Penulis:
Cornelia Funke
Alih
bahasa: Dinyah Latuconsina
Editor:
Dini Pandia
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: Januari 2009
Halaman:
536
ISBN:
978-979-22-4271-3
Mo –ayah
Meggie- memiliki kemampuan ajaib. Ia bisa mengeluarkan tokoh-tokoh dari buku
yang dibacanya. Sayangnya, kehadiran mereka ternyata harus ditukar dengan
manusia-manusia di dunia nyata.
Sembilan
tahun yang lalu, Mo membaca Tintenherz. Tanpa sengaja, ia memunculkan berbagai
tokoh jahat buku itu dan membuat ibu Meggie lenyap karena masuk ke buku.
Capricorn dan Basta, dua tokoh jahat dari buku tersebut, lantas menculik Mo
karena ingin Mo memunculkan lebih banyak lagi tokoh jahat dari Tintenherz.
Termasuk sang Bayangan, monster menakutkan yang akan bisa membunuh semua musuh
Capricorn. Capricorn juga menyuruh Mo mengeluarkan harta dari berbagai buku
untuk membiayai kejahatannya di dunia ini.
Maka
bermunculanlah tokoh dari berbagai buku, termasuk Tinker Bell dari buku Peter
Pan, Farid dari Kisah Seribu satu Malam, troll, goblin, bahkan si prajurit
timah.
Situasi
makin rumit karena Meggie ternyata memiliki kemampuan yang sama dengan ayahnya!
My Review
Awalnya,
saya hendak melewatkan buku pertama, Inkheart, dan langsung membaca buku kedua
dan ketiga karena merasa sudah menonton filmnya. Akan tetapi, karena saya
menonton film Inkheart sudah lama dan agak lupa dengan jalan ceritanya,
akhirnya saya putuskan untuk gerilya cari buku Inkheart.
Saya memang
memiliki Inkspell dan Inkdeath terlebih dahulu. Beli tahun 2014 saat ada Gramedia
Fair di CCM dengan harga yang super murah, 35 ribu rupiah saja untuk
masing-masing buku. Kemudian, gerilya cari Inkheart lewat marketplace, karena
yakin di toko buku biasa pasti sudah tidak ada.
Akhirnya
dapat Inkheart cetakan pertama, tahun 2009, masih segel, tetapi pinggirannya
sudah ada bercak kuning. Pembatas buku bagian belakang adalah kalender tahun
2009. Saya beli tahun 2018. Hampir sepuluh tahun yang lalu.
Inti cerita
Inkheart adalah usaha Mo dan Meggie melawan Capricorn yang hendak memanggil
sang Bayangan. Mo dan Meggie kerap berpindah-pindah tempat untuk bersembunyi
dari kejaran anak buah Capricorn.
Sayangnya,
Staubfinger, tokoh yang juga keluar dari Tintenherz mengkhianati Mo dan memberi
tahu keberadaan mereka kepada Capricorn dengan imbalan Staubfinger bisa kembali
ke Tintenherz. Staubfinger memang sangat
ingin kembali ke Tintenwelt, dunia aslinya yang berada di dalam buku, karena
tidak betah tinggal di dunia ini.
Saya sudah
agak lupa dengan film Inkheart, jadi saat membaca buku ini seperti baru pertama
kali mengetahui kisah Inkheart. Walaupun saya tidak bisa menghapus bayangan
Brendan Fraser sebagai Mo dan Helen Mirren sebagai Elinor, tetapi untuk
tokoh-tokoh lainnya, saya punya bayangan sendiri, bahkan untuk Meggie dan
Farid. Saya juga punya bayangan sendiri untuk tokoh Capricorn, Basta, Mortola,
Staubfinger, dan lain-lain.
Hal yang
sangat bagus dan sangat saya sukai dari karya Cornelia Funke adalah ceritanya
yang mengalir. Meskipun ceritanya panjang tetapi tidak membosankan. Untuk hal ini,
saya bukan hanya salut dengan penulisnya, tetapi juga dengan penerjemahnya.
Penulis
juga lihai mendeskripsikan segala sesuatu di ceritanya dengan metafora yang
indah dan cocok. Contohnya,
“Di hamparan rumput juga ada dua obor, membentuk bayang-bayang yang gemetar di tengah malam, menari-nari bagai beberapa pelayan yang khusus dipanggil Staubfinger dari dunia yang gelap untuk datang ke acara malam ini. Staubfinger berdiri bertelanjang dada. Kulitnya pucat seperti sinar bulan yang saat itu tepat berada di atas atap rumah Elinor, seolah bulan pun datang untuk menyaksikan pertunjukannya.”
Itu hanya
salah satu contoh. Masih banyak metafora-metafora lain yang bikin saya
terkagum-kagum dan bertanya-tanya bagiamana cara penulis menggambarkan itu
semua? Saya harus banyak belajar dari Cornelia Funke.
Tokoh yang
paling saya sukai di cerita Inkheart bukan Mo atau Meggie, tetapi Elinor. Bibi
ibunya Meggie yang kolektor buku. Rumah Elinor digambarkan hampir seperti
perpustakaan. Isinya buku dan buku. Elinor bahkan menganggap buku-buku itu
adalah anaknya yang harus dijaga dan dirawat sepenuh hati. Mo dan Meggie sempat
bersembunyi di rumah Elinor sebelum ketahuan oleh anak buah Capricorn.
Yang bikin
saya suka dengan Elinor adalah sumpah serapahnya yang lucu. Beneran! Kesan
awalnya Elinor tuh seperti wanita tua judes dan pemarah. Ternyata aslinya dia
baik hati walaupun tetap suka ngomel-ngomel. Omelan panjang lebarnya saat
tertangkap dan dikurung oleh anak buah Capricorn benar-benar menjadi hiburan
tersendiri. Pokoknya, dari segala tokoh yang ada di Inkheart, Elinor yang
paling berkesan untuk saya.
Waktu
membaca Inkheart, saya merasa cerita ini sudah panjang. Oh, tetapi tunggu dulu.
Petualangan Meggie dan Mo belum berakhir. Saat saya membaca Inkspell, ternyata
lebih panjang lagi. Dan sepertinya akan sulit mereview Inkspell tanpa ada
sedikit ‘kebocoran’ dari cerita Inkheart.
Jadi, untuk itu, saya sudahi dulu review Inkheart dan beralih ke review
Inkspell.
Tosss, saya juga suka Elinor #TimBibiElinor.
BalasHapusBtw, film sama bukunya jauh beda kalau tak salah ingat yak. Tapi sama-sama bagus.
Saya dulu waktu mengoleksi trilogi ini berasa senang banget karena covernya cantik XD
Iya, filmnya beda sama novelnya. yang paling kerasa sih pas bagian akhir. Iya, covernya cantik, makanya suka. apalagi tebel gitu, kan, warnanya ngejreng semua :D
Hapus