Resensi Buku: The Castle in the Pyrenees

Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: Irwan Syahrir
Penyunting: Esti A. Budihabsari
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: Cetakan 1, Maret 2018
Halaman: 296
ISBN: 978-602-441-022-3




Selama lima tahun, Steinn dan Solrun hidup bersama dengan bahagia. Namun, semua berubah ketika dalam perjalanan ke pegunungan mereka menabrak seorang nenek. Sejak kejadian itu, mereka berpisah, dan jalan hidup mereka saling menyimpang. Tiga puluh tahun kemudian, Steinn dan Solrun bertemu di balkon sebuah hotel. Hotel tempat tujuan mereka berlibur tiga puluh tahun lalu, sebelum kejadian tabrak lari itu terjadi.

Apa yang sebenarnya terjadi tiga puluh tahun lalu? Benarkah mereka telah melakukan pembunuhan tak disengaja? Akan tetapi, mengapa tak ada berita yang melaporkan tentang tertabraknya seorang wanita tua?

My Review

“Dunia ini bukanlah mosaik kejadian acak, Steinn. Segala hal di dunia ini berhubungan.”


Jika hanya membaca sinopsisnya, mungkin kita mengira buku ini hanya tentang mengusut sebuah peristiwa tabrak lari yang terjadi tiga puluh tahun lalu. Yang korbannya masih belum jelas statusnya, apakah hanya terluka atau tewas dan siapakah sosok sebenarnya nenek-nenek itu? Manusia betulankah? Atau mungkin hantu? Kalaupun dia benar manusia, mengapa ada nenek berkeliaran sendirian di pinggir jalan yang sepi pada malam hari? Apa yang dia tuju? 

Akan tetapi, The Castle in the Pyrenees tidak hanya membahas tentang nenek-nenek misterius. Buku ini sebenarnya berisi perdebatan tentang apakah benar ada kehidupan setelah kematian atau kita dan makhluk-makhluk lain mati, tetapi bumi akan terus berputar digantikan dengan manusia dan makhluk-makhluk lainnya, begitu terus tiada ujung.

Saya, sebagai pembaca yang sudah punya prinsip, akan berusaha mengulas buku ini sebagai buku saja. Namun, kalau ada opini-opini pribadi yang terselip di sana-sini, mohon dimaklumi.

Marilah kita mulai dengan membahas siapa Steinn dan Solrun dan hubungan mereka. 

Jadi, Steinn dan Solrun pernah menjadi sepasang kekasih pada tahun 70an, saat mereka masih muda, masih mahasiswa. Mereka tinggal bersama, pergi ke mana-mana bersama, dan punya pemikiran dan prinsip tersendiri yang membuat seolah mereka terpisah dari lingkungan sekitar. Namun, kejadian nenek misterius atau yang disebut Solrun ‘Wanita Whortleberry’ mengubah hubungan akrab dan intim tersebut menjadi sebuah perpisahan yang tak pernah bersatu kembali hingga tiga puluh tahun lamanya.

Perpisahan ini bukan karena pertengkaran sepele atau cemburu buta, melainkan karena Steinn merasa Solrun berubah keyakinan. Solrun percaya nenek misterius itu adalah ruh yang mendatangi mereka, sedangkan Steinn sejak dulu hingga kini tetap pada prinsipnya, tidak percaya dengan sesuatu yang tidak bisa dia lihat dan diterima akal logika. Ia menganggap nenek itu hanya nenek biasa yang entah kenapa datang kepada mereka.

Akhirnya, Solrun meninggalkan Steinn, pulang kembali ke kota asalnya, Bergen. Memulai hidup baru di sana, menikah dan punya anak, serta menjadi seorang guru di sebuah sekolah menengah. Sementara Steinn tetap di Oslo, melanjutkan pendidikannya juga hidupnya, menikah dan punya anak, serta menjadi seorang klimatolog.

Pertemuan mereka yang tak sengaja di hotel tempat dulu mereka pernah berlibur tiga puluh tahun lalu mengguncang keduanya. Sampai akhirnya Solrun menulis surel kepada Steinn, menanyakan kabarnya, dan obrolan berlanjut tentang keyakinan masing-masing.

Jadi, cerita dalam novel ini berbentuk surel yang dikirim antara Solrun dan Steinn. Mirip dengan cerita Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken yang saya baca sebelumnya. Bedanya, Solrun dan Steinn bertukar cerita lewat surel, bukan lagi surat-surat yang dikirim oleh pos, dan isi pembicaraan mereka lebih ‘berat’, bukan sekadar kecurigaan anak-anak tentang perempuan misterius, walaupun di cerita ini juga ada perempuan misteriusnya, si nenek-nenek itu.


“Apakah kesadaran kita sekadar produk dari kimia otak dan rangsangannya dan lingkungan sekitar organ itu, termasuk segala hal yang kita sebut memori, atau apakah kita, sebagaimana yang kau nyatakan dengan sangat persuasif, adalah jiwa-jiwa berdaulat atau ruh-ruh yang hanya menggunakan otak pada saat ini sebagai penghubung antara dimensi spiritual dan perangkap jasmaniah dari dunia ini?”

Solrun yakin dengan kehidupan setelah mati,  yakin kalau manusia terdiri dari ruh, yang nantinya ruh tersebut akan hidup abadi meninggalkan jasad yang mati, dan seorang penganut Kristen yang taat. Terutama setelah berpisah dengan Steinn.

Sementara itu, Steinn hanya percaya pada segala sesuatu yang nyata, yang bisa dibeberkan oleh sains dan bukti ilmiah, bahwa terjadinya alam semesta karena ada peristiwa ini dan itu, bahwa tubuh manusia terdiri dari molekul, sel, atom, dan segala yang bisa dilihat oleh mata, dan sama sekali tidak percaya dengan konsep ‘wahyu’.

Dan dalam surat-menyurat elektronik ini, mantan sepasang kekasih itu saling memengaruhi keyakinan masing-masing.

Bagi yang membaca buku ini tanpa ‘pondasi dasar’, mungkin akan tergoda dengan pemikiran Steinn. Walaupun di cerita ini, yang lebih terkesan memengaruhi adalah Solrun, dan Steinn lebih ke sikap menyangkal. Dia menyangkal ‘keyakinan’ Solrun karena merasa tidak ada penjelasan ilmiah atau bukti nyata yang bisa menjelaskan ‘keyakinan’ itu. 

Akan tetapi, bagi saya hal-hal seperti itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan atau dipertanyakan. Terserah percaya atau tidak percaya dengan kehidupan setelah mati, percaya atau tidak percaya alam semesta ini ada yang menciptakan, percaya atau tidak percaya kalau nanti ruh kita akan dibangkitkan kembali, yang penting saya percaya hal itu, selesai perkara. 

Kalau ditanya kenapa percaya, coba jelaskan, waduh, ilmu saya masih cetek banget, lebih cetek dari kolam renang anak-anak, jadi mending tanya kepada yang jauh lebih berilmu. Walaupun saya yakin, kalau pada dasarnya hatinya sudah menyangkal, dijelaskan sejelas apa pun, ya kemungkinan besar akan tetap menyangkal. Begitu…

Nah, bagaimana dengan buku ini?

Saya membaca buku ini hanya seperti seorang yang kebetulan membaca surel milik orang lain. Menyimak, menikmati, mendapat ilmu baru, tanpa merasa terganggu sedikit pun dengan ide-ide yang tercetus di buku ini. Yah, benar-benar seperti membaca surel orang lain, “Oh, ternyata dia berpikir seperti itu, toh.”

Walaupun, mengingat ini adalah cerita fiksi, boleh dong saya berharap sentuhan romantis di akhir. Kan, Steinn dan Solrun ini dulu pernah bersama. Lima tahun bukan waktu yang singkat, dan selama lima tahun yang menyenangkan di masa muda, mereka mengalami berbagai petualangan yang indah dan tak terlupakan. Saat bertemu kembali setelah tiga puluh tahun, apakah mereka akan CLBK atau tetap pada kehidupan yang sekarang bersama suami dan istri masing-masing? Jawabannya benar-benar menyesakkan. Ah. KEZEL!



“Pandangilah bintang-bintang dan galaksi-galaksi di atas sana. Lihatlah komet-komet dan asteroid-asteroid yang melintas itu dan tertawalah. Boleh jadi, mereka itu benda-benda raksasa di angkasa, tetapi kita-lah jiwa-jiwa yang hidup di alam semesta ini. Tahu apa komet-komet atau asteroid-asteroid itu? Apa yang bisa mereka pahami tentang dunia ini? Kesadaran diri macam apa yang mereka miliki?”






Komentar