Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie
Penyunting: Septi Ws
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Februari 2017
Halaman: 270
ISBN: 978-602375-843-2
Mawar, hyacinth biru, dan melati. Dibawa balon perak, tiga
bunga ini diantar setiap hari ke balkon apartemen Emina. Tanpa pengirim, tanpa
pesan, hanya kemungkinan adanya stalker mencurigakan yang tahu alamat tempat
tinggalnya.
Ketika –tanpa rasa takut- Emina mencoba menelusuri jejak
sang stalker, pencariannya mengantarkan dirinya kepada gadis kecil misterius di
toko bunga, kamar apartemen sebelah tanpa suara, dan setumpuk surat cinta
berisi kisah yang terlewat di hadapan bangunan-bangunan tua Kota Jakarta.
My Review
Akhirnya, satu lagi karya Ziggy yang saya baca. Entah kenapa
saya masih penasaran dengan karya-karya penulis bernama unik ini meskipun
beberapa novelnya kurang saya sukai. Hal itu pernah saya bahas di sini.
Kembali lagi ke Jakarta Sebelum Pagi, sejak awal saya dibuat
sangat tertarik dengan blurb-nya yang misterius. Seolah-olah buku ini akan
bercerita tentang usaha Emina mencari tahu siapa stalker-nya dan apa
hubungannya dengan surat-surat misterius itu.
Kenyataannya, sosok si stalker sudah diberi tahu di bagian
awal cerita (nggak awal banget, sih, tapi menurut saya masih di bagian awal
novel). Namanya Abel, korban Perang Aljazair, dan fobia terhadap suara dan
sentuhan.
Ternyata Abel adalah cucu dari teman kecil Emina dulu yang
tinggal di sebelah rumah kakek-neneknya. Abel ingin kembali berteman dengan
Emina tetapi terlalu malu untuk memulai sehingga menggunakan cara unik,
mengirim bunga dengan tiga balon perak, melalui pertolongan Suki, gadis kecil
yang bekerja di toko bunga.
Kekuatan novel ini bukan terletak pada alurnya yang biasa
saja, melainkan keunikan tokoh-tokohnya. Emina sebagai tokoh utama adalah
perwakilan millennial zaman sekarang, bekerja di perusahaan karena tidak tahu
mau melakukan apa lagi selain bekerja, hidup sendiri di apartemen karena orang
tuanya sudah meninggal, dan seminggu sekali berkunjung ke rumah kakek-neneknya
yang dia sebut dengan Rumah Para Jompo.
Dia juga berteman dengan seorang kakek
yang tinggal di sebelah Rumah Para Jompo dan memanggilnya Pak Meneer. Sering
menggunakan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari dan terobsesi dengan
babi setelah membaca buku Animal Farm.
Celetukan-celetukan Emina khas sekali,
kadang ditandai dengan tanda kurung yang menyebutkan ‘bukan pengalaman pribadi’.
Cara berpikirnya pun seperti anak muda kebanyakan, ingin dilihat orang agar
tidak terabaikan dengan cara gonta-ganti warna rambutnya dengan warna-warna
ajaib.
Selain Emina, ada lagi tokoh Suki. Suki inilah yang disebut
sebagai gadis cilik misterius di toko bunga. Toko bunga sekaligus tea room.
Toko bunga tersebut milik kakaknya, Suki membantu menjaga tea room setiap
pulang sekolah.
Suki digambarkan sebagai anak kecil yang terlalu dewasa dan
bijak untuk anak seumurannya. Memegang teguh prosesi afternoon tea dan memiliki
banyak hewan peliharaan di apartemennya. Ajaib sekali, anak sekecil Suki sudah
ditinggal pergi-pergi oleh kedua orang tuanya dan hanya tinggal bersama
kakaknya. Suki ini yang memberi tahu Emina bahwa yang mengirim bunga-bunga dan
surat melalui balon perak itu adalah dia dan dia disuruh oleh Abel.
Abel adalah pemuda berusia 24 tahun yang fobia suara dan
sentuhan akibat trauma yang dia alami saat masih tinggal di Aljazair bersama
kedua orang tuanya. Orang tuanya tewas di sana lalu Abel diadopsi oleh Pak
Meneer sebagai cucunya. Dia sempat tinggal di Belanda sebelum akhirnya kembali
lagi ke Jakarta dan tinggal di apartemen yang bersebelahan dengan Emina.
Abel
menemukan setumpuk surat-surat misterius yang membuatnya penasaran. Namun, ia
tidak ingin penasaran sendiri, ia memberi surat itu kepada Emina, dan akhirnya
mereka berdua menyusuri tempat-tempat di Jakarta yang disebutkan dalam surat
tersebut.
Satu lagi adalah tokoh favorit saya, Nissa. Teman sekantor
Emina yang gaya berpikirnya juga mewakili orang Jakarta kebanyakan. Sangat
waspada terhadap stalker atau orang aneh yang mengusik hidupnya dan berusaha
hidup senormal mungkin seperti orang-orang kebanyakan.
Kenapa Nissa yang jadi
tokoh favorit saya? Karena dia satu-satunya karakter yang menurut saya normal,
yang lainnya aneh semua, hahaha. Namun, seperti yang saya bilang di awal,
keanehan itu menjadi kekuatan tersendiri dalam novel ini.
Dari alur cerita, novel ini sebenarnya biasa saja. Emina dan
Abel yang mengunjungi tempat-tempat di Jakarta yang disebutkan dalam surat.
Kanal Molenvliet, Nillmij, Planetarium (jadi ini gedung lama, ya? saya baru
tahu), dan Museum Taman Prasasti. Bedanya, mereka berdua mengunjungi
tempat-tempat itu pada dini hari sekitar jam 3-4 pagi. Kenapa? Karena kalau
sudah siang Jakarta ramai dan Abel fobia suara. Hal inilah yang akhirnya
membuat novel ini berjudul Jakarta Sebelum Pagi.
Sayang sekali, meskipun judulnya Jakarta Sebelum Pagi,
penggambaran suasana tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi Abel dan Emina
pada dini hari tersebut malah kurang tergali dan kurang menggerakan
cerita, kecuali Abel dan Emina yang semakin akrab setelah kunjungan-kunjungan
itu.
Poin utama dalam novel ini adalah benarkah surat-surat itu milik Pak
Meneer dan kepada siapa surat itu ditujukan? Apakah ada hubungannya dengan
teman Pak Meneer yang sakit bertahun-tahun dan tak pernah keluar dari kamarnya?
Kemisteriusan Pak Meneer dan temannya inilah yang membuat
saya terus membaca novel ini. Sejak membaca surat-surat tersebut, saya sudah
mendapat sedikit gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan pasangan
tersebut. Ternyata tebakan saya meleset sedikit dan saya ikut terkejut dengan
apa yang terjadi pada teman misterius Pak Meneer.
Akhir kata,
meskipun bukan yang paling seru, novel Jakarta Sebelum Pagi bisa menjadi bacaan
ringan di kala penat melanda.
Komentar
Posting Komentar