Penulis: Ika Natassa
Penyunting: Rosi L. Simamora
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Cetakan Kedua, Juni 2016
Halaman: 304
ISBN: 978-602-03-2926-0
“People
say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the title
more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost
impossible not to fall in love in the city.”
The Architecture of Love bercerita tentang kisah yang
cukup sederhana sebenarnya. Tentang dua orang yang melarikan diri ke New York.
Raia Risjad, seorang penulis novel terkenal, buku-bukunya selalu menjadi best
seller dan diangkat ke layar lebar harus menerima kenyataan pahit, bercerai
dari suaminya yang juga muse-nya
sumber inspirasinya. Raia memilih kota New York sebagai tempat ‘pelarian’ dan
berharap di sana ia bisa menyembuhkan hatinya dan mulai menulis lagi.
Sementara itu, River Jusuf sudah tiga tahun ditinggal
mati istrinya, Andara, karena sebuah kecelakaan. River dihantui perasaan
bersalah karena dia merasa dirinyalah penyebab kecelakaan itu.
Dia juga
melarikan diri ke New York dan sudah setahun tinggal di kota besar itu, hanya
untuk berkeliling kota dan menggambar gedung-gedung di sana.
Pada pesta tahun baru, dua orang yang sama-sama tidak
menyukai keramaian bertemu. Pertemuan pertama Raia dan River yang menjadi
pembuka untuk pertemuan-pertemuan selanjutnya. Membuat masing-masing bertanya
kepada diri sendiri, sudah siapkah mereka menuju cinta baru ataukah masih ingin
bertahan bersama masa lalu?
My Review
Dari sekian banyak buku Ika Natassa yang sudah terbit,
best seller, dan difilmkan, tak ada yang membuat saya benar-benar tertarik
membaca kecuali novel ini, The Architecture of Love.
Mungkin karena masih kurang berminat dengan lini
Metropop-nya GPU. Entah pikiran dari mana, setiap dengar kata Metropop, saya
pasti langsung menghubungkan dengan kisah cinta orang kaya yang paling
konfliknya begitu-begitu saja dan pasti bertaburan barang-barang bermerk,
tempat-tempat mewah dan megah, serta kalimat-kalimat berbahasa Inggris padahal
tokohnya orang Indonesia dan ceritanya di Indonesia. Ya, walaupun tidak semua
Metropop seperti itu, sih. Dan hal seperti itu bukan berarti jelek banget,
hanya bukan selera saya saja.
Akan tetapi, TAoL ini beda. Saya sudah tertarik banget
sejak tahu buku ini baru diterbitkan semata-mata karena; 1. Latarnya New York.
2. Tokoh utama perempuannya penulis, 3. Nama tokoh utama laki-lakinya River.
Ada apa dengan tiga hal itu?
Saya selalu suka menonton romcom Hollywood yang berlatar New York. Nggak usah disebutlah ya,
film apa saja karena semua pasti tahu. Dan entah kenapa, New York seperti punya
magnet tersendiri, yang berbeda dengan kota-kota di Eropa, yang bikin saya
merasa New York juga salah satu kota yang indah untuk jatuh cinta.
Kedua, tokoh utamanya penulis. Saya selalu tertarik
pada novel yang tokoh utamanya penulis. Apalagi novel ini ditulis oleh
perempuan dan tokoh utama novel ini adalah penulis perempuan. Apakah Mbak Ika
menyisipkan kehidupan penulisnya pada tokoh Raia? Siapa tahu?
Ketiga, sebenarnya ini agak aneh. Saya beneran
penasaran kenapa Mbak Ika bisa kepikiran nama tokoh laki-lakinya River.
Padahal, nama adiknya River itu Aga (Triaga) dan nama belakang mereka Jusuf.
Mungkin kalau nama adiknya Lake, Jungle, atau apa yang
alam-alam gitu, saya bisa mengerti. Jadi, kenapa River? Apakah karena River
Phoenix? Jujur, saya sempat kepikiran untuk membuat cerita dengan tokoh bernama
River Phoenix hanya karena tertarik pada artis dengan nama tersebut.
Oke, setelah ketiga alasan subjektif dari saya yang
membuat saya memilih buku ini, saya akan cerita tentang hal-hal menarik dan
saya sukai dari novel The Architecture of Love.
Pertama, bahasanya mengalir banget. Sepertinya ini
yang menjadi alah satu alasan kenapa banyak orang suka dengan novel-novelnya
Ika Natassa. Pas baca novelnya serasa melihat orang mengobrol dan nagih.
Bawaannya ingin baca lagi dan lagi. Tetap ada kalimat-kalimat berbahasa
Inggris, sih, tetapi karena latar ceritanya di New York, ya sudahlah saya
terima.
Kedua, deskripsi tentang New York, tempat-tempatnya, gedung-gedungnya,
hal-hal kecil yang terkesan remeh-temeh, diceritakan dengan baik dan ‘hidup’
oleh Mbak Ika dan bikin saya yakin pasti penulisnya pernah tinggal atau
setidaknya liburan lama di New York, nih. Karena lengkap dan apa, ya, buat saya
yang belum pernah melihat New York saja, bisa membayangkan seperti apa New York
itu lewat tulisan Mbak Ika. Dan banyak banget hal menarik yang saya ketahui
tentang New York dari novel ini tanpa terasa berlebihan atau dipaksakan.
Ketiga, tokoh-tokoh yang muncul di cerita hadir dengan
pas dan tepat. Walaupun tokoh selain Raia dan River cukup banyak, tetapi mereka
semua hadir sesuai porsinya dan nggak bikin pusing pembaca. (Pengalaman baca
NTdTK yang tokohnya banyak banget, dengan nama yang aneh-aneh, bikin kepala saya
pusing.)
Seperti yang saya bilang di awal, inti cerita ini tuh
sebenarnya sederhana. Tentang dua orang yang melarikan diri dari ‘hantu’ masa
lalu, saling suka, terus berkonflik dengan diri sendiri; memilih melangkah ke
depan atau terjebak masa lalu. Dan bisa ditebak juga akhirnya seperti apa.
Kalau mengharapkan cerita dengan plot twist yang bikin
terkezut atau alur yang bikin mikir, jelas novel ini bukan jawaban. Tetapi
kalau cari bacaan yang manis, untuk teman duduk di musim hujan sambil minum
secangkir cokelat panas, The Architecture of Love cocok banget.
Well, so far so good buat
saya (ikut-ikutan nginggris), tetapi
masih belum yakin apakah ingin membaca karya Ika Natassa yang lain atau tidak.
Kalau di antara kalian ada penggemar novel Ika Natassa, kira-kira buku apa yang
sekiranya cocok dibaca untuk saya?
“You know what is wrong with always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what’s in front of you. Your future.”
Komentar
Posting Komentar