I am Sarahza; Di Mana Ada Harapan, Di Situ Ada Kehidupan

Penulis: Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Editor: Iqbal Santosa

Penerbit: Republika

Tahun Terbit: Cetakan II, Juni 2018

Halaman: 368

ISBN: 978-602-573-421-2

 


Manusia bilang di mana ada kehidupan, di situ ada harapan. Tetapi bagiku, ruh yang telah dinasibkan di Lauhul Mahfuzh, selama manusia memelihara harapan, maka aku akan selalu hidup.

Dari Alam Rahim, aku menyaksikan bagaimana kedua orangtuaku jatuh bangun memperolehku. Melewati puluhan terapi, menghadapi ratusan jarum suntik, sayatan pisau operasi, berkali inseminasi, dan gagal bayi tabung, bahkan sampai menuai badai depresi.

Meski segala ilmu manusia akhirnya bertekuk lutut pada Pencipta Ilmu Segala Ilmu, kedua orangtuaku tak menyerah. Bahkan, setelah Ibu menjadi ‘tak sempurna’ karena upayanya.

Tahukah apa yang membuat Pencipta bisa luluh pada hamba-Nya? Dengan segala usaha dan penyerahan diri sepenuhnya, takdirku ke dunia diantarkan oleh ribuan malaikat yang bersujud pada manusia-manusia yang sabar dan berupaya.

Inilah kisahku. I am Sarahza.

My Review

Sebelum mengulas I am Sarahza, izinkan saya mengingat kembali buku karya Hanum Rangga yang pernah saya baca. Meskipun mereka sudah menerbitkan beberapa buku, saya baru membaca buku pertama mereka yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa. Itu pun pinjam punya perpus kampus saat masih kuliah dulu.

Setelah membaca I am Sarahza, saya baru mengetahui bahwa bisa dibilang, I am Sarahza adalah kisah dibalik lahirnya novel-novel best seller Hanum Rangga sebelumnya. Jadi, novel-novel best seller mereka (yang kemudian diadaptasi ke layar lebar), merupakan salah satu cara untuk ‘mengisi waktu’ sambil berikhtiar memperoleh momongan.

Yang unik dalam novel I am Sarahza adalah naratornya. Sang narrator adalah Sarahza sendiri, yang saat itu masih berwujud suatu zat di Lauhul Mahfuzh. Novel ini menggambarkan calon-calon nyawa yang akan ditiupkan di dalam rahim berada di Lauhul Mahfuzh, menunggu takdir Allah dan keinginan manusia. Salah satu calon nyawa itu adalah Sarahza (saat itu belum bernama dan memakai sudut pandang Aku) yang ‘sudah ditakdirkan’ menjadi anak dari Hanum dan Rangga.

Intinya, sih, kalau yang berusaha disampaikan di buku ini adalah Allah sudah menakdirkan sepasang manusia untuk memiliki anak. Calon nyawa anaknya sudah ada di Lauhul Mahfuzh, tetapi kapan dan bagaimana cara sampai nyawa itu ditiupkan di Rahim, juga ada sedikit campur tangan sang manusia. Apakah sang manusia benar-benar menginginkannya, berikhtiar, dan berdoa memohon sepenuh hati atau malah ogah-ogahan dan merasa tidak perlu.

Kalau diceritakan dari sudut pandang Sarahza, saat orangtuanya mulai kehilangan harapan atau muncul keinginan untuk menyerah dan tidak ingin lagi berusaha memiliki anak, dia meredup dan merasa dingin. Tetapi ketika orang tuanya berusaha dan berdoa sepenuh hati, dia akan menyala terang.

Lanjut ke isi novel….

Cerita dibuka saat Hanum Rangga tinggal di Austria, tepatnya di Linz, dan mereka baru saja melakukan program inseminasi. Sayangnya, program itu berakhir gagal.

Kemudian, cerita bergerak mundur dari saat Hanum Rangga pertama kali bertemu, memutuskan menikah, sampai akhirnya Hanum ‘terpaksa’ menemani suaminya kuliah di Wina.

Novel ini diceritakan dari tiga sudut pandang, Sarahza, Hanum, dan Rangga. Untuk sudut pandang Hanum dan Rangga, ‘suara’ mereka terkesan sama. Jadi, kalau nggak teliti kadang saya mengira ini Hanum yang sedang cerita, ternyata Rangga.

Saat membaca cerita ini, rasanya saya seperti mengikuti kehidupan pernikahan Hanum dan Rangga dan usaha mereka untuk memperoleh anak. Saya yakin banget, kalau yang baca buku ini adalah perempuan-perempuan yang setelah menikah langsung hamil, pasti langsung banyak-banyak bersyukur dengan kemudahan tersebut. Dan bagi saya yang ‘baru’ empat tahun menunggu , saya langsung merasa apa yang saya lakukan benar-benar nggak ada apa-apanya dengan apa yang dilakukan Hanum dan Rangga.

Banyak sekali bagian bagus di buku ini yang layak untuk dibahas, tetapi nanti takut spoiler. Bahkan, meskipun saya tahu akhirnya mereka akan punya anak yang diberi nama Sarahza, tetap saja hati ini ikut hancur lebur saat mereka gagal berkali-kali. Sampai saya seolah-olah bisa memahami kenapa Hanum sampai depresi dan berkelakuan ‘aneh-aneh’.

Kedua orangtua Hanum juga sangat berperan dalam ikhtiar mereka memperoleh anak. Saya paling suka saat bapaknya Hanum (Amien Rais tentu saja) memberi nasihat seperti ini kepada anaknya yang sedang dilanda badai depresi.

Kurang lebih ini adalah nasihat Amien Rais kepada Hanum:

Satu, jaga shalatmu. Shalat itu dibilang tiang agama, tapi juga tiang hidup seseorang. Kamu bisa terseret angin, terpelanting, terombang-ambing, tapi selama tiangmu kuat, peganganmu kuat, Insya Allah kamu akan baik-baik saja. Kalau hatimu saat mendengar adzan ada getaran, kamu merasa bahagia ketika shalat, bukan lagi merasa kewajiban melainkan kebutuhan, itu artinya shalatnya benar. Gerakan sujud dalam shalat bisa menentramkan hati, saat kepala kita lebih rendah dari bagian tubuh mana pun. Saat ego kita diletakkan lebih rendah dari apa pun.

Dua, Al-Qur’an itu dibaca dan diresapi, jangan hanya dijadikan pajangan rak. Dibaca nyaring biar aura rumahmu terkena pesonanya, rasanya di tubuh juga lebih plong, lega. Malaikat juga berbondong-bondong ikut mendengarkan. Al-Qur’an itu obat dan sahabat. Kalau kamu merasa sendiri, ya dia itu sahabatmu sejati.

Tiga, gunakan waktu luang, bahkan ketika kamu melamun dengan zikir. Kalau Bapak, paling suka tahlil dan istighfar. Zikir yang sepenuh hati, disusupkan ke liang-liang kalbu. Layaknya gelas berisi air penuh, perasaan kita, kekuatan pikiran kita, lama-lama akan habis kalau dituang. Nah, zikir itu ‘mengisi ulang gelas’. Jangan tunggu sampai separuh terpakai, apalagi setetes, bahaya. Zikir terus-menerus selagi sempat, biar ‘gelas’ kita selalu penuh.

Dan beberapa kutipan yang berkesan bagi saya:

Sedekah itu melegakan hati. Bonusnya, membersihkan harta plus pikiran dan kecemasan secara langsung.

Gambaran proses inseminasi:

Pembuahan sel telur oleh sperma itu baru tantangan pertama. Tantangan kedua adalah perjalanan sel telur dan sperma yang telah bersatu melewati tuba falopii menuju rongga rahim dan menempel di sana. Tantangan terakhir adalah perjalanan janin itu bertumbuh hingga melahirkan. Dalam inseminasi kita akan merekayasa tantangan pertama agar wuzz… sperma langsung bertemu sel telur tanpa harus melalui jalan berkelok-kelok.

Pengakuan Hanum saat menemui kegagalan untuk ke sekian kalinya:

Berkali-kali gagal dalam program bukan berarti kegagalan berikutnya lebih gampang dijalani. Ini tak sama rasanya dengan bayi yang berjibaku belajar berjalan, bocah jatuh bangun belajar sepeda, atau bahkan Ibu membuat protesa gigi untuk pasien-pasiennya dulu yang tidak nyaman, lalu ia bisa mengulang terus sampai pasiennya mengatakan puas.

Kegagalan pada umumnya memupuk rasa penasaran dan membuat piawai dalam usaha berikutnya. Tetapi, rasa yang dihadapi atas kegagalan punya anak justru seperti menyusun ketakutan ke tingkat lebih tinggi dan mengenyahkan rasa penasaran.

 

Buku ini sangat layak dibaca bagi yang sedang berusaha memperoleh momongan (biar merasa punya teman, mendapat motivasi, dan sedikit gambaran tentang beda inseminasi dan bayi tabung), juga bagi siapa saja yang ingin mendapat bacaan bagus tentang ikhtiar manusia. Selamat membaca!

Komentar