Citra
Rashmi: Konspirasi Putri Mahkota
Penulis:
Tasaro GK
Penyunting:
Indradya SP
Penerbit:
Qanita
Tahun
Terbit: Cetakan I, September 2013
Halaman:
624
ISBN:
978-602-9225-99-0
Di tengah
pergolakan politik Kerajaan Sunda, putri mahkota yang masih belia dikirim ke
luar istana, menjadi mata-mata. Raja mencurigai perguruan filsafat Candrabhaga
sebagai cikal bakal pemberontak berbahaya. Putri mahkota yang menggunakan nama
samara Sannaha menjadi murid kesayangan Candrabhaga karena kercedasan pikiran
dan bakat kanuragannya.
Bertahun-tahun
kemudian, Sannaha bertumbuh menjadi gadis misterius yang menyimpan banyak
rahasia dan rencana. Kecintaannya terhadap gurunya berbenturan dengan
kewajibannya sebagai putri Raja Sunda. Sannaha menyadari benar, dirinya
terjebak dalam pusaran kekuasaan antara Raja Sunda dan pemberontak kerajaan
paling berbahaya; Yaksapurusa. Cinta Purandara, anak Yaksapurusa, membuat
kehidupan sang putri kian rumit.
Puncaknya,
ketika lamaran Raja Majapahit –Hayam Wuruk- datang, Sannaha memutuskan untuk
menjalankan sebuah rencana besar. Konspirasi rumit yang mengagetkan seisi
kerajaan.
Kisah ini
pernah terbit sebagai cerita bersambung di harian Republika serta novel
berjudul Pitaloka (Cahaya) dan Takhta Nirwana. Digabung menjadi satu novel,
buku ini menjadi buku pertama dari dwilogi Citra Rashmi.
Di Balik
Buku Citra Rashmi
(Warning:
bagian ini lumayan panjang dan sebagian besar isinya curhat, jika penasaran
dengan review buku dan ingin melewati bagian ini, langsung saja ke bagian My
Review)
Saya punya
sejarah panjang terkait novel ini yang sebagiannya sudah saya ceritakan di
Instagram. Akan tetapi, akan saya ceritakan ulang di sini secara lengkap karena
saya memang suka cerita, hehehe.
Jadi,
ketika saya masih Aliyah, saya pernah membaca novel yang berjudul Pitaloka.
Itulah awal perkenalan saya dengan penulis bernama Tasaro. Novel itu
benar-benar membuat saya terpukau dan tidak menyangka akan benar-benar menyukai
fiksi sejarah, khususnya sejarah Indonesia.
Saya bukan
tipe pembaca yang menyukai cerita silat dan semacamnya, walaupun suka sejarah,
saat itu masih sedikit sekali novel sejarah yang saya baca (bahkan mungkin
belum ada), lalu Pitaloka muncul dan mengubah sudut pandang saya tentang novel
silat sekaligus fiksi sejarah.
Oke, hanya
untuk pemberitahuan, Citra Rashmi atau Pitaloka bukan benar-benar novel silat,
tetapi memang banyak adegan bela diri dan permainan pedang di novel ini.
Lanjut lagi
ke cerita saya. Setelah membaca Pitaloka, saya baru tahu kalau cerita itu belum
selesai. Masih ada dua buku lagi yang harus dibaca. Saat itu saya tidak tahu,
apakah kedua buku lanjutannya sudah terbit atau belum. Cuma memang seingat
saya, saya mendengar desas-desus dari teman-teman yang sudah baca Pitaloka
mengatakan kalau judul kelanjutannya ada kata-kata Nirwana dan Mahkota.
Fast
forward ketika kuliah, tepatnya akhir masa kuliah, saya mendengar kabar kalau
Pitaloka diterbitkan ulang di penerbit berbeda dengan judul yang berbeda,
menjadi Citra Rashmi. Pada tahun 2015, melihat novel Citra Rashmi di toko buku,
saya pun tanpa ragu membelinya. Meskipun sudah membaca, saya merasa ingin
memiliki cerita ini.
Sampai
tahun ini, saya sama sekali belum membaca Citra Rashmi. Pertama, karena saya
merasa sudah pernah membacanya, jadi tidak merasa terburu-buru untuk membaca
buku itu lagi. Kedua, karena sebenarnya saya juga sambil menunggu memiliki buku
lanjutannya.
Nah, pada
bulang Agustus kemarin, saya berkunjung ke Out of the Boox dan menemukan buku
Takhta Nirwana. Berdasarkan ingatan saya, Takhta Nirwana adalah kelanjutan
Pitaloka yang berarti kelanjutan Citra Rashmi.
Berbekal
melihat sinopsis sekilas dan menemukan nama Sannaha, saya pun tanpa ragu
membelinya. Dan selama itu saya beranggapan kalau Takhta Nirwana adalah
kelanjutan Citra Rashmi sampai saya berani koar-koar di IG. (Duh, memalukan
banget rasanya mengingat momen itu).
Sekitar
seminggu terakhir, saya berusaha menamatkan Citra Rashmi karena tak sabar ingin
membaca Takhta Nirwana. Walaupun sudah pernah membaca, banyak sekali hal yang
saya lupa dan membaca Citra Rashmi seperti membaca buku baru. Setelah tamat,
saya pun langsung beralih ke Takhta Nirwana dan di situlah kejanggalan mulai
terjadi.
Saya
membaca sinopsis Takhta Nirwana dan baru ngeh kalau apa yang diceritakan di
Takhta Nirwana sudah ada di Citra Rashmi. Karena masih tak percaya, saya pun
membuka segel buku tersebut dan membuka halaman pertamanya. Oalaaah, ternyata
Pitaloka dan Takhta Nirwana itu digabung menjadi Citra Rashmi seperti yang
telah ditulis di sinopsis Citra Rashmi yang baru saya baca setelah membuka Takhta
Nirwana. Ya ampuuuun!
Pantas
saja, saya merasa agak aneh dengan konsep cover Citra Rashmi dan Takhta
Nirwana. Kok, cover buku lanjutannya malah lebih jelek ketimbang buku
pertamanya. Dan di punggung buku Citra Rashmi itu ada angka 1, tetapi di buku
Takhta Nirwana tidak ada angka. Tadinya saya berpikir, “Ah, penerbit kan suka
begitu. Kalau menerbitkan buku seri kadang suka nggak konsisten.”
Ya ampun,
malu banget ternyata saya yang salah kira. Takhta Nirwana terbit tahun 2009,
Citra Rashmi terbit tahun 2013. Tentu saja, penampilan Citra Rashmi (baik cover
maupun isi) lebih baik ketimbang Takhta Nirwana.
Baru cerita
pribadi saja sudah panjang begini, ya, hehehe. Mudah-mudahan belum bosan untuk
menyimak kesan saya setelah membaca Citra Rashmi.
My Review
Cerita
dibuka oleh seorang narrator yang belum diketahui siapa, apakah hanya bertindak
sebagai narrator atau dia juga sebagai tokoh di dalam cerita. Dia mengawali
ceritanya dengan mengingatkan pembaca tentang Perang Bubat dan meyakinkan kalau
dia mengetahui kisah hidup putri Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi atau di sini
disebut Citra Rashmi.
Citra
Rashmi atau dia menyebut dirinya Sannaha, pernah diculik oleh komplotan
penjahat yang diketuai oleh Yaksapurusa saat ia masih kecil. Namun, Sannaha
dibantu melepaskan diri oleh anak Yaksapurusa sendiri, Purandara, yang juga
dikenal dengan sebutan Elang Merah.
Ketika
beranjak remaja, Sannaha dikirimkan ke padepokan Candrabhaga dengan
menyembunyikan identitasnya untuk belajar. Namun, sebenarnya Raja Linggabuana
memiliki niat lain, ia ingin mengetahui isi padepokan itu dan ilmu yang
diajarkan Candrabhaga melalui mata Sannaha.
Hanya
beberapa tahun di padepokan Candrabhaga, Sannaha kembali lagi ke istana.
Kemudian, kembali lagi ke padepokan Candrabhaga ketika dewasa dengan maksud
melindungi gurunya dari rencana jahat ayahnya sendiri. Namun, Sannaha bukan
hanya bermasalah dengan rencana ayahnya, dia juga harus berhati-hati dengan
keberadaan Yaksapurusa.
Selanjutnya,
kurang lebih seperti yang sudah dijelaskan di sinopsis. Di review ini, saya
mencoba membahas tentang beberapa tokoh penting di cerita Citra Rashmi.
Pertama,
Sannaha. Seperti yang kita ketahui, Sannaha adalah nama lain dari putri Dyah
Pitaloka Citraresmi. Sannaha digambarkan sebagai gadis yang sangat cantik,
lihat dalam bermain pedang, ahli bela diri, angkuh, misterius, cerdas, memiliki
banyak rencana tersembunyi di kepalanya. Dia sangat menghormati dan mencintai
gurunya, Candrabhaga.
Candrabhaga.
Dia adalah salah satu tokoh yang menarik bagi saya. Cerita ini menggambarkan
Candrabhaga sebagai seorang penyeru ajaran mulia, yang mengajarkan tata cara
hidup yang teratur dan damai. Bukan hanya ahli kanuragan, Candrabhaga pun
mengajarkan filsafat dan syair-syair yang indah. Diceritakan Candrabhaga
mendapatkan ajaran mulia itu dari Pase (kemungkinan besar maksudnya Pasai/
Aceh) lalu membawanya ke Sunda.
Walaupun
tidak secara terang-terangan, jelas ajaran yang diseru oleh Candrabhaga adalah
agama Islam dan syair-syair yang diajarkannya adalah terjemah ayat-ayat
Al-Qur’an. Saya tidak terlalu hafal
dengan kronologi sejarah, tetapi buku ini seolah menunjukkan kalau Islam telah
datang ke tanah Sunda dengan cara ini.
Yaksapurusa.
Namanya sering disebut-sebut, tetapi kemunculannya secara langsung di cerita ini
sebenarnya sangat sedikit dan itu membuat saya penasaran, siapa sebenarnya
Yaksapurusa? Selain memberontak, apakah dia memiliki tujuan lain saat ingin
membungkam Candrabhaga dan menggulingkan kekuasaan Raja Linggabuana?
Purandara,
Datu Tantra, dan Ghangga. (Oh iya, ini akan spoiler) Ketiganya adalah murid Yaksapurusa
yang dijuluki dengan Elang Merang, Kuda Putih, dan Merak Hitam. Sejak awal
membaca, saya sudah menebak peran Datu Tantra dan Ghangga di padepokan
Candrabhaga. Entah karena sudah pernah membaca atau memang mudah ditebak.
Purandara
dan Datu Tantra sama-sama memiliki ‘rasa’ kepada Sannaha. Bedanya, Purandara
menunjukkan dengan cara melindungi Sannaha (walaupun dengan sikap yang galak
dan kejam), sementara Datu Tantra lebih memilih menutup rapat-rapat
perasaannya. Terlebih, sebenarnya dia punya hubungan khusus dengan Ghangga.
Harakalpa.
Anak laki-laki Candrabhaga. Satu-satunya tokoh yang menyebalkan bagi saya. Jelas
dia cemburu karena ayahnya lebih percaya kepada Sannaha ketimbang anak
kandungnya sendiri. Meskipun Candrabhaga tetap berlaku baik kepada Harakalpa,
kelakukan Harakalpa yang kekanak-kanakan membuat Candrabhaga tidak bisa
mengandalkannya seratus persen.
Karena
gabungan dari dua novel, kisah Citra Rashmi terasa cukup panjang dan sebenarnya
bisa dibagi ke dalam tiga babak besar.
Pertama,
saat Sannaha di padepokan Candrabhaga sampai penyerangan murid Yaksapurusa.
Kedua, saat
Sannaha berusaha kembali ke Kawali, istana raja, dan malah diculik oleh kaum
Thabugh yang ternyata memiliki kaitan dengan Yaksapurusa.
Ketiga,
saat Sannaha telah kembali ke Kawali dan menghadapi berbagai konflik di istana (termasuk
rencana perjodohan dengan Raja Wilwatikta) bersamaan dengan itu, Purandara
terus berusaha agar tidak jauh dari Sannaha.
Jujur saja,
bagi saya kisah Sannaha saat berada di kaum Thabugh itu terasa seperti filler, kalau saja tidak ada tambahan
info tentang asal-usul Yaksapurusa. Dan yah, setelah membaca buku ini, saya
mengerti kenapa dulu saya menunda membaca buku ini lama sekali. Karena
digantung itu nggak enak, bok!
Masih
banyak sekali hal yang bikin penasaran dan butuh penjelasan yang mungkin itu
semua ada di buku selanjutnya. Masalahnya, kapan buku keduanya terbit?
Entahlah.
Berbekal
pengalaman saya menanti Tetralogi Muhammad yang butuh bertahun-tahun,
kelanjutan cerita Citra Rashmi mungkin baru ada beberapa tahun mendatang.
Meskipun kita semua tahu, pada kenyataannya, Citra Rashmi tewas di Perang Bubat
dengan cara menusuk jantungnya dengan tusuk konde (begitu yang sering
dikisahkan di buku sejarah sekolah).
Tetapi,
kaaan…, saya ingin tahu, sebelum sampai ke Perang Bubat, apa saja yang
dilakukan Citra Rashmi. Apa yang terjadi pada Purandara, Harakalpa, dan yang
terpenting, Yaksapurusa. Dan gara-gara membaca buku ini, saya jadi cari-cari
tahu lagi sejarah Perang Bubat, kisah Hayam Wuruk dan Gajah Mada, serta
kerajaan Sunda.
Oh iya,
setelah berpanjang-panjang kata begini, apa sih yang sebenarnya bikin Citra
Rashmi tuh bagus dan layak banget untuk dibaca?
Nah, itu
sebenarnya susah dijelaskan dengan kata-kata. Ya, pokoknya serulah pas baca
novel ini dan kisah cinta Sannaha – Purandara dari dulu berhasil membuat saya
termehek-mehek. Saya kutipkan beberapa kalimat mereka, ya.
(Percakapan
ini terjadi dalam satu kesempatan, tetapi diambil bagian-bagian yang bikin
termehek-mehek aja. Biar nggak spoiler juga, wkwk. P untuk Purandara, S untuk Sannaha.)
S:
“Sekarang pergilah.”
P: “Aku
takkan pernah meninggalkanmu.”
S: “Apa
maksudmu?”
P: “Kau
boleh meninggalkanku, tetapi aku tak akan pernah meninggalkanmu.”
S:
“Berhentilah bermimpi, Purandara. Tidak semua perasaan harus diperjuangkan.”
P: “Aku
tetap akan pergi ke Wilwatikta.”
S: “Untuk
apa?”
P: “Mencari
alasan mengapa aku dilahirkan… sambil menunggumu.”
S: “Keras
kepala. Menungguku hanya akan menjadi pekerjaan sia-sia.”
P: “Tidak.
Menunggumu tidak pernah membuat hidupku sia-sia.”
Dan ini
adalah syair-syair yang diajarkan Candrabhaga. Ada yang bisa menebak diambil
dari terjemah surah apa?
“Perhatikanlah
matahari dan cahaya terangnya…. Dan siang apabila menampakkan dia…. Dan langit
serta Yang mendirikan dia…. Dan bumi serta Yang menghamparkan dia.... Dan satu
jiwa serta Yang menyempurnakan dia…. Apabila langit itu terbelah…. Dan apabila
bintang-bintang itu gugur…. Dan apabila laut itu membuak…. Dan apabila kubur
itu dibongkar…. Satu jiwa akan tahu apa yang ia sudah kerjakan dan
tinggalkan….”
“Sudahkah
datang kepadamu kabar yang dahsyat? Beberapa jiwa di hari itu, yang tunduk.
Yang bekerja, yang berpenat lelah. Akan terpanggang di api yang sangat panas.
Akan diberi minum dari mata air yang mendidih. Mereka itu tidak akan mendapat
makanan melainkan dari duri. Yang tidak menggemukkan dan tidak mengenyangkan.
Beberapa jiwa di hari itu yang bersenang-senang. Yang sentausa lantaran
usahanya. Di nirwana yang tinggi. Yang tidak akan pernah mereka dengar padanya
perkara yang sia-sia. Yang di dalamnya ada mata air yang mengalir. Yang di
dalamnya ada tempat-tempat peraduan yang ditinggikan. Dan piala-piala yang
sedia terletak. Dan bantal-bantal sandaran yang teratur berbaris. Dan
hamparan-hamparan yang terbentang.”
Dan ini
adalah paragraf terakhir buku Citra Rashmi. Sedikit petunjuk, ini bukan
kata-kata Purandara.
“Bukan masalah
jika kelak kami berhadapan dengan pedang terhunus. Aku hanya ingin melihatnya
sekali lagi. Selepas itu, tak mengapa jika aku harus mati. Tidak mengapa. Hhh…
aku merasa geli jika mengingat betapa aku tak sabar menunggunya kembali.”
Saya jadi pengen baca juga cerita kolosal begini. Yang bikin saya minat cerita kolosal itu pas baca Bilangan Fu. Disitu banyak menyinggung sejarah kerajaan di Indonesia. Dan ternyata ada kisah seru pada masa dulu. Pokoknya menarik lah membaca kisah sejarah.
BalasHapusWah, saya malah belum baca Bilangan Fu. Sejak dulu belum tertarik dengan karya Ayu Utami, tetapi karena ada sejarah Indonesia, saya jadi agak tertarik untuk membacanya.
Hapus