Penulis:
Jostein Gaarder
Penerjemah:
A. Rahartati Bambang
Penyunting:
Andityas Prabantoro
Penerbit:
Mizan
Tahun
Terbit: Edisi Ketiga, Cetakan 1, Februari 2019
Halaman:
264
ISBN: 978-602-441-095-7
Sejak
kecil, Petter lebih suka menyendiri di dalam dunia yang dia ciptakan. Dia
terobsesi dengan cerita-cerita, terutama dengan Panina Manina, sang Putri
Sirkus yang dikarangnya sendiri. Hingga dewasa pun, imajinasinya terus
merajalela. Tak heran dia dijuluki Petter “si Lab-Laba”.
Tetapi,
Petter membenci ketenaran dan tak mau memublikasikan tulisannya. Dia memilih
menciptakan Writer’s Aid, sebuah program yang didesain untuk menyediakan
cerita-cerita bagi pengarang-pengarang internasional yang mengalami kebuntuan
ide.
Meskipun
programnya ini pada awalnya sangat sukses, Petter akhirnya terjebak dalam
jaring yang ditenunnya sendiri. Skandal memalukan dalam dunia sastra
internasionl perlahan-lahan terkuak dan nyawa Petter terancam oleh
pengarang-pengarang besar yang ingin menyelamatkan nama baik mereka. Tak
disangka, kehancuran Petter ternyata bersumber dari perbuatannya di masa lalu.
My Review
Entah
kenapa, setelah membaca buku ini, saya teringat dengan The Puppeteer. Padahal,
kalau dilihat dari tahun terbit versi aslinya, lebih dulu Princess of Tales
ketimbang The Puppeteer. Dan sebenarnya, setelah membaca beberapa buku karya
Jostein Gaarder, memang ada beberapa kemiripan pada tokoh-tokoh utamanya atau
caranya bercerita. Namun, itu untuk pembahasan nanti.
Lanjut ke
Princess of Tales dulu. Princess of Tales sebelumnya diterbitkan Mizan dengan
judul Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng. Edisi bahasa Indonesia terbit
pertama kali tahun 2006, sedangkan judul bahasa Inggrinya, The Ringmaster’s
Daughter (Putri Pemimpin Sirkus), diterbitkan pertama kali tahun 2001.
Saya lebih suka judul pertama pilihan Mizan, Putri Sirkus dan Lelaki Penjual
Dongeng karena terdengar fairytale sekali. Akan tetapi, setelah saya
perhatikan, sepertinya Mizan memang melakukan semacam penyeragaman untuk
judul-judul Jostein Gaarder. Gadis Jeruk diubah jadi The Orange Girl,
Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken diubah jadi The Magic Library. Cecilia dan Malaikat Ariel
diubah menjadi Dunia Cecilia, mungkin biar seragam dengan Dunia Sophie dan
Dunia Anna.
Kembali ke
kisah Petter, dia ini memiliki kepribadian yang unik. Petter memiliki imajinasi yang
berlimpah dan kemampuan mengolahnya menjadi novel, cerpen, puisi, prosa,
sandirawa radio, atau skrip film, tetapi dia tidak berminat sama sekali untuk
terjun ke dunia tersebut. Petter mengaku dia tidak sabar dalam menyusun suatu
karya karena dia memiliki terlalu banyak ide di kepala yang harus dikeluarkan
dan ia memang tidak berminat menjadi terkenal.
Petter juga
orang yang rapi dan apik. Semua idenya ditulis dan diklasifikasi berdasarkan
laku atau tidaknya ide tersebut dijual kepada penulis. Dia juga mencatat dan
mengumpulkan fotokopi perjanjian dan kwitansi mengenai penjualan idenya. Setelah ada perekam suara, Petter juga merekam pembicaraannya dengan para
penulis yang memakai idenya untuk berjaga-jaga. Semua dokumen tersebut ia
simpan di brankasnya di bank.
Petter
sangat hati-hati dalam memilih calon kliennya. Dia membawa ide yang hendak
dijual dan mempehatikan targetnya. Targetnya harus sesuai dengan ide yang dia
punya karena kalau tidak cocok, ide brilian itu akan sia-sia saja.
Petter juga
lihai dalam memerangkap targetnya. Dia tidak terang-terangan mengatakan ia
memiliki ide yang bisa digunakan si penulis dengan membayar sejumlah uang,
tetapi Petter mengajak mengobrol dulu. Mengendalikan percapakan mereka sehingga
akhirnya si penulis tahu Petter memiliki ide yang sangat cemerlang dan bisa dia
pakai sebagai bahan tulisannya. Dan dengan kelihaian Petter, dia berhasil
membuat si penulislah yang meminta Petter menjual idenya, bahkan meski saat itu
Petter yang sebenarnya sangat membutuhkan uang.
Latar
belakang Petter sedikit mirip dengan Jakop Jacobsen di The Puppeteer. Petter
hanya tinggal berdua dengan ibunya. Orang tuanya bercerai saat ia berumur tiga
tahun. Akan tetapi, Petter masih bisa bertemu dengan ayahnya beberapa waktu
sekali.
Dalam
cerita ini, Petter menceritakan kisah hidupnya dimulai sejak ia masih kecil.
Kemudian, saat masa sekolah, untuk pertama kalinya dia menggunakan
kepintarannya untuk bertransaksi dengan teman-temannya. Petter tidak keberatan
mengerjakan tugas-tugas sekolah temannya dengan bayaran tertentu.
Sejak
kecil, Petter juga cerdik, dia tidak membuat jawaban bernilai A kepada teman
yang biasa mendapat nilai C atau D. Dia mau membuat jawaban bernilai A jika dia
lihat anak itu memang pantas mendapat nilai A dan pintar mengurangi kualitas
jawabannya sendiri menjadi A- agar anak itu mendapat nilai A.
Petter
hidup sendiri, seperti juga Jakop, tetapi ia tidak pernah menikah sama sekali.
Petter tidak berniat terikat dengan seseorang. Setiap malam dia ditemani gadis
yang berbeda sampai ia bertemu dengan Maria. Jika ada orang yang membuat Petter
ingin menikah dan menghabiskan waktu hingga sisa umur itu adalah Maria.
Sayang,
kepribadian Maria mirip seperti Petter yang tidak ingin terikat. Namun, Maria
memiliki satu permintaan. Dia ingin memiliki anak dari Petter, tetapi setelah
itu dia pergi dan tidak akan menemui Petter lagi. Petter juga tidak boleh
mencari tahu keberadaan Maria atau anak mereka. Maria bahkan tidak memberi tahu
Petter nama anaknya.
Saat anak
Maria dan Petter berusia tiga tahun, mereka bertemu lagi. Anak mereka
perempuan, Maria memanggilnya Poppet. Tentu saja itu bukan nama asli. Maria
sama sekali tidak mengizinkan Petter mengetahui apa pun tentang hidupnya atau
anaknya.
Mereka bertiga piknik di tepi danau dan saat itulah Petter
menceritakan dongeng yang paling dia sukai sejak kecil. Dongeng yang pernah
diceritakan kepada ibunya, dongeng yang juga diceritakan kepada Maria, dan kali
ini kepada putrinya. Dongeng tentang seorang Putri Sirkus bernama Panina
Manina.
Hal yang
menarik dari novel ini adalah dunia penulis yang dibeberkan oleh Jostein
Gaarder. Lewat karakternya, Petter, Gaarder membagi penulis dalam tiga
kategori.
Penulis yang jujur, mereka orang yang tidak mau menggunakan jasa
Petter.
Penulis yang kehabisan ide, biasanya penulis yang pernah menerbitkan
buku, tetapi beberapa tahun kemudian mereka belum memiliki karya lagi. Penulis
seperti inilah yang biasanya menjadi langganan Petter. Penulis ini juga terbagi
lagi menjadi dua, penulis yang cukup diberi ide atau garis besar dan bisa
menyusunnya sendiri dan penulis yang membutuhkan draft lengkap dan banyak
penjelasan tambahan serta bimbingan agar dapat menulis dengan lancar.
Terakhir
adalah calon penulis yang merasa bisa menulis tetapi belum pernah menerbitkan
satu karya pun. Kategori terakhir ini pun terbagi lagi menjadi dua. Ada yang
akhirnya bisa menjadi penulis dan ada yang Petter lihat memang tidak memiliki
kemampuan menulis. Untuk jenis terakhir ini, secara halus Petter memberi tahu kalau
masih ada banyak profesi lain di dunia ini selain menjadi penulis. Tidak semua
orang harus menjadi penulis.
Masih
banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan penulis, dunia kepenulisan, dan
penerbitan yang dibahas di buku ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Selain kisah hidup Petter, ada pula beberapa dongeng milik Petter
yang ikut dicantumkan dalam cerita ini.
Setelah
membaca kisah Petter, saya jadi kepikiran untuk merapikan ide-ide dan
draft-draft yang pernah saya buat. Bukan untuk dijual seperti Petter (siapa
pula yang mau beli, hahaha), tetapi untuk disimpan secara teratur mirip-mirip klasifikasi
Petter. Menurut Petter, tidak semua ide harus dan layak untuk ditulis.
Sepertinya, itu memang benar.
Terakhir adalah beberapa kutipan dari Princess of Tales yang saya suka:
Saya tidak merasa kesepian sampai ada sesuatu yang layak dirindukan. Kesepian dan kerinduan adalah dua sisi mata uang yang sama.
Dan kutipan yang cukup panjang, karena menurut saya dua paragraf di bawah ini menarik sekali untuk kita cermati, terutama bagi yang tertarik atau terjun di dunia kepenulisan. :)
Banyak
pemula kekuarangan sesuatu yang sangat mendasar, contohnya pengalaman hidup.
Inilah miskonsepsi postmodern: Anda dapat terlebih dahulu menulis dan hidup
sesudahnya. Namun, banyak anak muda yang ingin menjadi penulis terutama karena
mereka ingin dapat hidup seperti penulis. Ini ibarat meletakkan pedati di depan
kuda penarik. Anda harus terlibh dahulu hidup, kemudian sesudahnya barulah
memutuskan apakah Anda punya sesuatu untuk disampaikan. Kehidupan itu sendiri
adalah sebuah faktor yang sangat menentukan. Menulis adalah buah kehidupan.
Kehidupan bukan buah dari penulisan.
Ketika
siapa saja yang minum bersama saya mengatakan bahwa mereka “pernah menulis”
atau “ingin menulis”, terkadang saya bertanya cerita apakah yang hendak mereka
tulis. Pada umumnya mereka tidak bisa memberikan jawaban. Saya merasa hal ini
membingungkan. Bahkan, saat itu –dan sejak itu semakin menjadi-jadi- saya
merasa ada sesuatu yang lucu dengan cara masyarakat melahirkan orang yang
sanggup dan sekaligus ingin menjadi penulis, tetapi tak mampu memberikan
sesuatu pun. Mengapa orang-orang ingin “menulis” jika secara terbuka dan jujur
mereka mengakui tidak memiliki sesuatu apa pun untuk disampaikan? Tak dapatkah
mereka melakukan sesuatu yang lain? Apa artinya hasrat untuk melakukan sesuatu
jika tidak berbuat apa pun?
Komentar
Posting Komentar