Penulis:
Benny Arnas
Penyunting:
Indradya SP
Penerbit:
Qanita
Tahun
Terbit: Cetakan 1, Desember 2015
Halaman:
222
ISBN:
978-602-1637-84-5
“Kenyataan pahit memang berserakan dalam hidupku. Namun, adakah yang mampu meluruhkan rindu?”
Eric
Stockholm adalah buku ketiga Benny Arnas yang saya baca setelah Cinta Tak
Pernah Tua dan Hujan dari Bawah. Berupa kumcer berisi kisah-kisah cinta yang
tak setia, kurang lebih begitu yang saya tangkap. Irfan Hidayatullah menjelaskan
pada bagian akhir, “Bagi Benny, cinta adalah sesuatu yang paradoks. Menjunjung
dan atau membencinya adalah sebuah kesalahan.”
Ada 17
cerita pendek di kumcer ini. Berbeda dengan buku-buku sebelumnya yang saya
baca, cerpen-cerpen di buku ini masih bisa saya tangkap isinya tentang apa.
Entah karena saya membaca kata pengantar oleh Kurnia Effendi dan penjelasan
akhir oleh Irfan Hidayatullah atau memang kebanyakan ceritanya tidak terlalu
mengawang-awang seperti di buku yang lain.
Kesukaan saya
terhadap karya-karya Benny Arnas bisa dibilang aneh. Sejak pertama kali membaca
karyanya, Cinta Tak Pernah Tua, saya langsung jatuh cinta pada cara Benny Arnas
merangkai kalimat-kalimatnya meski tidak semua saya mengerti. Bahkan,
kebanyakan saya tidak mengerti. Tetapi saya suka, suka banget. Dan saya
bertekad untuk membaca karya-karya Benny Arnas yang lain. Oleh karena itu, saat
melihat kumcer Eric Stockholm di obralan TM Bookstore Depok, saya pun tanpa pikir
panjang mengambil buku tersebut.
Dari
ketujuh belas cerpen di buku ini, hampir semuanya saya suka. Namun, ada
beberapa yang bagi saya lebih mengenaskan ketimbang yang lain dan lebih
berkesan, yaitu:
Huruf
Terakhir: Ini cerita dewasa, walaupun tetap memakai bahasa kias yang tidak
terlalu blak-blakan. Awalnya, saya tidak mengerti mengapa judulnya Huruf
Terakhir. Setelah selesai membaca, barulah saya tahu kalau ada perbedaan antara
Lily dan Lili. Huruf terakhirnya!
“Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang … ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa.”
Uppalavanna:
Ini cerita yang sederhana, menurut saya. Namun, entah mengapa dari hal yang
sederhana itu, rasanya kok pedih sekali saat membaca cerita ini.
“Aku terpesona pada bunga teratai sejak lama. Aku tidak tahu alasan persisnya. Tapi, kupikir, bunga teratai memang layak dikagumi.”
Quattordici:
Cerita tentang asal muasal perayaan Valentine. Diceritakan di sini, Saint
Valentino, yang menjadi sebab-musabab perayaan tersebut, tidak setuju dengan
orang-orang yang merayakan Valentine. Baginya, apa yang mereka lakukan
melenceng dari apa yang sebenarnya dia niatkan. Saya suka cerita ini karena
seolah-olah mengungkapkan isi hati Saint Valentino yang mungkin tidak
dicantumkan dalam buku-buku sejarah. Sebuah sindiran telak untuk hari Valentine!
“Kini berbeda. Bila mereka bergaul serupa sepasang pengantin ketika laki-laki belum disumpah di hadapan pastur, bagaimana dapat kau katakana Tuhan memberkati?”
“Hari itu dipilih mereka untuk merayakan, meluapkan, dan menuntaskan semuanya, hingga perihal yang sejatinya tak halal dilakoni. Hari dipangkasnya kepalaku dari tonggak bahu!”
Bawang
Merah dan Ibunya; semacam re-telling kisah Bawang Merah dan Bawang Putih dengan
sedikit (atau banyak?) plot twist. Di cerita ini Bawang Merah bukan tokoh yang
amat jahat dan Bawang Putih bukan tokoh yang amat baik seperti yang selama ini
kita dengar di dongeng.
“Ia mengejar Bawang Merah yang berlari menuju kamarnya. Ia tahu, pintunya tak dikunci: yang diharapkan oleh perempuan merajuk adalah seseorang yang ia sayangi memeluknya diam-diam dari belakang. Ah, ia baru tahu, itu juga berlaku untuk perempuan kecil seusia Bawang Merah.”
Membunuh
Shakespeare: cerpen pembuka yang berisi kisah Romeo dan Juliet yang sadar kalau
mereka hanyalah tokoh rekaan Shakespeare. Juliet merasa dikhianati oleh Romeo
karena selama ini kata-kata indah yang dia berikan bukan asli buatannya,
melainkan kalimat dari pencipta mereka, Shakespeare.
“Tutup telepon ini, Sayang. Keluarlah. Hitung hujan satu-satu. Lalu, ceritakan kepadaku. Telah seberapa kuyup engkau oleh puisiku ….”
“Aku dapat saja memisahkan kalian, namun cinta adalah keajaiban yang tak mungkin lengyap, bukan?”
Bagaimana dengan
cerpen yang menjadi judul kumcer ini, Eric Stockholm? Cerpen ini diletakkan
kedua terakhir dan saya membayangkan ceritanya akan membahas tentang si Eric
Stockholm. Ternyata lebih ke pacarnya si Eric Stockholm dan yah, akhirnya
lumayan mengenaskan juga. Tetapi entah kenapa, malah tidak terlalu berkesan bagi saya.
Cerpen terakhirnya,
Beginilah Buah Khuldi itu Jatuh, termasuk cerpen yang saya tidak mengerti,
tetapi anggaplah saya suka dengan cerpen tersebut. Akhir kata, saya tidak akan
kapok untuk membaca karya-karya Benny Arnas yang lain lagi.
Komentar
Posting Komentar