pemiliknya dapat menjelajah waktu, petualangan tiga
bersaudara Kate, Michael, dan Emma belum selesai. Mereka yang kini telah
berusia belasan tahun (Kate 15, Michael 13, dan Emma hampir 13) harus menemukan
Kitab, buku kehidupan yang merupakan buku kedua dari Buku-Buku Permulaan.
Sayangnya,
dalam pencarian kali ini mereka terpisah. Saat para penjerit mengejar mereka
sampai ke panti asuhan, Atlas membawa Kate jauh ke masa lalu, New York tahun
1899 saat sihir masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sementara itu,
Michael dan Emma bertemu dengan Dr. Pym. Dia mengajak anak-anak ke Malpesa
untuk mencari petunjuk tentang keberadaan Kitab.
Dapatkah Michael
menemukan buku yang ditakdirkan menjadi miliknya? Di mana keberadaan Kitab dan
apa kemampuan yang dimiliki buku tersebut?
My Review
Awalnya,
saya berniat membaca ulang The Emerald Atlas sebelum membaca The Fire Chronicle
karena saya sudah lupa dengan detil cerita yang terjadi di The Emerald Atlas.
Namun, rasanya susah sekali untuk mulai membaca ulang. Akhirnya, saya putuskan
untuk langsung membaca The Fire Chronicle tanpa membaca ulang The Emerald Atlas
terlebih dan hanya mengandalkan ingatan yang sudah samar.
Buku kedua
jauh lebih tebal ketimbang buku pertama. Namun, petualangannya banyak dan tidak
membosankan. Mungkin juga karena cerita terbagi dua, selang-seling antara kisah
Kate di masa lalu dan kisah Michael dan Emma mencari Kitab.
Bagi saya
dua-duanya seru dan sulit untuk memilih mana yang paling menarik. Kate terlempar
ke masa lalu dan bertemu langsung dengan Magnus Mengerikan. Sedangkan Michael
dan Emma bertemu naga yang menjaga Kitab. (Setelah membaca bagian ini saya baru
mengerti mengapa ada gambar naga di sampul depan).
Di buku
kedua juga cukup fokus pada perasaan dan pikiran Michael. Tentang dia yang
merasa menyesal pernah menyerahkan kedua saudarinya kepada sang Countess,
tentang kerinduannya terhadap ayahnya, tentang keraguan dirinya apakah benar
dia yang ditakdirkan memiliki Kitab atau mungkin orang lain. Jika memang dia
yang ditakdirkan memiliki Kitab, apakah dia mampu menanggung seluruh
kemungkinan yang bisa ditimbulkan oleh buku tersebut.
Pokoknya,
di buku kedua ini kelihatan banget lah perubahan pribadi Michael, terasa banget
proses kedewasaannya. Kalau Emma masih sama ya, ceplas-ceplos dan suka teriak. Di
cerita ini Emma kembali bertemu lagi dengan Gabriel, yang mana di cerita
pertama saya suka banget dengan hubungan yang terjalin antara Emma dan Gabriel.
Manis tetapi bukan manis yang menuju ke romantis. Pokoknya, manis.
Bagian paling
mengesalkan dari buku ini adalah halaman terakhirnya, adegan terakhirnya, yang
sumpah ya, lebih bikin penasaran dibanding buku pertama. Aaargh, pokoknya
penasaran banget dengan apa yang terjadi pada Emma. Dan penasaran juga apa yang
bakal terjadi jika Buku-Buku Permulaan itu disatukan.
Masalahnya,
ketiga anak tadi ditakdirkan memiliki Buku-Buku Permulaan dan mereka harus
menemukan ketiga buku tersebut. Namun, ketiga buku tersebut tidak boleh
disatukan karena akan menimbulkan kehancuran atau sesuatu yang sangat
membahayakan untuk mereka bertiga dan dunia. Nah, terus bagaimana, dong?
Jawabannya pasti
ada di buku terakhir, The Black Reckoning. Tetapi buku terakhirnya nggak tahu
apakah akan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama atau tidak. Hiks.
Komentar
Posting Komentar