Pengalaman Membaca Ulang Buku yang Pernah Tidak Ditamatkan

Setelah kemarin membahas tentang alasan tidak menamatkan sebuah buku, kali ini saya akan mengulas pengalaman saya membaca ulang buku yang sudah saya tinggalkan selama bertahun-tahun setelah setengah membacanya dengan alasan buku-buku tersebut tidak menarik.

Ada tiga buku yang saya baca ulang beberapa waktu lalu, yaitu Brida karya Paulo Coelho, The Book of Tomorrow karya Cecelia Ahern, dan Cinderella in Paris karya Sari Musdar. Saya akan membahas satu per satu kenapa saya membeli buku tersebut, pengalaman pertama saat membaca, pengalaman kedua, dan garis besar isi cerita buku tersebut.

1.       Brida, Paulo Coelho


Kalau melihat nama penulisnya, kita semua sudah tahu kalau Paulo Coelho adalah salah satu penulis terkenal yang karya sudah banyak dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Saya termasuk yang penasaran dengan karya penulis yang satu ini.

Alasan saya memilih Brida sebagai novel pertama Paulo Coelho yang saya baca adalah karena waktu SMA saya pernah membaca artikel di majalah tentang seorang artis muda yang amat menyukai novel Brida. Dia bilang itu novel yang bagus tentang tujuan hidup dan pas dibaca oleh gadis muda. Tokoh utama, Brida, merupakan tokoh yang berkesan dan inspiratif baginya.

Saya selalu ingat dengan kalimat itu dan begitu penasaran dengan sosok Brida. Setelah beberapa tahun membaca artikel tersebut, saya pun berkesempatan membeli novel Brida dan membacanya. Kesan pertama saya membaca novel tersebut, ‘Aduh, ini novel apaan, sih?’

Inti cerita Brida adalah tentang seorang gadis muda bernama Brida yang ingin mempelajari sihir dan menemukan Pasangan Jiwanya. Entah mengapa, saat pertama kali membaca buku itu, semua yang dibahas di sana nggak masuk akal bagi saya. Saya tahu itu cerita fiksi, tetapi saat itu saya merasa tema ceritanya ‘nggak saya banget’.

Akhirnya saya membaca Brida dengan metode skimming, sambil ngedumel pula. Saya punya ekspektasi yang tinggi sejak dulu, ternyata setelah membaca malah seperti itu. Bahkan saya memasukkan Brida ke daftar buku mengecewakan yang pernah saya baca tahun 2019. Setelah itu, saya pun meninggalkan Brida tanpa berniat akan membacanya lagi.

Tahun ini, tiba-tiba saja saya tercetus niat untuk memberi kesempatan kedua kepada buku-buku yang saya tinggalkan tanpa ditamatkan. Brida adalah buku pertama yang saya baca.

Kali kedua membaca Brida, saya membacanya pelan-pelan. Saya berusaha memahami karakter dan keinginan Brida meskipun bagi saya itu aneh. Saya juga berusaha memahami tokoh-tokoh lain, seperti Wicca dan sang Magus. Saya berusaha menangkap apa yang sebenarnya ingin disampaikan sang penulis. Dan akhirnya saya berhasil menamatkan Brida dengan pandangan baru.

Brida tetap menjadi novel yang tidak favorit untuk saya. Saya tetap tidak menyukainya. Namun, akhirnya saya mengerti kalau Brida sebenarnya seperti orang kebanyakan, ingin tahu siapa Pasangan Jiwanya, meskipun lewat jalan yang ‘aneh’ dan si penulis ingin menyampaikan tentang teori setiap manusia memiliki pasangan jiwa, tetapi tidak semua menemukannya.

  1. The Book of Tomorrow, Cecelia Ahern


Saya membeli buku ini karena sinopsis di belakang buku. Tentang buku misterius dan kenyataan kalau hari esok bisa mengubah hari ini. Sesuatu yang menarik bukan?

Biasanya hari ini yang mengubah hari esok, tetapi di novel ini, hari esok mengubah hari ini. Bagaimana itu bisa terjadi?

Selain itu, saya juga tertarik karena judulnya ada unsur ‘buku’ yang membuat saya semakin penasaran. Ditambah novel itu ada di deretan buku obral, saya pikir nggak ada ruginya beli. Apalagi, penulisnya juga lumayan terkenal. Beberapa karyanya sudah difilmkan. Jadi, kesimpulan saya buku ini mungkinmenarik.

Kenyataannya, saat membaca bab pertama saja saya sudah kehabisan sabar dengan Tamara, si tokoh utama. Novel ini menggunakan sudut pandang ‘Aku’ dari si t utama. Dan karena semuanya diceritakan dari sudut pandang Tamara, maka apakah saya akan lanjut membaca benar-benar bergantung dari cerita Tamara dan apa yang dia alami.

Tamara baru saja kehilangan ayahnya yang mati bunuh diri dan meninggalkan setumpuk utang, sehingga ia dan ibunya terpaksa menumpang sementara di rumah adik ibunya, Arthur, dan istrinya, Rosaleen. Tamara yang tadinya orang kaya, tinggal di rumah besar dengan segala kemewahannya, tiba-tiba harus tinggal di pedesaan, menumpang di rumah orang lain pula, dengan kondisi ibunya yang tidak mau berbicara, tentu membuat dia frustasi.

Seharusnya hal ini membuat pembaca simpati, tetapi saya tidak. Saya malah kesal dengan Tamara yang ‘lebay’, sering mengeluh, dan terlalu banyak menceritakan hal-hal sepele dan kisah-kisah masa lalunya.

Saya menunggu buku misterius yang dijanjikan di sinopsis sampai beberapa bab kemudian. Itu pun saat Tamara sudah menemukannya dan menyadari keanehan buku itu, hal-hal yang sekiranya penting belum muncul atau tampak akan terjadi.

Akhirnya, saya tinggalkan kisah Tamara. Bedanya dengan Brida, saya masih memiliki secuil niat untuk membacanya lagi kapan-kapan. Mungkin saat itu saya kurang sabar. Selesai membaca Brida dan mengetahui saya cukup sabar membaca buku tersebut, saya pikir, mungkin saya juga akan bisa kembali menghadapi Tamara.

Kali kedua membaca The Book of Tomorrow, kesan lebay dan suka mengeluh dari Tamara tetap tidak hilang. Saya tetap tidak bersimpati dengan dia, tetapi saya berusaha bertahan karena bukunya. Apa sih, yang sebenarnya dibawa buku itu ke kehiupan Tamara?

Akhirnya kesabaran saya terbayar. Ternyata buku itu menguak rahasia keluarga Tamara yang selama ini disimpan rapat-rapat. Bahkan, Tamara sendiri nggak pernah sedikit pun curiga dengan keberadaan rahasia itu sampai si buku datang ke hadapannya, dan akhirnya dia mengetahui sesuatu yang selama ini disembunyikan orang tuanya.

Setelah tamat, saya merenungkan kembali novel ini. Sebenarnya inti cerita novel ini cukup menarik, tentang rahasia keluarga yang begitu lama terpendam. Dan mungkin Tamara nggak akan tahu kalau ayahnya nggak meninggal dan dia harus tinggal di rumah pamannya.

Masalahnya adalah pada hal-hal yang menurut saya kurang penting untuk diceritakan. Hal-hal yang tidak terlalu menggerakkan alur cerita. Itu ada banyak dan semuanya dari sudut pandang Tamara yang tentu saja jadi membosankan.

Kalau saja bagian pembukaan cukup singkat dan lebih fokus pada saat buku misterius itu ditemukan dan bagaimana usaha Tamara menguak rahasia keluarganya, mungkin cerita ini akan lebih menarik. Mungkin.

  1. Cinderella in Paris, Sari Musdar

 


Saya membeli buku ini karena dulu sempat mengikuti blog penulisnya yang merupakan travel blogger. Dulu travel blogger pernah mengalami masa jaya dan banyak pengalaman yang mereka yang dijadikan buku dan diterbitkan. (Mungkin sekarang masih, ya, tetapi nggak seheboh dulu.)

Saya cukup menyukai gaya bercerita penulis di blognya dan saat beliau memberi tahu kalau beliau menulis novel berdasarkan perjalanan-perjalanannya ke luar negeri, saya langsung tertarik untuk membaca.

Apakah novelnya semenarik yang saya kira?

Hmm…, mungkin saya berekspektasi terlalu tinggi.

Cinderella in Paris bercerita tentang Saras, perempuan berusia 30 tahun lebih, memiliki karier yang bagus, tetapi belum juga bertemu dengan jodohnya. Premisnya klise, sudah banyak diangkat di novel-novel romansa lain. Tetapi, yang membuat kisah ini ‘saya kira’ berbeda adalah usaha Saras menemukan jodohnya di luar negeri.

Lagi-lagi, hal yang membuat saya bosan dan malas membaca buku ini adalah kebanyakan flashback dan cerita terlalu bertele-tele. Banyak sekali hal yang kurang penting diceritakan narrator yang tak lain tak bukan adalah Saras itu sendiri. Kasusnya jadi sama dengan Tamara. Apalagi cerita dari sudut pandang dia, sedangkan dia sering membicarakan hal-hal yang tidak menggerakkan inti cerita, jadi ya begitu.

Mungkin penulis ingin pembaca mengenal lebih dalam tokoh utama lewat cerita-ceritanya (yang kadang nggak terlalu berhubungan atau nggak penting dengan alur cerita), tetapi kalau kebanyakan ya bosan juga.

Saat membaca judul Cinderella in Paris, saya membayangkan cerita ini akan fokus berlatar di Paris dan mengisahkan suka duka tokoh utama dalam menemukan cinta sejatinya di Kota Cahaya itu. Sayangnya, tebakan saya salah.

Novel ini lebih seperti kumpulan cerita Saras ke luar negeri, ketemu cowok asing yang dimulai dari tanpa sengaja mengobrol atau berkenalan, lalu lanjut bertemu beberapa kali, setelah itu, si cowok lenyap entah ke mana. Kejadian seperti itu tidak di Paris saja, melainkan di berbagai negara yang dia kunjungi. Formulanya terus begitu, diselingi dengan ‘tuntutan’ ibu  dan orang-orang di sekitarnya untuk segera menikah, flashback masa lalu Saras, dan perintilan-perintilan lainnya.

Kali kedua membaca Cinderella in Paris, saya menyabar-nyabarkan diri untuk sampai akhir cerita. Sepanjang membaca buku, saya bahkan ‘mengutuk’ Saras agar jomlo saja sampai tua karena sifatnya yang mudah ‘tergoda’ dengan laki-laki yang sedikit saja memberi perhatian kepadanya. Huh!

Akhirnya? Saras menikah, di Paris, dengan seorang laki-laki yang pernah ditemuinya di sana. Adegan pertemuan kedua mereka sekilas terasa ‘too good to be true’ sih buat saya. Tetapi ya sudahlah, daripada dia nggak nikah-nikah.

Kalau membaca tulisan saya tentang tiga buku tadi, mungkin terkesan saya nggak suka banget dengan mereka. Padahal, memang iya, hahaha. Lebih ke kecewa, sih, daripada nggak suka. Buktinya, saya berusaha membaca lagi sampai tamat. Semata-mata karena memang masih penasaran dengan akhir cerita buku tersebut.

Pengalaman yang kurang menyenangkan ini membuat saya lebih berhati-hati dalam membeli buku. Bahkan, sekalipun buku itu diobral dengan harga murah. Selain karena sayang uangnya, juga supaya tidak memenuhi rak buku (yang sudah penuh) dengan sesuatu yang kurang saya suka.

Untuk buku-buku yang penulisnya belum pernah saya baca karyanya atau buku dengan genre yang berbeda dengan selera saya, memang lebih baik pinjam teman atau pinjam di aplikasi perpus. Atau, seperti yang sekarang ini mulai rajin saya lakukan, cek bagian awalnya di Google Play Book. Kalau bagian awalnya menarik dan bikin saya penasaran, bolehlah masuk wishlist. Tetapi, kalau sejak awal terasa biasa saja, ya cukup tahu saja, deh.

Bagaimana dengan review di Goodreads? Apakah review bagus di Goodreads menjamin saya bakal suka dengan buku tersebut?

Menurut saya, review di Goodreads itu hampir sama dengan review blogger buku. Sangat personal dan setiap orang memiliki selera yang berbeda. Banyak buku di Goodreads yang mendapat berbagai variasi bintang dari pembacanya. Ada yang kasih 1-2, tetapi ada juga yang kasih 4-5 bintang. 

Jadi, jumlah bintang nggak bisa jadi patokan. Tetapi, penjelasan atau ulasan singkat dari reviewers Goodreads, blogger buku, atau bookstagram, bisa jadi pertimbangan apakah kita tertarik membaca buku tersebut atau tidak.

Begitulah, semoga tulisan curhat panjang lebar ini sedikit bermanfaat buat pembaca.

 

 

Komentar

  1. Kayaknya saya harus membongkar tumpukan buku untuk memilah mana buku yang sempat dibaca tapi nggak lanjut dengan alasan cerita di awal buku kurang menarik. Tetapi kayaknya jumlahnya akan sangat sedikit. Sebab dulu tuh saya suka menjual buku yang sekiranya tidak akan saya baca walau kondisinya masih baru. Dan beberapa waktu lalu saya sudah menerapkan membeli buku yang jalan ceritanya bagus dan memang di mata pembaca lain mendapatkan respon positif. Bisa disebut saya lebih selektif ketika membeli buku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya malah baru dua tahun terakhir ini aja mulai menjual buku yang sepertinya nggak akan saya baca lagi. Iya, sekarang saya juga mulai selektif membeli buku karena sudah nggak ada tempat di rumah :D

      Hapus
  2. Saya pernah tertarik pengen beli The Book of Tomorrow. Kebetulan pernah baca dua buku Ahern. Cuma belum kesampaian, hehe. Kalau di saya justru bukunya yang berjudul Where the Rainbow Ends yang belum kelar. Baru dibaca beberapa halaman, sudah diletakkan lagi. Mungkin nanti kalau TBR sudah menyusut, saya balik ke buku itu lagi. Ini postingan yang menarik mba. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir. Saya agaknya kapok baca buku Cecelia Ahern lagi, tetapi kadang-kadang masih suka penasaran sama bukunya yang difilmin sih, hehehe.

      Hapus
  3. Dulu aku termasuk yg suka kalap liat buku obralan, tp seringnya malah berujung kaya gini juga, ga terlalu cocok pas baca ceritanya. Huhu. Kadang ide dr penulisnya sih oke kaya yg mba sebutkan, tp ya gitu, eksekusi nya yg bikin ga nyaman pas baca..
    Akhirnya skrng aku baru beli buku obralan dr penulis2 yg pernh aku baca karya dia yg lain..

    BalasHapus

Posting Komentar