Resensi Buku: Inkdeath (Inkheart Trilogy #3)

Penulis: Cornelia Funke
Alih bahasa: Monica D. Chresnayani
Editor: Barokah Ruziati
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Mei 2013 (Cetakan Pertama, Desember 2012)
Halaman: 728
ISBN: 978-979-22-8968-8


Di Inkworld, kehidupan ternyata jauh dari mudah setelah berbagai peristiwa luar biasa Inkspell, ketika Meggie, Mo, dan Staubfinger kembali memasuki dunia di dalam buku. 

Dengan tewasnya Staubfinger dan berkuasanya Pangeran Perak yang kejam, kisah yang memerangkap mereka pun berubah ke arah yang tak diinginkan. 

Bersama kedatangan musim dingin, harapan kembali timbul, tapi hanya kalau Meggie dan Mo dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu dan membuat kesepakatan berbahaya dengan kematian…

My Review

Akhirnyaaa…, sampai juga di buku terakhir. Saya baca Tintentod lumayan lama karena sempat ditinggal membaca berapa banyak buku sampai akhirnya balik lagi membaca buku ini dan berusaha menamatkannya.

Kisah di Tintentod jelas lebih panjang (728 halaman bok!), lebih suram, lebih banyak konflik, dan lebih banyak tokoh yang muncul dengan kepentingan masing-masing.

Terakhir kali di buku Tintenblut, semua anggota keluarga Mo masuk ke Tintenwelt. Meggie, Mo, Resa, Farid, bahkan akhirnya Orpheus pun berhasil masuk ke Tintenwelt. Sebenarnya, Orpheus masuk ke Tintenwelt bukan karena kemahirannya membaca, melainkan karena dipanggil Meggie atas permintaan Farid. 

Setelah Staubfinger menukar nyawa dengan Farid, pemuda itu berusaha melakukan segala cara agar Penari Api kesayangannya kembali lagi, salah satunya dengan memasukkan Orpheus ke Tintenwelt agar bisa ‘membacakan’ cerita yang bisa membuat Staubfinger hidup lagi. Masalahnya, Orpheus punya tujuan sendiri di Tintenwelt.

Sementara itu, Mo dan Resa punya permasalahan sendiri. Di buku ini, Mo lebih banyak berperan sebagai Gagak Biru, sosok perampok sekaligus pahlawan rakyat jelata ciptaan Fenoglio yang kini menjadi buruan Natternkopf karena telah membuatnya kekal dengan Buku Putih, tetapi penyakitan dan tidak bisa melakukan apa-apa (secara fisik).

Inti cerita dari Tintentod yang saya tangkap adalah tentang usaha Mo menyelamatkan kekacauan dan kekejaman yang terjadi di Tintenwelt yang disebabkan oleh berbagai pihak dengan tujuan masing-masing, lebih banyak menginginkan kekuasaan dan kekekalan. 

Jadi, sebelum Mo sekeluarga datang, Tintenwelt bisa dibilang seperti negeri yang kacau balau. Ada intrik politik kerajaan, kekejaman penguasa kepada rakyat kecil, dan segala macam kelaliman lainnya. 

Kekacauan semakin menjadi setelah Fenoglio menghidupkan kembali Pangeran Cosimo, yang diniatkan menjadi pahlawan dan akan mengembalikan kedamaian Tintenwelt tetapi Cosimo sendiri malah tewas dan menimbulkan sumber malapetaka baru (bagian ini ada di Tintenblut).

Belum selesai dengan kekacauan itu, Fenoglio membuat syair dan lagu-lagu tentang Gagak Biru. Mungkin niat awalnya memberi semangat kepada rakyat jelata karena sajak tentang Gagak Biru menggambarkan akan datang seorang pahlawan yang akan menumbangkan raja yang lalim. 

Masalahnya, Fenoglio mendeskripsikan Gagak Biru persis seperti Mo karena dia memang terinspirasi dari Mo, dan Mo tiba-tiba masuk ke Tintenwelt gara-gara Mortola. Jadilah, rakyat Tintenwelt makin percaya kalau Gagak Biru benar ada, bukan sajak semata.

Nah, pokoknya hal itu terus berkembang dan berkembang mencipta berbagai konflik yang membuat buku Tintentod menjadi sangat panjang dan jujur saja, saya sempat merasa lelah membaca buku ini. Hanya karena penasaran dan merasa sayang, ‘masa sih, nggak ditamatin?’ akhirnya saya pun menamatkan buku ini. Meski pada beberapa bagian ada yang saya secara skimming.

Salah satu hal yang sangat disayangkan adalah tokoh favorit saya, Elinor, mendapat jatah sedikit di buku ini. Itu pun isinya kebanyakan cuma ratapan dan sumpah serapah karena masih berada di dunia ini dan tidak masuk ke Tintenwelt. Well, akhirnya Elinor berhasil masuk ke Tintentwelt bersama Darius.

Untuk karakter Meggie, dari awal memang saya tidak terlalu memfavoritkan dia. Akan tetapi, di cerita ini karakter Meggie terasa kurang (atau bahkan tidak) berkembang. Perubahan yang terjadi pada Meggie (yang terasa berbeda bagi saya) adalah perubahan perasaannya kepada Farid.

Omong-omong tentang Farid, saya masih juga belum mengerti dengan tokoh ini. Di Tintentod, rasanya Farid jauh lebih mementingkan Staubfinger ketimbang Meggie. Dia rela menjadi pesuruh Orpheus hanya untuk memastikan Orpheus melakukan apa yang dia inginkan, mengembalikan Staubfinger. 

Masalahnya, Orpheus malah sibuk menciptakan makhluk-makhluk baru dan menghadirkan kekayaan-kekayaan yang tak pernah ada di Tintenwelt ataupun di dunia ini dengan kemahirannya merangkai kata milik Fenoglio dan keajaiban lidahnya.

Masih banyak tokoh-tokoh lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu saking banyaknya dan kurang berkesan juga untuk saya. Yang jelas, dari tiga buku Trilogi Inkheart, buku ketiga alias Tintentod adalah yang kurang favorit bagi saya.

Cerita yang panjang dengan konflik yang banyak dan bercabang, serta tokoh-tokoh yang tak kalah banyak, membuat saya merasa sangat lelah dengan kehidupan di Tintenwelt. Entahlah, mungkin bagi yang menyukai konflik yang rumit dan jelimet akan suka dengan cerita ini.

Secara world building sudah bagus, Cornelia Funke berhasil menghidupkan sebuah dunia baru bernama Tintenwelt yang terasa seperti dunia dongeng (dengan segala peri, manusia kaca, kobold, dan makhluk unik lainnya) yang berbeda dengan dunia-dunia fantasi lainnya, sebut saja Narnia atau Middle Earth. 

Secara penulisan, seperti yang pernah saya sebutkan di Inkheart, kaya dengan kosakata dan metafora yang indah. Hanya, kali ini metafora-metafora jadi terasa agak membosankan karena ceritanya yang panjang.

Apa pun itu, saya tetap senang telah membaca dan memiliki Trilogi Inkheart dan seri ini akan menjadi salah satu koleksi yang akan selalu saya simpan dan pamerkan, wkwkwk.

Omong-omong, saya akhirnya mengerti mengapa Inkheart versi film mengakhiri ceritanya dengan Staubfinger kembali ke Tintenwelt, bertemu dengan Roxane, dan hidup bahagia selamanya di sana. Sementara di dunia ini, Meggie dan Farid bertukar pandang dengan canggung seolah menggambarkan akan ada kisah unyu nan menggemaskan di antara mereka berdua.

Karena kalau sesuai dengan buku aslinya, penonton mungkin akan meminta lanjutan film berikutnya atau mungkin kecewa karena kisah Inkheart tidak semanis dan seindah yang telah dibayangkan. Mungkin…..

Komentar

  1. Saya belum pernah membaca series buku luar negeri. Tapi tampaknya seru juga ya membaca buku series. Kayaknya saya bakal membaca series awal Desember ini, kebetulan ada diskon series di mizanstore. Semoga terkabul membelinya. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin semoga terkabul. Baca buku berseri itu seru kalau serinya sudah tamat, kalau masih gantung jadinya galau, hahaha.

      Hapus
  2. Hum..hum..saya kurang puas dengan ending trilogi ini, tapi bener loh, ketiga buku ini juga masih saya sayang-sayang sampai sekarang, hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama, kurang puas juga sama endingnya. pokoknya dari buku ketiga udah rada males, tapi tetep ditamatin juga :D

      Hapus

Posting Komentar