Penulis:
Cornelia Funke
Alih
bahasa: Dinyah Latuconsina & Monica D. Chresnayani
Editor: Barokah
Ruziati
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Tahun
Terbit: Cetakan Kedua, Mei 2013 (Cetakan Pertama, Juni 2012
Halaman: 680
ISBN:
978-979-22-8426-3
Meskipun
satu tahun telah berlalu, tak sehari pun Meggie melupakan berbagai peristiwa
luar biasa dalam Inkheart, cerita yang tokoh-tokohnya keluar dari buku lalu
mengubah hidup Meggie selamanya.
Sedangkan
bagi Staubfinger, kebutuhan untuk kembali ke dalam cerita yang asli sekarang
berubah menjadi keharusan. Ketika ia menemukan pencerita jahat yang memiliki
kemampuan magis untuk membuatnya kembali ke cerita, Staubfinger pun
meninggalkan Farid, muridnya yang masih muda, dan terjun ke Inkworld.
Farid lantas
mencari Meggie dan mereka menemukan jalan untuk ikut masuk ke cerita. Di sana
keduanya bertemu Fenoglio, penulis kisah asli Inkheart, yang sekarang tinggal
di dalam ceritanya sendiri –dan mendapati cerita itu berubah banyak, malah
mungkin berkembang menjadi sesuatu yang tak pernah dibayangkannya.
Bisakah
Meggie, Farid, dan terutama Fenoglio mengembalikan cerita ini ke jalur semula?
My Review
Seperti
yang saya bilang di review Inkheart, akan sulit mereview Inkspell tanpa spoiler
cerita Inkheart. Jadi, yah, bagi yang tidak ingin kena spoiler boleh
meninggalkan tulisan ini, hehehe.
Setelah Mo dan
Meggie berhasil melenyapkan Capricorn berkat tulisan tambahan dari Fenoglio
yang dibaca Mo, mereka berdua plus Elinor bisa pulang ke rumah dengan selamat.
Oh, tentu saja bersama Resa, ibunya Meggie, yang selama ini tinggal di markas
Capricorn dan dipaksa menjadi budak.
Ikut pula bersama mereka Darius, sang
pembaca yang memiliki kemampuan yang sama dengan Mo, yang tadinya bekerja
dengan Capricorn. Namun, Darius ini orang yang mudah gugup dan gagap.
Tokoh-tokoh yang keluar dari bacaannya sering tidak sempurna, termasuk Resa
yang terpaksa kehilangan suaranya saat dikeluarkan lagi dari Tintenherz.
Meggie, Mo,
Resa, Elinor, dan Darius hidup tenang dan nyaman di rumah Elinor. Namun sayang,
itu tidak bertahan selamanya. Tiba-tiba Farid datang dan mengabari kalau
Staubfinger berhasil masuk ke Tintenwelt berkat bacaan Orpheus, seorang pembaca
yang punya kemampuan yang sama dengan Mo. Orpheus berhasil memasukkan
Staubfinger kembali dengan merangkai ulang kata-kata yang sudah ada di
Tintenherz.
Mendengar
hal itu, Meggie yang selama ini begitu ingin berkunjung ke Tintenwelt, merasa
tertantang untuk memasukkan dirinya sendiri ke dalam cerita Fenoglio. Setelah
beberapa kali mencoba menulis ulang cerita Fenoglio seperti yang dilakukan
Orpheus, Meggie dan Farid berhasil masuk ke Tintenwelt, menyisakan kekecewaan,
kekhawatiran, dan kesedihan bagi orangtuanya dan Elinor.
Tak lama
setelah Meggie menghilang, Basta, anak buah Capricorn, dan Mortola, ibu
Capricorn, datang ke rumah Elinor bersama Orpheus untuk mencari Meggie. Tentu
saja mereka tidak menemukan gadis itu. Mortola berniat kembali ke Tintenwelt
bersama Basta dan membalaskan dendam Capricorn di sana. Sebelum pergi, Mortola
sempat menembak lengan Mo. Saat Mortola dan Basta masuk ke cerita Tintenherz
yang dibacakan Orpheus, Resa dan Mo ikut masuk juga. Tinggalah Elinor, Darius,
dan Orpheus di rumah Elinor.
Itu saja
awalan cerita Inkspell karena kalau dilanjutkan terus ya pasti panjang banget.
Intinya, yang bikin cerita ini panjang sekali karena setiap tokoh mendapat
porsi cerita yang hampir sama banyak.
Pertama,
pembaca disuguhi kisah Staubfinger, mulai dari pertemuannya dengan Orpheus
sampai berhasil masuk ke Tintenwelt. Itu saja sudah membutuhkan beberapa bab
sendiri.
Kedua,
pembaca disuguhi kisah Farid dan suasana di rumah Elinor sampai akhirnya Farid
dan Meggie berhasil masuk ke Tintenwelt.
Ketiga,
bagian Mo dan Resa masuk ke Tintenwelt.
Keempat,
kisah dari orang-orang di Tintenwelt itu sendiri. Ada kisah Fenoglio yang hidup di
cerita yang ditulisnya sendiri. Kisah kaum berwarna, kisah kerajaan Ombra, kisah
Natternkopf. Belum lagi dari sisi Elinor dan Darius yang ketinggalan di
rumahnya, nggak ikut masuk ke Tintenwelt. Banyak bangetlah pokoknya.
Anehnya,
meskipun tokohnya banyak, saya nggak kesulitan mengingat mereka semua. Mungkin
karena porsi masing-masing tokoh hampir sama, jadi ya keinget semua. Dan setiap
tokoh yang muncul memang ada sangkut pautnya dengan cerita. Walaupun, yaaa… itu
dia, ceritanya panjaaang banget.
Baca
Inkspell mesti sabar-sabar. Untunglah kelihaian penulis dalam mendeskripsikan
segala sesuatu masih sebagus saat membaca Inkheart, bahkan mungkin lebih bagus
lagi. Dunia Tintenwelt dan orang-orang di dalamnya terasa sangat nyata.
Petualangan Meggie dan Farid, kesakitan Mo dan penderitaan Resa, semuanya
benar-benar terasa real.
Jujur, saya penasaran bagaimana penulis membuat draft
cerita ini. Apa mungkin cerita fantasi memang lebih seru dan jadi lebih bagus
kalau panjang, ya? Buktinya, seri Harry Potter juga panjang, kan?
Lanjut lagi
ke Tintenblut alias Inkspell. Saya lebih suka pakai istilah aslinya yang
depannya Tinten-Tinten itu ketimbang versi terjemahannya. Bagi yang belum
terlalu ngeh, buku karya Fenoglio judulnya Tintenherz, sedangkan dunia yang
diciptakan Fenoglio itu namanya Tintenwelt. Nah, judul buku ini Tintenblut,
buku ketiganya Tintentod. Perbedaannya bisa dimengerti, kan? Hehehe.
Tokoh
favorit saya masih sama, Elinor. Sayang, di Tintenblut, bagian Elinor tidak
terlalu banyak. Sepanjang cerita, seusai Meggie, Farid, Resa, dan Mo pergi ke
Tintenwelt, Elinor bersedih terus. Yaiyalah, kalau jadi Elinor saya juga
bakalan sedih. Sama-sama tahu cerita Tintenherz terus semua keluarganya masuk
ke sana, tinggal dia sendiri di rumah. Mending ikut masuk ke Tintenwelt meski
itu harus mempertaruhkan nyawa daripada merana di rumah memikirkan apa yang
terjadi dengan mereka dan nggak bisa apa-apa.
Untuk
orang-orang yang ada di Tintenwelt, nggak ada yang favorit banget, sih, kecuali
mungkin Pangeran Hitam. Saya membayangkan dia orangnya gagah, keren, berwibawa,
begitu (agak bias sama yang memerankan tokoh Black Panther, sih, hahaha). Saya juga suka sikapnya yang sangat peduli dan bertanggung jawab pada
Kaum Berwarna.
Saya masih
nggak terlalu suka Staubfinger dan Fenoglio. Saya juga nggak terlalu suka
banget dengan Meggie atau Farid, ya normal-normal sajalah. Mereka cukup oke,
tetapi tidak semengesankan Elinor.
Saat
membaca cerita ini, ada beberapa hal yang bikin saya bertanya-tanya.
Pertama,
saya bingung dengan perasaan Farid ke Staubfinger. Dia menganggap Staubfinger
tuh apa, sih? Guru? Ayah? Sahabat? Atau apa? Farid sedih banget saat nggak bisa
ikut Staubfinger ke Tintenwelt, oke itu masih normal. Tetapi cemburu saat
melihat Staubfinger bersama istrinya, Roxane? Itu aneh.
Namun,
Farid juga digambarkan suka dengan Meggie. Bukan suka, cinta malah. Di cerita
ini bagian Farid dan Meggie ciuman lumayan banyak yang menurut saya, okelah
bisa dimaklumi karena Meggie juga suka dengan Farid. Sekali lagi, yang saya
bingungin tuh perasaan Farid ke Staubfinger.
Di bagian
akhir, (ini spoiler banget sih, tetapi karena dari awal juga sudah spoiler,
jadi lanjut saja, deh), Farid sempat mati. Hal itu cukup bikin saya kaget dan
nggak nyangka banget. Namun, kematian Farid ditukar dengan kematian
Staubfinger.
Staubfinger
sengaja memanggil Perempuan-Perempuan Putih (semacam malaikat maut di dunia
Tintenwelt) dan menukar nyawa Farid dengan nyawanya. Pas Farid bangun dan
mendapati Staubfinger tak bernyawa, tentu dia sedih banget.
Saya ambil
kesimpulan, yah mungkin ada perasaan khusus antara Farid dan Staubfinger yang
tak bisa didefinisikan dengan hubungan yang saya pahami.
Kedua,
masih berhubungan dengan Staubfinger juga. Kalau pertama saya bingung dengan
perasaannya Farid kepada Staubfinger, selanjutnya saya bingung dan agak kesal
dengan perasaan Staubfinger kepada Resa.
Di cerita
awal, Inkheart, dikisahkan Staubfinger sering diam-diam menyusup ke markas
Capricorn dan berkabar dengan Resa yang saat itu menjadi budak Capricorn. Bisa
dibilang, Resa membantu Staubfinger dengan memata-matai kegiatan Capricorn.
Selama sepuluh tahun itu, Staubfinger mungkin diam-diam menyimpan rasa pada
Resa.
Saat
mengetahui Resa ternyata istri Mo dan ibu Meggie serta Staubfinger masih juga
berkeliaran di dunia ini dan belum kembali ke dunia asalnya, masih wajarlah
jika perasaan itu belum sepenuhnya luntur. Akan tetapi, setelah berhasil
kembali ke Tintentwelt dan bertemu kembali dengan Roxane, istrinya, bukankah
seharusnya Staubfinger tidak perlu lagi memikirkan Resa?
Apalagi, tampaknya
Resa dari dulu setia banget dengan Mo. Bahkan, saat Mortola dan Basta datang ke
rumah Elinor, dia nggak melepaskan tangan Mo sehingga Resa ikut terbawa ke
Tintenwelt.
Okelah,
untuk beberapa orang hal semacam itu kerap terjadi, sudah punya istri yang
cantik jelita, tetapi masih menyimpan rasa kepada istri orang. Itulah hal yang
bikin saya nggak terlalu simpati dengan Staubfinger. Walaupun dia menyayangi
Meggie dan membantu Mo dalam beberapa hal. Sorry, Staubfinger.
Sepertinya
itu dulu untuk review Inkspell atau Tintenblut. Di review ini sudah banyak
spoiler. Di buku terakhir, mungkin saya akan lebih menjaga agar tidak terlalu
banyak spoiler bertebaran, hehehe.
Wkwkwkwkwk, saya juga merasa aneh sama perasaan Farid ke Staubfinger itu, somehow, terasa terlalu berlebihan untuk ukuran hubungan antara murid dan guru.
BalasHapusSama banget, saya juga rada ilfil saat tahu perasaan Staubfinger ke Resa. Secara teringat difilmnya kan Staubfinger kepingin banget balik ke dunianya karena ingin bertemu istrinya.
Iya benerrr, akhirnya nemu sama yang sepemikiran juga, tentang Farid & Staubfinger :D
Hapus