Heretic: Kisah tentang Persahabatan dan Perbedaan

Judul: Heretic

Penulis: Sarah Singleton

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2007


Hampir sama dengan Knife, sebelum memulai ulasan novelnya, saya ingin bercerita dulu asal muasal saya membaca dan mendapatkan novel ini. 

Back when I was in boarding school, saya membaca novel berjudul Century yang berkesan sekali waktu itu. Rasanya seperti membaca dongeng magis yang dijalin oleh kata-kata yang indah. 

Saat kuliah, saya menemukan satu eksemplar novel Century di rak obralan Gramedia. Harganya sangat murah, cuma 10 ribu, tetapi kondisinya sudah tidak bersegel. Saat itu, saya merasa bimbang antara ingin membeli atau tidak. Saya sangat suka buku tersebut dan mungkin saya ingin membacanya kembali. Tetapi, di satu sisi, saya merasa sudah membaca dan tidak perlu memilikinya. 

Pada kali pertama, pikiran kedua yang menang. Namun, beberapa hari kemudian, saya datang lagi ke rak obralan tersebut dan menemukan buku murah itu masih ada dan memutuskan untuk membelinya. Waktu itu saya merasa seolah buku itu meminta saya untuk membawanya pulang 😆. Toh, harganya murah juga. 

Bertahun kemudian, saya masih penasaran apakah penulisnya, Sarah Singleton, punya buku lain yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia selain Century. 

Pertanyaan saya terjawab tahun 2019 lalu, saat saya blogwalking ke blog-blog buku yang pernah aktif pada masanya. Ada salah satu blogger yang mengulas novel Heretic. 

Pertama, saya senang karena ternyata ada novel lain karya Sarah Singleton yang sudah diterjemahkan. Kemudian, saya langsung dilanda rasa penasaran apakah saya akan bisa membaca buku tersebut, mengingat buku itu terbitan lama dan sepertinya saya sama sekali tidak pernah melihat novel Heretic di rak toko buku, baik yang obral maupun yang standar. 

Saya sudah membayangkan akan mustahil membaca atau mendapatkan buku Heretic, jadi saya berusaha untuk tidak memikirkannya lagi. Namun, saat dalam pencarian novel Knife, saya malah ketemu dengan novel Heretic juga. 

Gara-gara saya merasa tanggung hanya membeli satu buku, sedangkan biaya ongkir dari daerah Cirebon. Akhirnya, saya cek daftar buku yang tersedia di toko yang sama sampai mata saya perih hanya biar nggak sayang ongkir. Eng ing eng, muncul Heretic dan tanpa pikir panjang langsung masuk ke keranjang. Lalu check out dan transfer. Wuhuu... 

It's another serendipity. Kalau dipikir-pikir, banyak juga sih serendipity yang terjadi dalam upaya perburuan buku yang pernah saya lakukan. Kapan-kapan mau cerita tentang ini ah. Hmm, curhatnya jadi banyak, ulasan novelnya malah belum mulai. 

Oke, jadi Heretic ini bercerita tentang persahabatan Elizabeth dan Isabella, seperti yang dijelaskan di blurb. 

Berlatar tahun 1523 di Inggris, masa di mana penganut Katolik dianggap kafir karena tidak sesuai dengan keyakinan kerajaan. Hal ini dijelaskan secara ringkas oleh penulis di bagian awal buku sesuai fakta sejarah. Mungkin agar pembaca yang awam akan sejarah tersebut (seperti saya) bisa lebih memahami isi cerita. 



Cerita dibuka dari sudut pandang Isabella yang baru 'terbangun' di dunia nyata. Awalnya saya masih kurang mudeng, ini sebenarnya lagi cerita tentang apa. Kenapa kok ada gadis berkulit hijau yang seolah habis tidur ratusan tahun di hutan. Baru setelah sudut pandang berganti ke Elizabeth, saya ngeh dengan jalan cerita dan tokoh-tokohnya. 

Ini pertama kali saya membaca buku dengan latar Inggris abad 16 dan mengusung tema konflik agama yang juga berbenturan dengan kekuasaan. Sangat membuka wawasan dan membuat saya jadi penasaran dengan kisah Raja Henry dan kelanjutan kaum Heretic ini. 

Dari segi alur cerita, petualangan dan persahabatan Elizabeth dan Isabella disampaikan dengan menarik dan pas. Tapi bukan yang wow banget juga. 

Yang saya suka dari mereka, mereka berdua sama-sama berani dan pantang menyerah. Meskipun di awal, Elizabeth sempat merasa lelah dan putus asa karena perbedaan agamanya tersebut. 

Di cerita ini, ada peri juga, tetapi bukan peri seperti di novel Knife yang kecil, mungil, dan tinggal di dunia yang sama dengan manusia. Peri di cerita ini lebih sering disebut dengan kaum Gagak dan tempat tinggal mereka disebut Negeri Kaum Gagak. Negeri yang paralel dengan negeri manusia, tetapi waktu yang berjalan di sana berbeda dengan waktu di dunia manusia. Sehari di Negeri Kaum Gagak bisa bertahun-tahun di dunia manusia atau sebaliknya. Berhari-hari di Negeri Kaum Gagak ternyata hanya sedetik di dunia manusia. 

By the way, bagian tentang kaum Gagak, yang mana pun itu, terasa lumayan creepy sih bagi saya. Apalagi kalau sambil melihat sampul bukunya. Tetapi, tenang saja, endingnya happy kok, hehehe. Maaf ya spoiler. 

Penutup, intinya saya suka dengan cerita ini. Cuma, saya sudah nggak terlalu penasaran lagi dengan karya-karyanya Sarah Singleton. Karena, setelah cek di Goodreads, sepertinya genre tulisan dia memang yang berbau supernatural, makhluk gaib dan mistis, ataus sesuatu yang agak dark dan creepy gitu. 

Hmm, awalnya saya mau menulis tentang konflik agama yang disampaikan lewat novel ini, tapi malah bingung mau menjelaskan apa. Mungkin karena nggak ada ilmunya juga. Jadinya malah curhat ngalor-ngidul. Intinya, novel ini menarik untuk dibaca, terutama bagi yang menyukai atau berminat dengan sejarah Inggris abad 16.


Komentar