Resensi Buku: Aroma Karsa

Penulis: Dee Lestari
Penyunting: Dhewiberta
Ilustrasi Isi & Sampul: Hezky Kurniawan
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, November 2018 (Cetakan Pertama, Maret 2018)
Halaman: 710
ISBN: 978-602-291-463-1


Dari sebuah lontar kuno, Raras Prayagung mengetahui bahwa Puspa Karsa yang dikenalnya sebagai dongeng, ternyata tanaman sungguhan yang tersembunyi di tempat rahasia. 

Obsesi Raras memburu Puspa Karsa, bunga sakti yang konon mampu mengendalikan kehendak dan cuma bisa diidentifikasi melalui aroma, mempertemukannya dengan Jati Wesi.

Jati memiliki penciuman luar biasa. Di TPA Bantar Gebang, tempatnya tumbuh besar, ia dijuluki si Hidung Tikus. Dari berbagai pekerjaan yang dilakoninya untuk bertahan hidup, satu yang paling Jati banggakan, yakni meracik parfum.

Kemampuan Jati memikat Raras. Bukan hanya memperkerjakan Jati di perusahaannya, Raras ikut mengundang Jati masuk ke dalam kehidupan pribadinya. Bertemulah Jati dengan Tanaya Suma, anak tunggal Raras, yang memiliki kemampuan serupa dengannya.

Semakin jauh Jati terlibat dengan keluarga Prayagung dan Puspa Karsa, semakin banyak misteri yang ia temukan, tentang dirinya dan masa lalu yang tak pernah ia tahu.

My Review

Sebelum mulai membahas isi novel, saya mau bilang dulu kalau buku ini keren banget, hampir sempurna malah. Dan sangat sulit rasanya membahas novel ini tanpa spoiler, jadi siap-siap saja di bagian bawah mungkin bakal ada spoiler. Akan tetapi tenang saja, saya bakal memberi tahu kalau sudah mau spoiler, jadi kamu yang belum membaca Aroma Karsa dan nggak suka kena spoiler bisa menghindar. Oke?

Mulai dari awal, kita dikenalkan dengan sosok Janirah dan Raras Prayagung, tokoh yang memiliki kaitan erat dengan Puspa Karsa. Saya yang nggak terlalu ngeh saat baca sinopsis, mengira Raras seumuran dengan Jati dan bakal jadi pasangan tokoh utama. Ternyata, belum sampai Raras ketemu Jati, ada penjelasan kalau masa kecil Raras itu tahun 1960-an. Baiklah, dengan anggapan latar cerita Aroma Karsa mengambil era yang sama dengan saat buku ini diterbitkan, berarti Raras sudah berumur 60 tahunanlah, ya. 

Kemudian, kita bertemu Jati dengan kelebihan penciumannya. Kita disuguhi kisah Jati sebagai tukang kebun, peracik parfum tiruan, dan pernah membantu polisi menemukan mayat yang sudah tertimbun sampah berhari-hari lamanya. Jangan salah, latar belakang ini bukan tempelan semata atau cuma memperpanjang kisah, karena kejadian-kejadian tersebut menjadi penopang cerita-cerita selanjutnya.

Singkat cerita, Jati akhirnya ketemu Raras Prayagung. Berlanjut ketemu Tanaya Suma. Lalu akhirnya mendengar tentang Puspa Karsa dan dari situlah saya mulai menebak-nebak, siapakah sebenarnya Jati? Apa hubungannya dengan Suma, Anung, dan Puspa Karsa? Apakah akhirnya Raras mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan, Puspa Karsa?

BEWARE! BEGIN OF SPOILER. 


Saya mengira Jati dan Suma itu sebenarnya saudara kandung, sama-sama anaknya Anung, dan di akhir mereka terpaksa berpisah karena tidak mungkin memaksakan cinta seperti itu. Ternyata tebakan saya salah. Cerita ini tidak seklise itu. Wkwkwk.

Saya juga yakin dengan seyakin-yakinnya kalau pada akhirnya Jati bakal menemukan Puspa Karsa. Itu benar. Namun, bagaimana caranya dan apa yang akan dilakukan Jati setelah menemukan Puspa Karsa, itulah yang bikin saya penasaran. Kalau saya sih yakin Jati tidak akan memberi Puspa Karsa kepada Raras. Kenapa? 

Mulai dari pertengahan cerita, saya sudah menangkap sifat asli Raras yang sangat ambisius dan hanya peduli dengan keinginan dan kepentingannya. Raras ini tipikal orang yang bisa ‘membujuk’ seseorang untuk melakukan apa pun yang dia inginkan. Entah karena dia punya setetes Puspa Karsa dari eyangnya atau memang orangnya seperti itu.

Yang jelas, saya lega karena Raras tidak mendapat apa yang dia inginkan. Tetapiii, bagian akhirnya ternyata memiliki ending terbuka alias pembaca bebas menafsirkan apa yang terjadi selanjutnya. Kalau saya, yakin seyakin-yakinnya Jati akan melakukan hal yang benar. Hahaha.

END OF SPOILER


Lanjut lagi, ya. Kali ini saya mau bahas tentang hal-hal apa saja yang suka dari Aroma Karsa.

Well, awalnya saya sempat mengkeret saat hendak membaca buku setebal 700an halaman ini. Apalagi setelah membaca Inkspell yang jumlah halamannya kurang lebih sama. Akan tetapi, saat membuka bukunya, oh, font-nya cukup besar, nggak kecil-kecil banget, jadi sepertinya nggak akan lama baca buku ini.

Ternyata perkiraan saya benar, nggak butuh waktu lama membaca Aroma Karsa karena seperti yang saya bilang tadi, ukurannya font-nya cukup besar dan alur ceritanya nggak membosankan sama sekali.

Pembaca disuguhi kisah hidup Jati dan orang-orang yang bersinggungan dengan kehidupannya. Sama seperti Jati, saya juga dibuat penasaran dan ingin menguak asal usul dirinya.

Selain font dan alur cerita, ada berbagai kosakata yang berhubungan dengan bau-bauan dan jenis-jenis tumbuhan yang baru saya tahu namanya saat membaca Aroma Karsa. Dee Lestari tidak main-main dengan karyanya yang satu ini (walau bukan berarti yang lain main-main, ya.), bahkan proses pembuatan novel ini saja punya buku sendiri yang akhirnya masuk ke wishlist saya setelah membaca Aroma Karsa.

Jika pembaca menyempatkan diri membaca halaman terima kasih di bagian depan buku, mungkin sudah mulai bisa mengira-ngira, tema apa saja yang dikeluarkan oleh Aroma Karsa. Bau-bauan tentu saja. Parfum, industri kosmetik, kehidupan di TPA Bantar Gebang, misteri Gunung Lawu, hingga sejarah Majapahit yang konon berhubungan dengan Puspa Karsa yang telah dihapus.

Membaca Aroma Karsa benar-benar sebuah pengalaman yang menyenangkan, seru, dan membuka mata. Saya sendiri paling suka saat bagian Dwarapala, desa yang berada di Gunung Lawu yang tertutup dari mata manusia. Entah kenapa, sesuatu yang seharusnya horror dan menakutkan (iya, dong, berarti kan orang-orang yang hidup di Dwarapala ini manusia jadi-jadian, bukan manusia beneran), malah terlihat normal dan mengasyikkan. Saya langsung membayangkan film-film kolosal khas Indonesia saat membaca bagian ini.

Saya sebenarnya masih penasaran dengan seluk beluk Puspa Karsa yang konon dikutuk tidak bisa kembali ke wujud manusia. Saya ingin dia dibahas di bab khusus yang diceritakan dari sudut pandang dia sendiri, bukan sudut pandang orang lain. Saya penasaran apa yang si Puspa Karsa ini pikirkan dan inginkan, hehehe.

Untuk tokoh-tokoh di cerita ini, saya suka dengan Arya Jayadi, pacar Suma. Entah kenapa, dari sekian tokoh yang ada di Aroma Karsa, Arya adalah tokoh yang paling netral, tidak punya kepentingan apa-apa selain rasa cintanya kepada Suma, dan paling logis pula.

Kalau Jati, sebagai tokoh utama protagonis, tentu saja karakternya sudah sesuai, ya. Dia tabah, sabar, tetapi tetap punya pendirian. Intinya, sebagai protagonist ya memang sudah sewajarnya seperti itu.

Saya malah nggak terlalu suka dengan Suma dan Raras. Raras, seperti yang saya bilang tadi, terlalu ambisius. Sementara Suma, menurut saya dia labil. 

Untuk tokoh-tokoh sampingan, saya paling suka Khalil Batarfi. Di pertengahan cerita saya sudah menebak sih kalau pasti ada apa-apa antara Khalil dan Raras dan pertemuan Raras dengan Jati bukan hal yang tanpa sengaja. Namun, dengan segala lebih dan kurangnya sifat Khalil, membuat dia terlihat sangat manusiawi dan membuat saya bisa berempati dengan dia. Saya mengerti mengapa dia melakukan ini, mengapa dia melakukan itu.

Satu lagi tokoh yang cukup menghibur walau mungkin terlihat ngeselin bagi tokoh-tokoh di sekitarnya, Iwan Satyana. Dia ini ahli botani yang jelas-jelas memberi pernyataan kalau Puspa Karsa itu dongeng belaka. Dia menganggap Raras berkhayal terlalu jauh sampai-sampai nekat membuat ekspedisi untuk menemukan Puspa Karsa. 

Saya suka celetukan-celetukan nyebelinnya saat mendaki Gunung Lawu, lumayan sebagai penghilang stress dari suasana sekitarnya yang cenderung suram dan deg-degan. Walaupun omongannya saat mendaki gunung sebaiknya jangan ditiru, ya. Karena percaya nggak percaya, saat di tempat-tempat seperti itu sebaiknya kita menjaga omongan dan perbuatan kita.

Oiya, saya baca Aroma Karsa tidak lama setelah kasus seorang pendaki gunung hilang. Jadi, pas cerita sampai di bagian pendakian, saya teringat kasus itu. Kasus yang cukup sering terjadi, pendaki yang hilang dan tidak ditemukan jasadnya. Aroma Karsa seolah-olah meyakinkan kalau desa gaib itu memang ada. Dan orang-orang yang hilang bisa jadi masuk ke desa gaib tersebut.

Ya, tetapi sekali lagi, Aroma Karsa ini kan novel, fiksi. Khayalan seorang penulis yang diracik dengan apik sehingga seolah-olah semua yang terjadi di dalamnya bisa jadi nyata. Karena saya pun sebenarnya ikut penasaran, benar nggak sih ada legenda Puspa Karsa dan Mahesa Guning. Ujung-ujungnya balik lagi, ini kan cuma novel. Hehehe.

Tambahan satu lagi, mengingat beberapa buku Dee sudah difilmkan, saya jadi bertanya-tanya, apakah Aroma Karsa akan diadaptasi ke layar lebar juga? Kalau dalam bayangan saya, sepertinya sih bakal jadi film yang keren. Terutama saat pendakian di Gunung Lawu dan di Desa Dwarapala. Itu bagian favorit saya dan bagian yang saya rasa seru banget saat sudah menjadi film.

Bagi yang selama ini belum membaca karya Dee sama sekali, saya rasa Aroma Karsa bisa menjadi permulaan yang bagus. Bahasanya ringan, deskripsinya bagus, alur ceritanya seru,  dan sama sekali nggak membosankan. 

Saya sendiri kurang terpikat dengan Serial Supernova, entah kenapa. Perahu Kertas bagus, kalau suka dengan cerita romance yang lumayan bergizi. Kumcernya, Rectoverso juga oke. Sementara Madre dan Filosofi Kopi saya belum baca. Pernah baca sih, tapi movie book-nya, gitu. Menumpang baca di toko buku. Itu pun sekilas. Jadi, nggak bisa komentar banyak.

Balik lagi ke Aroma Karsa, menurut saya ini novel yang benar-benar keren dan hampir sempurna! Wajib baca!

Komentar