Opini: Mengapa Tidak Menamatkan Sebuah Buku?

Sebagai pembaca buku, pasti ada beberapa buku yang saat dibaca tak semenarik perkiraan kita. Buku yang ternyata tidak bikin kita penasaran, malah bikin mengantuk, bosan, dan akhirnya menutup buku tersebut.

Saya pernah beberapa kali merasakannya. Dulu, waktu koleksi buku saya masih sedikit, walaupun bukunya bikin saya bosan dan nggak tertarik, saya tetap usahakan membaca buku tersebut sampai selesai hanya karena belum ada bacaan lain atau merasa sayang karena sudah menabung lama dan membelinya. Untungnya, alasan terakhir hampir nggak pernah terjadi karena biasanya buku yang nggak menarik itu adalah buku-buku obralan.

Setelah bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, timbunan buku tak terasa makin menggunung, sedangkan waktu membaca semakin sedikit. Waktu awal-awal bekerja, mungkin saya kena euphoria bisa beli buku sendiri dengan bebas, jadi sering kalap membeli buku (apalagi buku diskon dan obral), tanpa terlalu mempertimbangkan isi cerita dan lain sebagainya.

Selain itu, saya juga gampang ‘terhasut’ oleh review para blogger buku yang saya ikuti. Kalau ada satu buku yang dibilang bagus dan saya pikir buku tersebut cocok dengan selera saya, dan saya menemukannya di toko buku, pasti langsung saya beli. Apalagi kalau itu termasuk buku murah.

Barulah, setelah beberapa kali merasa kecewa dengan buku yang tidak ‘seindah’ perkiraan saya, sekarang saya lebih berhati-hati dalam membeli buku, bahkan meskipun itu buku diskon atau obral. Kenapa? Ya, karena tidak menamatkan sebuah buku yang sudah dibeli tuh rasanya nggak enak. Saya merasa berkhianat pada buku tersebut, tetapi di satu sisi, saya juga nggak kuat untuk terus membaca.

Ada beberapa alasan mengapa saya tidak menamatkan sebuah buku, yaitu:

1 Cerita yang terlalu bertele-tele, terutama di bab-bab awal.

Okelah kalau di bab pertama kadang saya masih memakluminya. Namun, kalau sampai bab ketiga-keempat, masih belum jelas konfliknya apa, belum jelas apa yang harus diatasi tokoh utama dan apa yang menghalangi si konflik utama mencapai tujuannya, bisa dipastikan saya sudah kehilangan setengah mood membaca.

Namun, hal itu bisa terbantu jika cara bercerita penulis lumayan menarik. Kalau bahasanya mengalir lancar, saya biasanya masih berusaha untuk melanjutkan membaca sampai ketemu dengan konfliknya. Minimal subkonfliklah, nggak mesti langsung ketemu konflik utama juga nggak apa-apa. Kalau hanya menceritakan kehidupan sehari-hari si tokoh yang datar dari bab 1-10, hmm…, lebih baik ditinggalkan saja.

2.       Gaya bahasa yang kaku, tidak mengalir, atau terjemahan yang aneh.

Ini kebanyakan terjadi pada buku terjemahan. Kadang beberapa buku terjemahan itu bahasanya nggak ‘halus’. Bagaimana ya menjelaskannya? Pokoknya, kerasa pas kita baca, kalimat-kalimatnya tuh nggak mengalir. Kalau yang sudah sering membaca buku terjemahan dengan berbagai gaya, pasti bisa merasakan, deh, mana terjemahan yang enak dibaca, mana yang enggak.

Buku dari penulis lokal juga bisa saja mengalami hal seperti ini. Terutama untuk buku nonfiksi. Entah karena temanya memang berat atau bagaimana. Kalau buku fiksi, sejauh pengalaman saya jarang terjadi.

3.       Tidak suka dengan tokoh utamanya

Tidak suka dengan tokoh utama bukan berarti dia harus baik seperti malaikat, ya. Tokoh utama yang jahat atau menyebalkan pun punya kesempatan untuk disukai selama dia memiliki alasan logis kenapa berbuat/bersikap seperti itu.

Biasanya, saya tidak suka dengan tokoh utama yang datar. Yang nggak memiliki keunikan atau nggak memiliki tujuan mau ngapain di cerita itu. Kalaupun ada masalah atau sesuatu yang harus dihadapi, ya lempeng aja gitu tanpa alasan khusus.

Atau, tokoh utama yang terlalu berlebihan dalam bersikap. Hal ini mungkin bisa menjadi salah satu faktor keunikan tokoh tersebut, tetapi kalau benar-benar lebay, sepertinya saya nggak tahan, deh. Namun, alasan yang ini jarang terjadi di pengalaman membaca saya. Yang sering saya temukan biasanya tokoh utama yang datar atau lempeng begitu.

4.       Tidak suka dengan tema cerita

Biasanya terjadi kalau saya penasaran ingin membaca genre yang bukan selera saya. Kadang-kadang saya ingin mencoba bacaan baru yang selama ini saya hindari dengan harapan siapa tahu jadi suka. Kenyataannya, saya sering gagal dengan usaha ini, wkwk. Entah salah memilih buku pertama atau memang nggak ditakdirkan untuk suka genre tersebut.

5.       Memang sedang nggak minat membaca

Suatu waktu, saya ingin banget baca novel fantasi. Suatu waktu yang lain, inginnya baca novel fiksi sejarah dan sama sekali nggak tertarik dengan novel fantasi. Atau, suatu waktu saya ingin banget baca buku nonfiksi, dan pada waktu yang lain, melihat judulnya saja sudah malas.

Ini mungkin satu-satunya alasan yang berasal dari luar buku, yaitu dari kondisi atau lingkungan yang sedang saya alami saat itu. Kadang, rasanya mumet banget, jadi ingin baca buku yang ringan-ringan atau yang menyenangkan. Kadang, tiba-tiba ingin banget dapat ilmu baru, terus jadi baca buku nonfiksi. Kira-kira seperti itu.

Itulah beberapa alasan mengapa saya tidak menamatkan sebuah buku. Buku-buku tersebut, kadang saya diamkan sampai berbulan atau bertahun lamanya, sampai akhirnya ada keinginan untuk membaca lagi.

Jika beruntung, saya akan membacanya sampai selesai. Akan tetapi, kalau di kesempatan kedua tetap saja membuat saya malas membaca, ya sudah, benar-benar saya tinggalkan dan nggak akan saya buka lagi.

Bagaimana denganmu? Pernahkah tidak menamatkan sebuah buku? Buku seperti apa yang biasanya tidak sanggup kamu tamatkan?

 

 

 

Komentar