Penulis:
Jostein Gaarder
Penerjemah:
Ridwana Saleh
Penyunting:
Andityas Prabantoro
Penerbit:
Mizan
Tahun
Terbit: Edisi Ketiga, Cetakan IX, Maret 2018 (Cetakan 1, Edisi 1, Mei 2006)
Halaman:
284
ISBN: 978-979-433-924-4
Nils membeli
sebuah buku yang akan dia jadikan medium surat-menyurat kepada sepupunya, Berit,
yang tinggal di Fjærland, sedangkan Nils sendiri
tinggal di Oslo. Surat pertamanya berisi cerita saat Nils membeli buku-surat
tersebut di sebuah toko buku. Dia diikuti perempuan aneh yang melihat buku
sambil ngiler dan saat ia hendak membayar
buku, perempuan itu malah menawarinya membayarkan buku tersebut. Perempuan itu adalah
perempuan yang sama dengan perempuan yang mengintip mereka saat menulis puisi
di buku tamu Pondok Flatbre.
Berit membalas
surat tersebut dengan cerita bahwa ia menemukan sepucuk surat yang menceritakan
tentang sebuah buku yang sedang ditulis dan akan terbit tahun depan. Surat itu
jatuh dari tas tangan seorang perempuan yang sama dengan perempuan yang
membayari buku-surat yang dibeli Nils. Surat itu menceritakan kalau buku yang
sedang ditulis ini sampulnya bergambar pegunungan seperti sampul buku-surat
mereka dan akan berkisah tentang sebuah perpustakaan ajaib. Dari isi surat
tersebut, Berit yakin perempuan ini bernama Bibbi Bokken.
Kemudian,
buku-surat bergulir antara Nils dan Berit bagai bola pingpong. Topik utama
pembicaraan mereka tentu saja tentang siapa sebenarnya perempuan yang bernama
Bibbi Bokken, apa yang sedang dia lakukan atau persiapkan, dan apakah sebenarnya
mereka (Nils dan Berit) dimanfaatkan oleh perempuan itu untuk sebuah maksud
yang jahat dan tersembunyi melalui buku-surat yang mereka kirimkan?
My Review
“Jika fantasi sama dengan kebohongan, para penulis mestilah merupakan pembohong yang paling antusias. Maksudku, mereka hidup dari situ dan orang-orang dengan sukarela membeli cerita hasil kebohongan mereka.”
Sangat menyenangkan
kembali membaca buku ini. Ya, ini adalah buku pertama dari Jostein Gaarder yang
saya baca lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sekitar tahun 2007 atau 2008,
saya lupa tepatnya. Yang jelas, buku inilah yang membuat saya semakin jatuh
cinta dengan buku-buku dan tertarik dengan karya-karya Jostein Gaarder lainnya.
Saat itu
saya membaca versi pertama atau edisi kesatu terbitan Mizan. Judulnya saat itu
masih Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken saja. Dan menurut saya, judul itu sudah
sangat menarik dengan sampul bernuansa hitam yang misterius. Sekarang judul
utamanya diganti menjadi The Magic Library dan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
sebagai subjudul kecil di bawah.
Jujur saja,
waktu pertama kali baca buku ini dulu, saya buta sekali dengan Norwegia. Saya masih
merasa asing dengan nama-nama tokoh dan tempat-tempat yang disebutkan dalam
cerita ini. Bahkan, saya awalnya nggak ngeh kalau Nils itu nama anak laki-laki.
Saya pikir
Berit dan Nils sama-sama anak perempuan. Saya juga sempat berpikir kalau Bibbi
itu bukan nama, melainkan panggilan ‘bibi’ atau tante seperti di sini dan
namanya perempuan misterius itu Bokken. Baru, deh, beberapa saat sadar kalau
huruf b di kata Bibbi ada dua. Jadi,
namanya Bibbi Bokken. Bukan bibi Bokken. Hehehe.
Walaupun dalam
rangka membaca ulang dan saya sudah tahu misteri di balik Perpustakaan Ajaib,
saya merasa ceritanya masih seseru dan semenarik dulu. Yang membuat menarik
adalah tema pembicaraan kedua anak ini yang tentu saja tidak jauh-jauh dari tema
buku, bibliographer, perpustakaan, penulis, dan hal-hal semacam itu. Para pecinta
buku, baik anak-anak maupun dewasa, pasti suka dengan cerita ini.
“Kurasa, pengarang adalah orang yang egosentris. Pasti mereka senang dipuji.”
Buku ini
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah Buku-Surat. Yaitu, surat-surat
antara Nils dan Berit.
Bagian kedua adalah saat Nils ke Fjærland untuk bertemu dengan Berit dan
bersama-sama membongkar misteri Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Bagian ini
juga diceritakan oleh dua sudut pandang, Nils dan Berit bergantian. Sayangnya,
tidak ada perbedaan font atau apa gitu yang membedakan bagian Nils dan Berit,
hanya jika sudah berganti sudut pandang ada satu spasi yang cukup jauh dari paragraph
ke paragraph. Jadi, pembaca harus jeli sekarang giliran siapa yang sedang
bercerita.
Oh iya,
buku ini pertama kali diterbitkan di negara asalnya tahun 1999. Latar cerita
tahun 1998. Jadi, bisa dimengerti ya mengapa Nils dan Berit masih memakai media
surat-menyurat alih-alih pakai surel atau aplikasi media sosial lainnya. Walaupun
begitu, hal itulah yang membuat cerita ini layak menjadi cerita klasik yang
tidak akan lekang oleh zaman.
Perpustakaan
Ajaib Bibbi Bokken sangat bagus dihadiahkan kepada anak-anak remaja awal
(ABG-lah istilahnya) untuk semakin memupuk kecintaan mereka terhadap kegiatan
membaca. Dan buku ini layak dibaca oleh siapa saja, pecinta buku dan bukan
pencinta buku. Siapa tahu setelah membaca buku ini, jadi beneran jatuh cinta
kepada buku, kan? :)
“Tiba-tiba aku lapar sekali. Bukan lapar akan makanan, melainkan akan segenap kata-kata yang tersembunyi di rak-rak tersebut. tetapi, aku tahu: seberapa banyak aku membaca seumur hidupku, aku tak akan pernah mampu membaca sepermiliar dari seluruh kalimat yang tertuliskan. Sebab, di dunia ini terdapat begitu banyak bintang di langit sana. Dan, kalimat-kalimat akan selalu bertambah dan akan menjadi semakin banyak sepanjang waktu laksana sebuah ruang yang tak pernah berujung.Namun, pada saat itu aku pun tahu bahwa setiap kali aku membuka sebuah buku, aku akan bisa memandang sepetak langit. Dan, jika membaca sebuah kalimat baru, aku akan sedikit lebih banyak tahu dibandingkan sebelumnya. Dan, segala yang kubaca akan membuat dunia dan diriku sendiri menjadi lebih besar dan luas. Selama beberapa saat, aku melongok ke dalam dunia buku yang fantastis dan berdaya magis.”
Komentar
Posting Komentar