Perbedaan Sekolah Asrama di Cerita Enid Blyton dan di Indonesia

 

Si Kembar di Sekolah yang Baru: Perbedaan Sekolah Asrama di Cerita Enid Blyton dan di Indonesia


 ~ Bukan sebuah review :) ~

Entah dorongan dari mana, tiba-tiba saja saya pinjam buku Enid Blyton di Ipusnas yang berjudul Si Kembar di Sekolah yang Baru. Saat pasang aplikasi Ipusnas, Enid Blyton termasuk nama penulis yang mula-mula saya ketik di kolom pencari. Saya ingin tahu berapa banyak karya Enid Blyton yang terdapat di Ipusnas. Ternyata tidak banyak :D

Di Ipusnas hanya ada Seri Kumbang atau Seri Dongeng, Seri di Asrama St. Clare, dan satu judul Lima Sekawan. Syukurlah, Seri St. Clare lengkap dan saya berniat membaca ulang seri tersebut.

Pertama kali saya membaca seri St. Clare itu sekitar 17 tahun lalu, waktu saya masih kelas 6 SD. Sejak kelas 5, setelah wali kelas saya mengetahui saya suka membaca (dan bisa membaca dalam waktu cepat untuk anak-anak seumuran saya), beliau semangat sekali meminjamkan koleksi bukunya kepada saya. Seri asrama Enid Blyton salah satunya.

Sepanjang kelas 6 itu saya tamat membaca Seri Elizabeth si Badung, Seri St. Clare, dan Seri Mallory Towers. Semua itu adalah seri asrama dengan tokoh utama anak-anak perempuan. Gara-gara buku tersebut, saya jadi ingin sekolah asrama juga. Dan akhirnya terkabul! Saya sekolah di pondok pesantren selama 6 tahun.

Saat membaca ulang seri St. Clare yang pertama, mau tidak mau saya teringat lagi dengan masa-masa saya tinggal di pondok. Gara-gara itu, saya jadi kepikiran untuk membuat daftar perbedaan kehidupan asrama di Inggris dan Indonesia, khususnya pondok pesantren.

Yah, sebenarnya dari bentuk dan tempatnya saja sudah berbeda, ya, hehehe. Yang satu di Inggris dan satu lagi di Indonesia. Yang satu sekolah umum biasa, satunya lagi sekolah agama. Tetapi, nggak apa-apa, deh.

1.       Awal Mula

Enid Blyton: Si kembar, Pat dan Isabel O’Sullivan yang menjadi tokoh utama di serial ini awalnya tidak mau bersekolah di St. Clare.

Saya: Gara-gara baca Enid Blyton saya malah pengen banget sekolah asrama. Dan karena sekolah asrama di Indonesia yang sering ditemukan adalah pondok pesantren, jadi pilihannya ke sana. Namun, kalau melihat teman-teman saya, banyak juga yang memang seperti Pat dan Isabel, terpaksa atau setengah terpaksa sekolah di pesantren karena disuruh orang tua. Ada yang akhirnya pindah karena benar-benar nggak betah, ada yang akhirnya tetap bertahan dengan segala keluh kesah, ada yang akhirnya betah dan senang-senang aja tinggal di pesantren.

2.       Teman sekamar dan sekelas

Enid Blyton: Satu angkatan di sekolah St. Clare hanya ada satu kelas. Sementara itu, satu kamar berisi enam orang dengan tempat tidur, sprei, dan segala macam hal yang sama. Di antara tempat tidur ada tirai penyekat.

Saya: Waktu saya masuk, satu angkatan ada 4 kelas (murid perempuan saja), satu kelas berisi sekitar 30 orang. Sedangkan satu kamar berisi 24-26 orang. Banyak banget, ya? Kami pakai ranjang besi bertingkat dua dan lemari dua pintu. Jadi, total jumlah lemari dan ranjang dalam satu kamar itu sekitar 12-13 buah. 26 orang itu maksimal banget, sih. Rata-rata ya 24 atau 22 malah.

3.       Guru dan pelajaran yang paling ‘ditakuti’

Enid Blyton: Pelajaran Bahasa Prancis dan gurunya, Mamzell. Sebenernya nggak ditakutin banget, sih. Dan kalau di cerita, Mamzell nggak galak-galak banget. Namun, seingat saya, hampir semua cerita asrama Enid Blyton pasti mengangkat masalah Bahasa Prancis dan gurunya, ketimbang mata pelajaran lain yang hanya dibahas sekilas. Banyak murid yang mengeluhkan pelajaran Bahasa Prancis yang rumit.

Saya: Untuk mata pelajaran yang mungkin ‘ditakuti’ dan bikin males sepertinya sama dengan yang terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia, apalagi kalau bukan Matematika. Selama enam tahun, saya pernah mendapat dua guru Matematika yang lumayan killer dan bikin deg-degan tiap beliau mengajar.

Untuk pelajaran bahasa, karena di pesantren, tentu saja yang diutamakan adalah pelajaran Bahasa Arab. Selama enam tahun, saya merasa guru-guru Bahasa Arab saya baik-baik saja, sih. Nggak ada yang galak. Kebanyakan malah baik banget dan sering mengajari lagu-lagu Bahasa Arab.

Jika di St. Clare pelajaran Bahasa Prancis ada ujian lisan, begitu juga pelajaran Bahasa Arab di sekolah saya. Bahasa Arab adalah satu-satunya pelajaran yang memiliki ujian lisan.

4.       Sifat dan Perubahan Sifat para Murid

Enid Blyton: Selain Pat dan Isabel sebagai tokoh utama, tentu saja ada banyak tokoh lain yang juga ikut meramaikan seri St. Clare. Ada Hillary si ketua angkatan, Janet yang mulutnya ceplas-ceplos, Kathleen yang diam-diam menyimpan rahasia, Doris yang kocak, hingga Sheila yang sombong dan menyebalkan. Di St. Clare, sifat-sifat buruk para murid perlahan-lahan berubah. Tentu saja perubahan itu tidak serta-merta terjadi, tetapi ada peristiwa dan sikap para murid lainnya terhadap si murid tersebut.

Contohnya, Pat dan Isabel yang awalnya membenci St. Clare dan tak mau berteman dengan murid lain, akhirnya malah betah dan berteman akrab dengan teman-teman seangkatan mereka. Bahkan, mereka turut andil dalam membantu menyelesaikan masalah teman-temannya.

Saya: Hampir sama dengan yang digambarkan Enid Blyton, dalam satu angkatan tentu saja bermacam-macam pula sifat dan kepribadian. Apalagi murid-murid yang bersekolah di pesantren datang dari berbagai macam daerah di Indonesia. Jadi, ya, benar-benar variatif banget tingkah-polahnya.

Ada yang memang terkenal nyebelin, ada yang oke-oke aja alias standar, ada juga yang populer, karena sangat baik atau malah sering bikin onar. Dan karena saya nggak memperhatikan dengan detail teman-teman seangkatan, jadi tidak bisa menyimpulkan apakah selama enam tahun, adakah sifat-sifat mereka yang berubah secara signifikan.

Kalau di cerita Enid Blyton, dalam setahun saja, banyak murid yang berubah cukup signifikan, lho. Sedangkan kalau berdasarkan pengamatan saya, kebanyakan sifat teman-teman tetap sama (yah, mungkin berubah sedikit-sedikit, sih), tetapi lebih ke teman-teman yang lain yang jadi lebih menoleransi.

Maksudnya begini, misal ada seseorang yang pembawaannya galak. Ya, kalau dia ‘kumat’ galaknya, paling kita cuma bisa bilang, “Yah, memang dia orangnya begitu.” Hehehe.

5.       Guru-Guru

Enid Blyton: Kebanyakan guru di cerita Enid Blyton baik-baik, bahkan Mamzell yang dianggap menakutkan, ternyata nggak semenakutkan itu. Ada satu guru yang sering dikerjain oleh para murid, yaitu Bu Kennedy. Beliau mengajar Sejarah dan tipikal guru yang terlalu baik gitu, nggak bisa tegas sama murid karena nggak tega.

Saya: Sama seperti sifat teman-teman, sifat dan pembawaan para guru di sekolah saya pun bermacam-macam. Ada yang cara mengajarnya seru dan menyenangkan, ada yang standar, ada yang menegangkan, ada juga yang mirip-mirip Bu Kennedy.

Namun, kalau kami nggak sampai hati (atau nggak berani) ngerjain guru, sih. Paling-paling kami hanya minta diajarin lagu, menonton video, atau minta diceritain sesuatu (biasanya kisah hidup sang guru) kepada guru-guru yang ‘terlalu baik’ tersebut. Seringnya, karena memang ‘terlalu baik’, permintaan tersebut dituruti, hehehe.

Kelas saya pernah diajar oleh guru yang lumayan galak dan tegas banget. Cara mengajarnya cukup berbeda dengan guru-guru kebanyakan. Beliau mengajar pelajaran Hadits. Setiap beliau mengajar, kami sudah harus hafal hadits dan mufradat (kosakata) hadits tersebut. Lebih baik lagi, sudah mengerti makna hadits itu. Jadi, ketika beliau datang, beliau tinggal bertanya ke sembarang murid dan mengharapkan semua murid bisa menjawab pertanyaannya.

Masalahnya, selama ini pelajaran Hadits tidak seperti itu. Masih yang konvensional, guru datang, menjelaskan, lalu kami menghafal. Gara-gara perbedaan cara mengajar dan sikap beliau yang lumayan bikin jiper, pernah hampir sebagian besar isi kelas ‘cabut’ dari mata pelajaran beliau, termasuk saya. Hehehe.

Awalnya, jelas beliau marah-marah. Namun, teman-teman yang ‘tersisa’ di kelas menjelaskan dengan susah payah kenapa yang lain pada ‘takut’ dan akhirnya cabut dari matpel beliau. Lama-kelamaan, cara mengajar beliau sedikit berubah. Walaupun tetap rada galak, tetapi kalaupun kami nggak hafal semuanya, beliau sudah nggak marah-marah lagi.

Seingat saya, itu, sih, hal yang mungkin agak parah, yang kami lakukan kepada guru. Hehehe.

6.       Kakak Kelas

Enid Blyton: Di seri St. Clare, diceritakan kalau murid-murid kelas lima atau enam (setingkat SMA kali ya, kalau di sini), sering ‘meminta tolong’ para murid kelas bawah untuk mengerjakan pekerjaan mereka, seperti menyalakan perapian, membersihkan sepatu, memasakkan air, dan sebagainya. Para murid kelas bawah di St. Clare menganggap itu adalah hal wajar dan mereka melakukannya dengan senang hati, kecuali Pat dan Isabel (pada awalnya).

Saya: Kalau kakak kelas yang nyuruh-nyuruh ngerjain sesuatu sih, sepertinya nggak ada. Karena setiap kamar, setiap kelas, sudah punya jadwal piket masing-masing. Jadi, setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing. Setahu saya, nggak pernah ada yang disuruh cuci sepatu, cuci tas, atau bersihin sesuatu yang lain milik kakak kelas.

Paling kalau di sekolah saya, kakak kelas kadang suka ‘semena-mena’ minta makanan adik kelas. Itu pun biasanya kalau mereka sudah akrab, ya. Kalau nggak kenal atau nggak deket, ya nggak minta-minta juga. Karena biasanya adik kelas cadangan makanannya lebih banyak daripada kakak kelas. Hehehe.

Selain itu, tindak ‘semena-mena’ dilakukan saat sedang acara aja, sih. Kalau yang ini sepertinya hampir sama dengan sekolah-sekolah lain di Indonesia. Acara MOS, kemping, dan sejenisnya yang panitianya kakak kelas dan pesertanya adik kelas, hampir selalu ada tindak ‘semena-mena’ dari kakak kelas.

7.       Kegiatan Sehari-hari

Enid Blyton: Di buku pertama, selain kegiatan normal harian, seperti belajar dan makan, ada juga kegiatan lain, seperti Pesta Tengah Malam, jalan-jalan keluar sekolah, menonton sirkus, dan pentas akhir semester.

Saya: Dulu, sebelum masuk pesantren, saya membayangkan ingin mengadakan Pesta Tengah Malam seperti di cerita Enid Blyton. Ternyata, setelah diingat-ingat sekarang, selama enam tahun, nggak pernah tuh saya Pesta Tengah Malam, hahaha.

Kalau sekadar makan-makan besar (karena ada yang baru dibawakan makanan oleh orangtua atau memang pengen makan-makan aja), kami nggak pernah menunggu sampai tengah malam. Ya, pokoknya kapan aja mau makan-makan, langsung dilaksanakan.

Untuk jalan-jalan keluar sekolah, bagi murid yang tinggal di asrama, tentu saja itu hal yang paling dinanti-nanti. Sama seperti murid-murid di St. Clare, saya dan teman-teman pun punya jadwal keluar asrama, yaitu sebulan sekali. Biasanya, saat keluar kami pergi ke swalayan atau supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan, lalu mampir ke tempat-tempat jajan, seperti makan mie ayam, bakso, dan sejenisnya.

Untuk pentas, acara kesenian, dan acara-acara lainnya, diadakan secara berkala. Namun, tidak ada yang diadakan menjelang atau pada akhir semester. Pada akhir semester, semua murid fokus melaksanakan ujian yang terdiri dari ujian tulis dan ujian praktik.

8.       Kangen Rumah

Enid Blyton: saya baru menyadari saat membaca ulang seri asrama St. Clare, tidak ada satu pun murid-muridnya yang diceritakan kangen rumah sampai menangis.

Saya: saat tahun pertama, hampir semua murid baru pasti menangis setiap malam dan setiap shalat karena kangen rumah. Segalanya mulai membaik saat tahun kedua dan seterusnya. Tetapi, tetap saja, walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di asrama, ada momen-momen tertentu yang bikin kangen rumah.

Perpulangan atau liburan adalah waktu yang amat dinanti-nanti oleh para murid. Bahkan, kalau di sekolah saya, para murid punya kebiasaan menghitung hari menuju hari perpulangan dan ditulis di papan tulis di kelas (di ujung). Misalnya, “30 hari lagi pulang” dan itu diperbarui setiap hari sampai akhirnya kami benar-benar pulang ke rumah. Yeay!

 

Kira-kira itulah perbedaan (dan mungkin sedikit persamaan) yang saya rasakan saat membaca kisah asrama Enid Blyton dan menjalaninya sendiri selama enam tahun. Apa pun itu, pengalaman sekolah di asrama memang seru banget. Banyak suka-duka yang dialami, hal-hal tak terlupakan, dan mungkin berbagai peristiwa yang terjadi selama tinggal di asrama, sedikit membentuk (atau memoles) sifat dan kepribadian yang sekarang.

Mungkin nanti, kalau saya sudah kelar membaca seluruh seri St. Clare, saya akan menulis resensi lengkapnya yang beneran resensi. Bukan perbandingan dan semi curcol seperti tulisan yang ini. Terima kasih banyak kepada yang sudah membaca dari awal sampai akhir. Semoga tidak kapok baca tulisan saya yang lain.

 Ada yang pernah sekolah di asrama juga? Apa pengalaman seru yang kamu alami di sana?

 

 

 

 

 

 

Komentar